File 11:

2.4K 284 51
                                    

-asw-

.

.

Meski Ginna sudah aku beritahu jika dia tidak diterima di perusahaan tempatku bekerja, tetapi dia masih saja belum mau hengkang dari kota ini. Dia masih saja tinggal di rumahku untuk numpang tidur dan makan. Padahal sudah berkali-kali aku mengusirnya secara halus, tetapi dia selalu saja masa bodoh. Bebal memang perempuan itu.

Terhitung sudah lima hari ini Ginna menginap di rumahku. Akibatnya, aku jadi sengaja pulang larut malam karena tidak mau bertemu lama dengan Ginna. Apalagi di rumah hanya ada aku dan dia. Sialnya, mau semalam apapun aku pulang, Ginna selalu menunggu aku, dia tidak akan tidur kalau aku belum di rumah.

Lebih sial lagi, setiap aku mau tidur, Ginna selalu mengetuk pintu kamarku, dia ingin tidur satu kamar denganku. Tepatnya, satu ranjang denganku. Hmmh, inilah yang dinamakan; dikei ati ngrogoh rempelo. Aku sudah memberikannya ijin untuk tidur di rumahku, tepatnya di kamar khusus untuk tamu. Tetapi masih saja dia menginginkan aku agar memberikan kesempatan untuk dia tidur satu ranjang denganku.

"Kamu ngapain sih tidur di kamarku? Kamu kan sudah punya kamar sendiri. Sana kamu pindah."

Malam itu sekitar pukul dua belas, saat aku baru saja selesai cuci muka dan gosok gigi, aku mendapati Ginna sudah berbaring nyaman di atas ranjangku dengan selimut yang menutupi hampir setengah badannya.

"Aku pengen tidur sama kamu. Aku takut tidur sendirian. Nanti kalau aku diganggu hantu gimana?"

Aku mendengus kesal. Kusampirkan handuk kecil yang tadi kupakai untuk mengelap muka ke atas jemuran handuk berbahan besi.

"Hantu itu tidak nyata. Itu hanya imajinasimu saja. Sudah sana kembali ke kamarmu. Aku mau tidur."

"Tidur bareng aja. Kan aku juga mau tidur."

"No, no. Kamu tidur sana di kamarmu. Cepat pindah."

Ginna menggeleng, malahan dia memejamkan matanya, mengabaikan aku. Aku hanya bisa mendengus kesal. Baiklah, jika Ginna tidak mau pindah, lebih baik aku saja yang pindah.

6969

"Anka, buka pintunya!"

Kubuka mataku, melihat langit-langit kamar, lalu menghela nafas. Perempuan itu benar-benar tidak mengijinkan aku untuk tidur dengan tenang malam ini. Ginna masih saja ingin tidur denganku.

"Aku tahu kamu belum tidur. Buka pintunya, Anka."

Tentu saja aku enggan untuk membukakan pintu itu. Aku hanya tidak sanggup jika harus berbagi ranjang dengan Ginna. Aku hanya tidak ingin menyiksa hatiku. Bagaimanapun juga, Ginna adalah mantanku. Tidur dengan mantan itu bukanlah sesuatu yang baik. Iya, kan?

"Aku tidak akan berhenti gedor pintu kamu, gangguin kamu kalau kamu belum mau bukain pintunya, Anka!"

Aku tetap bergeming, tidak peduli dengan ucapan Ginna, paling juga nanti dia lelah sendiri. Lalu kucoba untuk memejamkan mata.

Belum ada tiga puluh menit mataku terpejam, terpaksa harus kubuka kembali karena suara gedoran pintu yang makin lama makin memekakan telinga. Ginna benar-benar sudah gila. Mau sampai kapan dia menggedor pintu kamarku? Sampai pagi?

"For God shake, Gin! What y-"

Begitu pintu kamarku terbuka, tanpa fa-fi-fu, belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Ginna sudah terlebih dahulu menerobos masuk ke dalam kamar. Aku yang masih berdiri di ambang pintu segera ditarik masuk oleh Ginna. Dengan cekatan, Ginna mengunci pintu kamar ini, kemudian kunci itu dia simpan di kantong kanan celana tidurnya. Aku hanya bisa menghela nafas dan terus mencoba bersabar melihat kelakuan Ginna yang seenaknya.

Rabbit HoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang