File 5:

2.5K 336 92
                                    

-puppy love-

.

.

Berawal dari studio itu sikap Ginna makin ke sini makin jelas. Aku makin mengerti kalau Ginna seolah mengatakan bahwa dia ingin lebih dari teman. Aku baru menyadari itu setelah merenung beberapa lama.

Kenapa gitu?

Mulai dari studio itu, lama kelamaan Ginna mulai memanggilku dengan embel-embel "sayang". Dia makin agresif. Tiap selesai kelas, Ginna selalu menyeretku untuk jalan-jalan, setelah lelah berjalan dia akan meminta untuk beristirahat. Dan saat beristirahat di tempat yang sekiranya sepi, Ginna akan mulai melakukan aksinya.

Sekarang aku mulai paham dengan pola yang dibuat oleh Ginna. Seperti ini polanya; dia akan mengajak aku jalan-jalan mengelilingi sekolahan, jika sudah lelah, berhenti di tempat yang sekiranya sepi, lalu dia bercerita tentang sesuatu. Dan nanti lama kelamaan dia akan melakukan aksinya.

Dari pola yang dia buat itu, membuatku bisa mempersiapkan diri. Aku sudah tidak terkejut ketika Ginna menempelkan bibirnya ke atas bibirku. Aku sudah semakin terbiasa.

Tidak terasa sudah lebih dari tiga bulan aku mengenal Ginna, dan panggilan "sayang" itu sudah melekat padaku. Pertama kali panggilan "sayang" disematkan, aku merasa canggung dan aneh, namun lama kelamaan aku mulai terbiasa, karena Ginna tidak pernah lupa menyisipkan panggilan "sayang" pada perkataannya—baik secara lisan maupun non lisan.

Setiap pagi, setiap pulang sekolah, setiap malam menjelang, Ginna tidak pernah lupa menanyai apa saja kegiatanku. Aku pun tidak pernah merasa jenggah ketika ponselku berdering pertanda masuknya pesan dari Ginna. Aku menikmati waktu bersama Ginna.

Setiap pulang sekolah Ginna selalu berubah menjadi sangat-sangat-sangat agresif, dia akan berubah menjadi sesosok gadis yang mampu memutar balikkan duniaku. Perbuatannya selalu diluar dugaanku.

Semua perbuatan Ginna mulai abu-abu di mataku, tidak ada benar, juga tidak ada salah. Semua terasa mengalir begitu saja, tanpa bisa aku tolak—karena tak kuasa untuk menolak.

6969

Waktu itu hari jumat, di sebuah sekolah swasta, di salah satu ruang kelas yang sudah sepi, ada seorang iblis—maaf ralat, maksudnya malaikat.

Malaikat itu berwujudkan manusia berjenis kelamin perempuan yang memiliki tubuh berisi namun padat, alisnya berbaris rapi seperti semut, bibirnya mungil kemerahan seperti jambu air, dan berpipi chubby seperti bakpao. Oh, dan jangan lupakan tatapan matanya yang selalu penuh nafsu ketika melihatku. Aku tidak akan mengatakan perempuan itu sempurna karena di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Ehe.

Perempuan itu bernama Ginna. Dia memiliki keunikan tersendiri, seperti contohnya; wajah perempuan itu berbentuk bulat, dengan isian wajah—mata, bibir, hidung—yang terlihat mungil. Ohya, jangan membayangkan perempuan bernama Ginna itu memiliki hidung yang mancung, karena—maaf-sekali-lagi-dengan-terpaksa—aku akan menjatuhkan ekspetasi kalian, hidung Ginna itu pesek, sungguh.

Aku paling suka mengejeknya ketika dia memakai kacamata. Karena ketika dia memakai kacamata, kegiatan menaikkan kacamata yang turun itu sangat sering terjadi. Kacamata yang dipakai Ginna seperti tidak ingin berada di hidung Ginna, karena saking peseknya. Ehe.

Oh, oh, dan jangan lupakan jidatnya yang lebar, tapi meski begitu dia tetap cantik loh. Jidat lebar dan hidung pesek itu tertutupi oleh kecantikannya. Eleh. Namun dari kekurangan fisik yang dimiliki Ginna, aku tetap menyayangi perempuan itu. Karena aku menyayanginya bukan karena fisik namun karena terlanjut kepincut. Wkwk.

Rabbit HoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang