03 : "Aku tidak pernah bisa menjadi istri yang baik untuk kamu."

1.7K 188 8
                                    

"Awalnya aku pikir kamu akan datang sendiri, Na." Shira-wanita berusia tiga puluh dua yang Lubna kenal sebagai influencer muslimah, married consultant, dan sahabat terbaik Lubna-menyilakan kedua tamunya untuk duduk. Lubna mengikuti langkah Shira dengan kernyitan kecil di dahi. "Kenapa kamu terlihat bingung gitu, Na?"

"Kita ... akan konsultasi di sini, Mba? Bukan ... di ruangan kerja Mba Shira?"

Shira tertawa kecil. Matanya menatap intens Raf dan Lubna. Sambil menuangkan dua teh dalam ke dalam cangkir tamunya pagi ini, Shira menghela napas pendek. "Hari ini aku menganggap kamu dan Raf adalah seorang teman yang butuh nasihat dan saran, bukan pasangan suami istri yang harus diberikan sesi konsultasi. Kita ngobrolnya di sini aja, ya?"

Lubna mengangguk kecil. "Aku bukan mau ngobrol, Mba. Aku-"

"Aku tahu, Lubna." Shira memotong ucapan Lubna sambil tersenyum kecil. "Rileks aja. Yuk coba diminum dulu tehnya."

Lubna dan Raf mengangguk kecil. Sebelum seteguk teh itu masuk ke dalam mulut Raf, tangan Lubna terangkat. "Kamu sudah minum cukup banyak teh pagi ini. Jangan diminum lagi. Lambung kamu bisa sakit dan aku nggak mau lihat kamu nggak bisa tidur lagi malam ini."

Raf menatap Lubna beberapa detik kemudian meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. Sementara itu, Shira langsung meminta maaf, menawarkan minuman lain yang bisa diminum Raf. Laki-laki itu hanya diam. "Air putih aja, Mba. Kalau boleh request yang hangat soalnya Raf lagi flu."

Shira mengangguk dan kembali dengan segelas air putih hangat untuk Raf. "Makasih, Mba."

"Sama-sama," jawab Shira, "kamu belum jawab pertanyaanku sebelumnya. Kenapa datangnya berdua? Aku pikir ini akan jadi woman's talk."

Lubna tersenyum kecil. "Kalau cuma dua perempuan yang bicara, aku takut terlalu banyak melibatkan perasaan. Lagipula, aku mau yang Mba dengar bukan dari perspektif aku aja, tapi dari perspektif Raf juga."

Shira mengangguk paham. "Oke ... jadi sebelum kalian datang ke sini, kalian sudah coba ngobrol sebelumnya?"

Pertanyaan Shira dibalas anggukan kecil oleh Lubna dan gelengan lemah dari Raf.

"Kenapa jawaban kalian beda?"

Lubna menatap Raf. Seperti biasanya, tatapan laki-laki itu kosong. Ekspresinya datar. Lubna tidak bisa merasakan emosi apa-apa pada mimik wajah suaminya.

"Lubna? Raf?" Shira memanggil pasangan suami istri itu setelah mereka terdiam cukup lama.

"Raf, tadi malam kita sudah coba obrolin ini di rumah." Lubna berkata sambil menatap Raf. Respons laki-laki itu masih diam. Lubna kembali menatap Shira. "Semalam sudah ngobrol kok, Mba."

"Baru tadi malam aja?"

Lubna mengangguk.

"Berapa lama kalian ngobrol?"

"Sekitar ... setengah jam?" Lubna mencoba mengingat kembali berapa lama waktu yang ia habiskan untuk membangun percakapan dengan Raf tadi malam. "Ya, kurang lebih segitu."

"Baru tadi malam aja ngobrolnya?"

Lubna mengangguk.

Shira membuang napas. Tatapannya terarah kepada Raf yang lebih banyak menunduk. Setelah percakapan singkat tentang perceraian yang berakhir dengan air mata, Raf dan Lubna tidak banyak bicara. "Oke ... apa yang kalian obrolin tadi malam?"

"Soal ... perceraian." Lubna menjawab lirih.

"Terus gimana akhir dari pembicaraan kalian?"

"Nggak ada akhirnya, Mba. Selesai begitu aja. Itu sebabnya kita ke sini."

Persinggahan Sementara [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang