☾O7

70 20 4
                                    

"Dari siapa?" tanya Bara, tatlaka melihat Langit yang baru saja masuk setelah pamit mengangkat panggilan.

"Biasa" jawabnya seadanya. Lantas kembali duduk di sebelah Fana.

"Kunjungin sana" bisik Fana pada Langit yang sudah bersandar pada pundaknya.

"Temenin.." Langit mengandahkan kepala, menatap Fana dari jarak yang lumayan dekat.

"Iya deh. Jam berapa?"

"30 menit lagi.hehe"

"Ayo berangkat" Fana berdiri dan menenteng totebagnya.

Setelah berpamitan dan di introgasi. Mereka berdua pun berangkat ke tempat yang di tujui.

 Mereka berdua pun berangkat ke tempat yang di tujui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Assalamulaikum"

"Waalaikumsalam"

Fana kaget dan gugup dalam waktu bersamaan. Di ruang tamu sudah ada orang tua Langit, kakaknya, serta... kak Senja, yang tengah membawakan nampan berisi beberapa cangkir teh hangat.

"Fana kan?" ibunya Langit yang hendak menghampiri Fana lantas berhenti, dan memandang anak laki-lakinya yang sudah berdiri di depan Fana. Menghadang ibunya yang ingin berbincang dengan Fana.

"Biru kangen mama juga gak?" ibunya Langit tersenyum lepas, seperti tak ada masalah di antara mereka.

Biru, adalah nama panggilannya sejak kecil, sebelum ia membenci semua yang berhubungan dengan warna.

"Saya kesini atas permintaan Fana. Gak lebih dari itu!" ucapnya tegas dan menekan setiap katanya.

Langit yang Fana lihat sekarang sangatlah berbeda. Biasanya lelaki itu selalu tersenyum, bergurau, bahkan tertawa-tawa tidak jelas layaknya orang gila.

Tapi apa-apaan ini? Bagaimana bisa ia menjadi sedingin es dan menatap orang dengan tajam?

"Gak boleh durhaka tau. Ntar di kutuk jadi batu" bisik Fana, Langit lagi-lagi menghela nafas panjang. Menatap jengkel semua orang.

Ada apa sih di keluarga ini? Pikir Fana frustasi.

"Ayo Biru duduk" ajak ayahnya juga ikut tersenyum hangat.

"Fana, boleh bicara sebentar?" ucap kak Senja yang sudah berdiri di sebelah Fana. Gadis itu menengok ke pemuda di sebelahnya, hendak meminta izin. Lantas Langit pun mengangguk, mengiyakan.

Fana dan Senja melangkahkan kaki menuju teras depan. Mereka duduk mengahadap ke depan, tanpa ada yang mengucapkan sepatah katapun. Hanya helaan nafas dan suara jangkriklah yang memasuki indra pendengaran.

"Makasih Fan..."

"Sama-sama kak" mereka saling melemparkan senyum, lalu saling bertanya kabar, dan basa-basi.




Sementara itu di ruang tamu, ada sekeluarga yang sedang berseteru dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya ayah membuka suara,

"Biru... kami udah gak melakukan pembunuhan secara sia-sia. Itu pekerjaan kami bertiga. Kami hanya ingin menolong orang, tolong kamu mengerti ya?"

"Kalian emang gak tau? Kalau saya hemophobia"

"Mama, papa, kak Angkasa juga tau kalau kamu fobia sama darah. Makanya kami udah gak bunuh di rumah, tapi di tempat lain. Jadi, balik ya ke rumah?" sahut ibunya.

"Orang tua itu harusnya mendidik anak menjadi pribadi yang baik. Iya kan? Tapi coba deh kita ingat-ingat, apa pernah mama sama papa ajarin saya jalan, bicara, menulis, baca..
Gak pernah kan? Dari dulu saya selalu di bimbingnya sama bi Joy, sampai saya binggung, saya tuh anak kalian atau bibi sih? Kalian juga gak pernah kenalin saya sama agama kan, padahal itu pedoman hidup. Sampai Biru pikir kalian atheits"

"Jangan sembarang kamu kalau ngomong!!!" pekik Angkasa, yang sudah terbawa emosi.

"Oh iya, kalian kan juga gak pernah ajarin Biru sopan santun" Langit lantas berdiri dan pergi berlalu begitu saja, tanpa pamit.

Sampainya di teras, ia langsung menarik tangan Fana dan menuju motornya berada. Setelah naik, Fana melambaikan tangan sebentar pada Senja. Langitpun langsung mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Membuat Fana harus berpegangan pada bahu pemuda di depannya.

"AKU NGGAK MAU MATI SEKARANG!!!"

"SIAPA JUGA YANG MAU BUNUH KAMU!?"

"LANGIT, STOP!!!"

Langit melambatkan laju motornya, menepi. Fana mengedarkan pandangan, ternyata mereka berada di pingir jalan yang cukup sepi. Kalau tau sepi, Fana mungkin tak akan meminta untuk berhenti.

"Kenapa gak bilang kalau lo kerja di tempat dia?" Langit menatap marah pada gadis di hadapannya. Fana masih terduduk di atas jok, sedangkan Langit berdiri tepat di sebelahnya.

"Aku gak kerja, ak—"

"Gak usah sok alim, sok suci, padahal lo sendiri kerja dengan tempat calon penghuni neraka"

"Itu kakak kamu, Lang"

"Gak usah alihin pembicaraan, buat apa lo kerja disana? Butuh uang? Kenapa gak sekalian aja sih jadi jalang?"



P L A K

Sebuah tamparan yang cukup keras menghantam pipi Langit, iapun memasang wajah terkejut.

"Pertama, saya gak sok suci. Saya masih banyak kekurangan soal islam. Kedua, saya gak butuh uang, asal anda tau itu. Ketiga, kalau anda menghina saya, itu sama saja anda menghina ibu anda sendiri. Bagaimanapun juga surga ada di kaki ibu. Camkan itu!!" Fana turun dari motor, dan langsung berlari ke arah manapun, ia sudah muak, dan trauma dengan laki-laki.

'Kenapa gak bilang kalau lo kerja sama dengan Angkasa biar gua pulang ke rumah?' batin Langit yang merasa kesal, marah, sedih, menyesal, semua bercampur menjadi satu.




















'Kenapa gak bilang kalau lo kerja sama dengan Angkasa biar gua pulang ke rumah?' batin Langit yang merasa kesal, marah, sedih, menyesal, semua bercampur menjadi satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hiyakkk, brengsek aja semua
😂😂😂

𝐒𝐞𝐫𝐢𝐛𝐮 𝐑𝐚𝐠𝐮『√』Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang