02 : "Aku sudah kehilangan semuanya."

1.9K 191 27
                                    

Gambaran tentang pernikahan impian dan membangun keluarga yang bahagia pupus saat Lubna mendapati kenyataan bahwa laki-laki yang kelak ia jadikan sebagai imam keluarga harus pergi selama-lamanya tepat seminggu sebelum pernikahan mereka. Kepergian Ilham bukan hanya menyayat luka baru bagi Lubna, tetapi membuka luka lama yang berusaha ia tutup sejak lama karena sosok Rafaz Malik Kavindra kembali memasuki hidupnya. Laki-laki itu kembali menampakkan wajahnya di sini, di rumah sakit ini dengan kemeja berhias bercak darah Ilham. Ia menatap Lubna dengan tatapan nanar bercampur pilu. Sudah belasan kali ia mendengar Raf mengucapkan kata maaf—atas kesalahan yang Lubna yakini bukan seratus persen disebabkan oleh Raf.

Meskipun Lubna adalah hamba yang masih meraba-raba kehadiran Tuhannya, ia masih percaya bahwa apa yang terjadi kepada Ilham adalah bagian dari apa yang sudah Tuhan tuliskan. Mungkin sudah menjadi takdirnya untuk kehilangan laki-laki yang ia cintai, kehilangan seseorang yang bersedia menjadi ayah dari janin kecil yang dikandungnya saat ini, kehilangan seorang calon imam yang akan membuatnya bahagia. Lubna tahu bahwa mungkin inilah ujian dari Tuhan yang orang-orang sebut akan membuatnya lebih kuat. Tapi satu hal yang Lubna tidak pahami, dari 250 juta lebih manusia yang tinggal di Indonesia, mengapa harus Rafaz Malik Kavindra yang menabrak calon suaminya? Mengapa Tuhan harus mengirimkan kembali Raf ke dalam hidupnya dengan cara seperti ini? Mengapa harus Raf, laki-laki yang selalu ia cintai dan berusaha ia lupakan setengah mati?

Kepergian Ilham dan kemunculan Raf adalah dua hal yang sangat Lubna takuti. Hanya Ilham yang bisa menerima keadannya sepenuh hati. Bahkan saat Lubna mengatakan ia belum mencintai Ilham, laki-laki itu berkata masih ada waktu sepanjang usia untuk bisa belajar mencintainya. Ilham selalu melebarkan telinga saat Lubna berkata masih mencintai Raf. Ilham juga yang selalu ada di sisinya saat Lubna hampir mengakhiri hidupnya. Ilham yang selalu sedia menjaganya. Tapi kini ... Ilham telah pergi. Dan di hari yang sama, satu-satu penyemangat hidup yang bersemayam dalam rahimnya ikut pergi karena kondisi fisik dan psikisnya yang memburuk.

Lubna menangis. Kesedihannya bukan hanya karena kepergian Ilham dan janinnya yang keguguran. Alasan air matanya meluruh deras adalah saat ia melihat kedua orangtuanya memandangnya dengan tatapan kecewa bercampur duka. Pastilah kedua orang tuanya tidak menyangka anak semata wayang yang dianggap "perempuan baik-baik" tidak bisa menjaga kesuciannya sebelum pernikahan.

"Lubna minta maaf sudah mengecewakan Ibu dan Bapak ...."

Lukman dan Atia hanya terdiam kemudian memeluk Lubna. Air mata yang mengalir dari mata keduanya adalah jawaban yang cukup jelas bagi Lubna: orang tuanya putus asa dan kecewa.

"Bapak hanya tidak menyangka kamu dan Ilham ...," Ucapan Lukman menggantung begitu saja. "Kalian adalah perempuan dan laki-laki yang baik. Kalian—"

"Ilham baik, Pak, tapi Lubna enggak ... Ilham nggak salah apa-apa. Semua ini salah Lubna. Maaf nggak bisa jadi anak baik seperti yang Bapak harapkan ...," balas Lubna diselingi isak tangis, "jauh sebelum ini, Lubna memang sudah rusak karena ...," Lubna menggelengkan kepalanya. Ini bukan waktu yang tepat. Aku tidak ingin membuat Ayah dan Ibu tambah kecewa dan sedih. "Lubna cuma bisa bilang maaf ke Ibu dan Bapak."

"Minta maaf juga sama Allah ya, Nak ... Kesalahan terbesarmu bukan karena mengecewakan Ibu dan Bapak, tapi karena kamu mengecewakan Allah ...."

Lubna tersenyum getir. Di saat-saat seperti ini, semua orang akan mengatakan bahwa ia telah melakukan kesalahan terbesar dan mengecewakan Tuhannya. Tapi menurut Lubna, justru Tuhanlah yang mengecewakannya. Tuhan telah memberikan rasa cinta yang sebegitu besar kepada Raf—cinta pertama dalam hidup Lubna—untuk kemudian menjauhkan Raf dalam hidupnya. Tuhan telah memberikan lingkungan pertemanan yang buruk bagi Lubna yang ingin berusaha menjadi baik. Tuhan telah memberikan satu hari terburuk dalam hidupnya—saat laki-laki tidak bertanggungjawab merenggut kesuciannya. Dan, Lubna tidak pernah berani mengungkapkan yang sebenarnya kepada orang tuanya. Ia tidak bisa melihat wajah orang tuanya yang memandangnya dengan rasa kecewa.

Persinggahan Sementara [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang