"Wanita panggilan, kita akan mengikat tali kekerabatan pada seorang yang memiliki keluarga dengan seorang wanita panggilan."
"Jangan sampai hal ini diketahui oleh ibumu, karena jika iya, Gita bisa menyerang kita dengan Alya yang ternyata melakukan hal yang sama."
"Jadi Ayah tidak mengungkapkan tentang Gita di hadapan Ibu, agar Gita tidak mengungkapkan apa-apa tentang Alya? Dan bukan karena Ayah ingin menjaga kehormatan dari Om Wahid?"
"Ada banyak alasan, tapi itu salah satunya."
Perbincangan itu terjadi antara Zigit dan ayahnya, saat mereka akan masuk ke dalam gedung akad nikah Beyazid dan juga Lisa, putri seorang dekan di fakultas agama. Terlihat sudah banyak orang-orang di sekitar gedung itu. Semuanya datang, para tamu, kecuali satu orang, Gita Arfinjaya Umar. Dia dikurung di dalam kamarnya.
Beyazid yang sudah berpakaian putih dengan peci putih di kepalanya keluar dari mobil mewahnya, digandeng oleh ibunya, dan berjalan masuk ke dalam gedung mewah itu. Di sana sudah ada mepelai wanita dan orang-orang yang banyak, para tamu duduk di kursinya masing-masing, Pak Penghulu juga duduk di depan meja.
Terlihat kursi mempelai wanita sedikit berjarak dengan kursi mempelai laki-laki, wajah Lisa pun ditutupi kain tipis, dengan wajah yang tertunduk, terlihat di balik kain tipis itu ada senyum yang mekar. Hati Lisa merasa gugup, tapi dia juga merasakan senang yang luar biasa. Beyazid berjalan ke kursinya, dan dia bersiap untuk hal yang sudah lama dinantikannya ini.
Hati Beyazid merasakan kegembiraan luar biasa saat dia akan melakukan akad nikahnya, sementara Zigit tidak tenang, dia menoleh kiri dan kanan, melihat ke sana dan kemari, tapi dia tidak menemukan seseorang.
"Kau sepertinya mencari seseorang?" Sang ayah berbisik.
"Hanya beberapa teman yang kucari."
"Oh, aku harap teman kamu itu tidak datang."
Zigit tidak membalas apa yang dikatakan ayahnya, dia hanya diam dan terus memandangi ponselnya, menunggu balasan dari pesannya. Ke mana Gita, dan di mana dia sekarang, apa yang dia lakukan sehingga terlambat seperti ini.
Sudah kesal Zigit menunggu, dan mempelai pria sudah bersiap untuk melakukan akad nikah, padahal di sinilah puncak rencananya dengan Gita, di mana dia dan Gita akan membatalkan akad nikahnya. Tapi ke mana Gita sekarang, dan kenapa tidak hadir.
Ya, Gita sedang berjuang di sini, dia mengikat tali di tiang paling kuat karena sedang dikurung di dalam kamarnya. Oh dia seperti Belle yang dikurung di istananya oleh pangeran yang dikutuk, atau lebih mirip Rapunzel yang berusaha kabur dengan rambutnya yang panjang. Tapi Gita tidak dikurung oleh seorang pangeran yang dikutuk, tidak pula dia punya rambut yang sepanjang milik Rapunzel, jadi ini hanya tentang Gita saja. Gita dan aksinya.
Dia berusaha untuk turun dari jendela dengan susah payahnya, dia injakkan kakinya dan melangkah pergi dari sana dengan buru-buru. Dia menutupi rambutnya dengan jilbab, tapi kini dia berhenti dari langkahnya.
Dia berhenti sejenak dan memikirkan sesuatu. Dia hendak melepas jilbabnya, dan pergi dari sana, namun hatinya masih memikirkan orang tuanya, dia masih ingin mengenakan jilbabnya, dia cium kain jilbabnya dan berkata, "Aku tidak akan melepas kamu lagi, tidak jika bukan di hadapan suamiku."
Dia berlari dengan kencang, dengan gamis dan tas ranselnya dia berlari keluar dari rumahnya, dia bawah ponselnya dan menghentikan taksi yang lewat, syukurlah dia tidak perlu memesan taksi online dan menunggu, karena sebuah taksi muncul di hadapannya dan dia hentikan taksi itu begitu saja.
Gita menyebutkan nama tempatnya dan si supir taksi dengan santai berkata, "Siap Neng."
