Hari ini pun akhirnya mereka benar-benar latihan untuk drama. Kemarin hanya menyusun naskah juga menentukan pemeran, dan berakhir mereka makan bersama.
"Serius kamu mau jadi pemeran antagonis? Ini jadi psikopat tau" tanya Langit pada Fana yang tengah menghafalkan dialog.
"Kamu pikir aku gak pandai akting?" bukannya menjawab, Fana balik bertanya.
"Gak gitu, Fan. Cuma muka kamu terlalu cute kalau jadi pembunuh sadis" jawabnya sambil tersenyum, tapi seperti ada sesuatu yang berbeda saat ia berbicara dengan Fana dibandingkan perempuan lainnya. Ia rasa, jantungnya seperti ingit melompat dari tempat yang semestinya.
"Hmm, kamu gak hapalin dialog?" sahut Fana sembari lanjut fokus menghapal. Sesekali ia bergumam pelan, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya ini aku hapalin, sayang"
"Nah gitu dong, sayang" balas Fana sambil menampikkan senyuman manisnya. Lalu siapa sangka kalau nyawa Langit sudah terbang sampai berada di angkasa?
Latihan hari ini pun, mereka hanya sekali latihan, lalu masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang menghapal dialog, seperti Fana. Ada juga yang mabar, seperti Jay dan Bara. Ada yang sibuk belajar make up untuk penampilan nanti, seperti Nares dan Deva. Ada pula yang asik memakan snack, yaitu Nara. Sisanya Langit dan Jingga yang sedang sibuk dengan pikirannya.
Ya memang dasarnya prinsip hidup mereka untuk menghabiskan beras kan. Beginilah contoh generasi bangsa yang tak bisa dikatakan sebagai penerus di masa depan. Hanya bisa bermimpi tanpa mewujudkan. Hanya bisa berkomentar tanpa mencari solusi, bukan?
Setelah adzan berkumandang, mereka sepakat untuk sembayang di rumah. Mereka berdelapan bersiap-siap melaksanakan solat ashar berjamaah. Mushola kecil di rumah Jingga, sengaja di bangun agar mereka nyaman beribadah. Terdapat kapet yang empuk, hawanya pun dingin, membuat kaum rebahan seperti Bara berjam-jam pun masih betah untuk sekadar merebah.
"Kapan mau balik nih? Gue laper cui, pengen mekdi" setelah selesai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, Nara pun melanjutkan kewajiban keduanya yaitu MAKAN.
"Delivery aja sih" Jay menyahut sambil memainkan ponsel, ikut merebahkan diri di sebelah Bara.
"Emang lu mau bayarin?" Jay pun mengangguk sebagai jawabannya. Lantas memberikan handphone miliknya ke Nara. Dengan cekatan Nara memesan makanan untuk mereka semua, gini-gini Nara masih peduli pada teman-temannya. Pasti mereka juga merasa lapar seperti Nara.
Setelah beberapa saat menunggu suara berat khas laki-laki pun terdengar.
"Punten, gofud!!" Nara dan Langit berlari menuju pintu, demi perut kesayangannya.Setelah ia buka, ternyata dugaannya salah, bukan seorang bapak-bapak yang mengantar pesanannya. Melainkan mas-mas tampan dengan jaket denim abunya.
"Jayendra?" tanya lelaki kisaran anak kuliahan itu.
"I-iya" Langit yang mendengarnya dari balik pintu, tertawa tanpa suara.
"Maaf, Jayendra itu mbak?"
"O-oh bukan itu dari hp temen" Nara tersenyum, pipinya merah seketika. Membuat mas gofud itu tekekeh gemas melihat Nara.
Nara yang menyaksikan cogan tertawa dengan jarak kurang dari 50 cm, langsung salah tingkah, yang biasa di singkat salting. Malu bercampur dengan suara jantung yang berdebar kencang. Rasanya Nara ingin menghilang saja dari muka bumi untuk sekarang.
