"Ashilla."
Tangannya bergerak tanpa henti menyusuri rambutnya dengan sisir. Semakin lama semakin cepat.
"Shilla? Kamu baik-baik aja? Ayo turun."
Desah pelan lolos dari bibir gadis berusia delapan belas tahun. Ayolah, untuk bersiap saja dia belum terbiasa. Memang kesalahannya, sih, terlalu gagap mempersiapkan segala hal tentang sekolah. Namun, jika untuk Ashilla, bukankah hal itu dapat diwajari?
"Iya, Kak!" Shilla berteriak dari kamarnya, berharap perempuan tadi dapat mendengarnya dengan jelas di bawah sana.
Memastikan seluruh perlengkapannya sudah ia masukkan ke dalam tas serta seluruh seragam telah ia pakai dengan rapi, Shilla meluncur ke meja makan.
Pagi-pagi seperti ini, biasanya ia sendirian di meja makan. Namun kini perempuan yang dipanggilnya 'Kak' rela datang ke rumahnya.
Sosok yang sedari tadi menunggunya merasa bahagia melihat penampilan Shilla -meskipun hanya dengan seragam sekolah reguler. Terhitung pagi ini, rutinitas Shilla bertambah satu.
"Udah diperiksa barangnya? Lengkap?"
"Ya, seharusnya sudah."
Lagi, mungkin untuk terakhir kali hari ini, Shilla menggeledah seluruh isi tasnya. Mengingat setiap isi agar nanti sore bisa pulang dalam keadaan utuh.
"Kalau gitu, Shilla berangkat dulu, Kak."
"Aku antar sampai depan. Sekalian, aku juga mau kembali ke tempatku."
Balasannya lembut, "terima kasih, Kak."
Alena tersenyum. Semoga pilihan ini menjadi yang terbaik untuk Shilla. Apapun yang ia putuskan sekarang, semua tidak lain untuk kebaikan Shilla, bukankah demikian?
Yang pasti, senang tidak senang, Shilla sendiri yang telah memilih mengikuti seluruh rancangan yang Alena kerjakan. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
Kelas dua belas akan jadi penghujung pendidikan menengah yang sama sekali beda dengan biasanya.
Alena mengunci pintu depan rumah Shilla. Matanya mengikuti punggung Shilla, langkahnya meragu. Meski begitu, Shilla tetap ikut bersama gadis sebaya itu pergi ke sekolah barunya -atau Alena bisa katakan sebagai gedung sekolah pertamanya.
Di depan sana, ketika memastikan Ashilla benar-benar pergi, Alena menghela napas lembut. Menyandarkan diri ke dinding kokoh di belakangnya.
"Kamu pasti bisa, Shill. Dan akan aku usahakan agar kamu bisa merasakan apa yang gadis seumuranmu rasakan." Alena menyemangati dirinya sendiri.
Untuk saat ini, dirinya adalah satu-satunya yang Ashilla punya. Satu-satunya yang mengerti dan diharapkan keluarga Shilla dapat membantu putri mereka tanpa harus bertatap muka. Maka dengan segala kepercayaan yang melekat di bahunya, Alena yakin, meski tidak mudah semua tetap saja mungkin untuk ia gapai.
***
Gedung yang sedang Shilla pijak riuh sekali. Terlalu ramai, setidaknya untuk Shilla, sampai-sampai ketakutan adalah kesan pertamanya.
Dara cantik di samping Shilla menegurnya, memberi wajah paling ceria yang ia punya.
"Ke 12 IPA 1, ruang sebelum paling ujung sana." Jemarinya menunjukan lokasi yang ia maksud.
Sedikit perasaan lega dan aman menenangkan Shilla. Beruntung ia tidak benar-benar sendiri di sini. Jika saja Resivia Lestari bukan tetangganya dan seorang Resivia Lestari bukan satu-satunya teman perempuan yang akrab dengannya, maka Shilla yakin riwayat sekolahnya tamat pada pertemuan pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haphephobia | ✔
Fanfiction[Featured in "Kisah Klasik di Sekolah" - September 2022 @WattpadRomanceID] Highest rank #1 mental (01/10/2022) #1 haphephobia (28/09/2022) #1 shilla (17/07/2022) #1 icl (07/08/2022) #1 touch (08/04/2024) #2 relation (09/08/2022) #7 phobia (06/09/20...