Dan di sini, Beyazid yang sudah siap dengan hafalannya, maharnya dan kata yang dia akan ucapkan, kata pengikat akan ikatan sucinya dengan calon istrinya sudah dia hapalkan. Semua orang menatap dengan ceria dan bahagia, tapi tidak dengan Zigit yang terlihat panik.
Rasa lega tedapat di hati Erkan, dia sangat ingin anaknya itu cepat-cepat menyelesaikan akad nikahnya, agar tak ada kekacauan atau rasa malu yang mungkin saja disebabkan oleh Gita Arfinjaya Umar. Dia juga bersyukur karena Pak Wahid dan istrinya memutuskan untuk mengurung Gita di kamarnya.
Pak Wahid sendiri menggenggam tangan istrinya dengan hangat, begitu juga dengan Erkan yang menggenggam tangan Liandra sang istri. Zigit masih merasa cemas, apalagi saat matanya menangkap tangan kakaknya yang terangkat dan menjabat tangan si Penghulu.
"Di mana kau, Gita!" Suaranya kecil namun tegas dan geram.
"Kau sudah siap, Nak?" Si Penghulu bertanya pada Beyazid.
"Dengan izin Allah, saya siap, Pak," jawab Beyazid. Mata cerah itu memandang si Penghulu dengan keyakinan yang mantap. Dia melakukan banyak shalat malam untuk hari ini agar berjalan lancar, namun nyatanya ada pemuda lainnya yang juga melaksanakan shalat malam agar bisa menikung apa yang didoakan Beyazid.
"Baiklah kalau begitu, kita mulai akad nikahnya."
Beyazid mengangguk dengan senyum, semua orang di sana menatap mantap dengan senyum di masing-masing bibir. Dan Zigit malah berwajah murung padahal semua orang di sana tampak lebih ceria.
Dan Gita, dia berlari dengan kencangnya, keluar dari taksi setelah membayar si supir, dia dengan nafas ngos-ngosan, masuk ke dalam gedung walau sempat di tahan oleh satpam yang menjaga. Gita bisa lolos darinya dengan mudah.
Saat bibir si Penghulu akan berkata sah pada semua orang di sana. Maka perkataan itu tertahan saat wanita berusia tiga puluh tahun ini, berkata, "Tidak sah!"
Semua pasang mata, setiap mata yang ada di sana, menoleh padanya. Wahid dan istrinya merasa lemas, semua yang ada di sana terlihat heran, dan kekuarga para pengantin merasakan tubuh yang lemas dan terkejut, selain Zigit yang terlihat menyinggungkan senyum.
"Aku tahu kau akan datang," monolognya dengan nada suara yang pelan dan lembut.
"Aku yang harus menikah dengan Beyazid, bukan Lisa," katanya. Beyazid yang mendengar itu tidak terima.
"Apa maksudmu!?" Beyazid membesarkan suaranya.
"Apa yang kau lakukan di sini!?" Pak Wahid berdiri dari duduknya dan dengan cepat melangkah ke arah putrinya, dia mencengkeram lengan Gita dan ingin membawanya untuk pergi dari sana.
"Aku tahu kau merasa berat, Beya. Tapi kau jangan paksakan dirimu di dalam perjodohan ini, bukankah kita saling mencintai?" Gita menatap Beyazid yang juga menatap dengan tatapan mengernyit. Beyazid berdiri dan melupakan akadnya. Dia membelakkan matanya ke arah gadis sulung Arfinjaya Umar.
"Jangan sembarang omong di sini, Gita! Ayo pulang?!" Ayahnya mencengkeram lengan putrinya.
"Beya, aku mencintaimu." Gita tetap menatap ke arah Beyazid.
"Kau jangan katakan omong kosong!" Beyazid mulai kehilangan kesabarannya. Semua tamu yang ada di sana mulai bergunjing dan berbincang bisik di telinga lawan bicaranya. Dan terlihat Lisa yang masih menunduk mengepalkan tangan kecilnya.
"Ini bukan omong kosong Beya, Om Erkan dan Zigit, juga tahu semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutemu Cinta Dalam Taatmu
Storie d'amore"Jika dia tidak mencintaiku sekarang, atau hari ini, maka dia akan mencintaiku besok, jika dia tidak mencintaiku besok maka dia akan mencintaiku, lusa. Atau setelah lusa." Gita Arfinjaya Umar Gita Arfinjaya Umar adalah anak sulung dari seorang dekan...