Jay pun datang, lantas menarik kerah baju Nara. Membuat Nara hampir saja hilang keseimbangannya.
"Udah di bayar pake gopoi kan mas?" mereka pun berbincang sebentar. Setelah itu Jay masuk ke dalam sambil menyeret Nara yang hendak mencakar."Ganggu lu" omel Nara tak ada hentinya dari tadi. Mereka berenam pun memulai makan, minus Jingga, dan juga Nares yang masih di alam mimpi.
"Nares gak makan tuh?" tanya Langit yang sedang menikmati ayam gorengnya.
Jingga pun bangkit dari duduknya. Lelaki itu kan memang belum memulai makan, jadi ia berinisiatif membangukan Nares yang terlelap di atas sofa.
"Na, Nares bangun!! Lu gak laper? Heh kutil anoa!!!" Nares yang merasa terganggu hanya mengeliat kecil.
Setelah memikirkan sebuah ide bagus, Jingga tersenyum jahil.
"Nares sayang~" suara Jingga sengaja ia buat menjadi serak. Gadis yang semula tidur di sofa, lansung terlonjak."Ah elah lu. Gua kira apaan!!" Nares mendengus kesal.
"Makan ayok. Tidur mulu lu. Lagi hibernasi?" Nares yang mendengarnya hanya bisa mengumpat dalam hati.
Mereka pun larut menikmati makanan, tanpa ada yang berbicara. Hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup, itulah prinsip yang sudah di ajarkan sejak dini oleh tetangga.
"Eh, btw gua baru sadar. Kita ini apa sih?" pertanyaan Bara lantas menghentikan gerak tangan mereka.
"Manusia" jawab Jay lalu berdiri untuk mencuci tangan. Makhluk yang satu ini memang irit bicara, awal baru lahir aja sempat dikira meninggal karena tidak nangis, masih beruntung belum sempat sampai kuburan. Karena baru saja setengah perjalanan.
Setelah di rasa sudah lelah, masing-masing dari mereka pun kembali ke rumah. Saat Nares sudah sampai ke perumahannya ia melihat banyak warga yang menggelilingi sebuah rumah.
"Lagi ada apa nih rame-rame?" tanya Nares heran, pasalnya yang di kelilingin itu adalah rumah miliknya.
"Teteh yang sabar ya. Kalau butuh apa apa bilang aja ke saya" Bu rt tiba-tiba menyahut, sembari mengelus pundak Nares.
"Kenapa sih bu rt? Kucing saya mati??" tanya Nares asal ceplos.
"Bukan cuma kucing, hampir semua perabotan rumah kamu hangus. Rumah kamu sengaja di bakar sama orang" setelah itu Nares pun tak sadarkan diri.
Ada yang tau siapa orang yang bakar rumah Nares?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐞𝐫𝐢𝐛𝐮 𝐑𝐚𝐠𝐮『√』
Teen Fiction❝𝙺𝚗𝚘𝚠𝚒𝚗𝚐 𝚢𝚘𝚞, 𝚖𝚊𝚢𝚋𝚎 𝚒𝚝 𝚒𝚜 𝚘𝚗𝚎 𝚘𝚏 𝙶𝚘𝚍'𝚜 𝚜𝚌𝚎𝚗𝚊𝚛𝚒𝚘𝚜 𝚝𝚘 𝚖𝚎𝚎𝚝 𝚊 𝚖𝚊𝚝𝚎 𝚒𝚗 𝚊 𝚍𝚒𝚏𝚏𝚎𝚛𝚎𝚗𝚝 𝚠𝚊𝚢.❞ °𝙱𝚊𝚎 𝚓𝚒𝚗𝚢𝚘𝚞𝚗𝚐° °𝙾𝙾𝚕° 𝚜𝚝𝚊𝚛𝚝 : 𝟷𝟸/𝙾𝟷/𝟸𝙾𝟸𝙾 𝚏𝚒𝚗𝚒𝚜𝚑 : 𝙾𝟹/𝙾𝟺/𝟸𝙾𝟸𝙾