File 12:

2.5K 255 66
                                    

-how can-

.

.

Aku tidak tahu apakah hubunganku dengan Ginna sudah berubah status atau belum. Pagi ini seharusnya aku sudah berada di kantor, tetapi--lagi-lagi--karena Ginna, aku terpaksa ijin sakit. Aku terpaksa berbohong hanya karena perempuan ular itu. Bodoh, 'kan?

Coba kuingat lagi, dulu berapa kali dia sering membuat aku berbohong? Ah, tak terhitung. Aku sering berbohong karena dia. Sebenarnya, dia ada sisi positifnya tidak sih buat aku?

"Anka, ayo sarapan. Aku sudah buatin kamu nasi goreng spesial. Kamu kan sudah lama tidak merasakan nasi goreng buatanku."

Selesai mandi, aku menghampiri ruang makan karena Ginna sudah memanggilku. Aku duduk berhadapan dengan Ginna. Saat ini, di meja makan sudah ada dua porsi nasi goreng. Setelah selesai berdoa bersama untuk makan, Ginna mulai memakan nasi goreng buatannya.

"Selamat makan, Anka."

"Hm."

Apa yang terjadi di meja makan saat ini kembali membawa aku pada ingatan-ingatan beberapa tahun silam. Sialnya, sampai sekarang, ingatan-ingatan tentang kami berdua masih tersimpan rapi di dalam lemari otakku. Aku masih ingat semuanya-dengan jelas. Kampret, 'kan? Kecebong memang.

Dulu, sewaktu kami masih menjalin kasih, Ginna sering sekali membuatkan aku nasi goreng jika aku main ke rumahnya. Hanya Ginna seorang yang suka membuat nasi goreng dengan tambahan toping kubis goreng yang banyak. Padahal aku tahu kalau kubis goreng itu tidak baik untuk kesehatan, tetapi tetap saja aku makan. Dasar manusia.

"Kok melamun? Nasi gorengnya keburu dingin kalau hanya kamu lihatin begitu. Dimakan dong, Anka."

Tersadar aku dari lamunan. Kucoba untuk mulai memakan nasi goreng buatan Ginna. Satu suapan berhasil membuatku tersenyum. Meski aku lupa bagaimana rasa nasi goreng yang dibuat oleh Ginna beberapa tahun lalu, tetapi aku yakin rasanya pasti masih sama. Sedikit asin.

Sebenarnya, pagi ini aku sedang tidak nafsu makan. Aku merasa sangat bersalah, aku membiarkan hatiku merasakan rasa yang tidak seharusnya. Lagi-lagi, pagi ini kami melakukan "kegiatan ranjang" yang seharusnya tidak boleh terjadi. Sialnya, "kegiatan ranjang" itu sudah berlangsung selama tiga hari ini--terhitung dari pertama kali aku dan Ginna melakukannya ketika kami tidur satu ranjang dua hari yang lalu.

Aku sudah tidak tahu lagi berapa banyak kata bodoh yang aku tujukan untuk diriku sendiri. Aku tahu jika hubunganku dan Ginna tidak akan membuahkan hasil yang baik untuk diriku sendiri. Tetapi mengapa aku tetap saja mengijinkan kesakitan itu datang? Bodoh, bukan?

"Anka, nanti malem aku tidak tidur denganmu dulu ya? Siang ini aku ada undangan interview, terus malemnya aku mau ketemu temen kuliahku, katanya dia lagi mengunjungi kota ini. Boleh ya?"

Aku mengangguk. Untuk apa dia meminta ijin padaku? Kan aku bukan siapa-siapanya. "Ya sana, silakan saja. Aku juga tidak akan melarang, kan aku bukan siapa-siapa kamu."

Mendengar perkataanku, Ginna cemberut. Setelah meminum air putihnya, Ginna mendekatiku. Aku yang melihat dia mendekat jadi merasa was-was. Apa yang akan dia lakukan kali ini?

Begitu mendekat, Ginna segera duduk di pangkuanku. Dia menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya. Ginna mengusap pelan pipiku dengan ibu jarinya. "Jangan berkata seperti itu, Anka. Kamu itu pacar aku."

Dahiku mengernyit. Ha, kapan resminya? Perasaan tidak ada kata tembak-menembak diantara kami.

"Ndak usah gitu toh alisnya, jangan dikernyitin kayak gitu. Jadi kelihatan galak kamu kalau kayak gitu. Sini aku sun dulu, biar rileks."

Rabbit HoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang