05 : "Aku akan selalu bareng sama anak-anak, saat kamu di sini ataupun enggak."

1.2K 166 43
                                    

Lubna memandangi Ghazi yang sedang membaca buku cerita berseri kisah hidup Rasulullah dalam buku bergambar. Untuk usia enam tahun, kemampuan membaca Ghazi sudah di atas rata-rata. Begitu pula dengan Gia. Di usianya yang baru menginjak empat tahun, ia sudah bisa membaca dengan lancar. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana Raf dan Lubna mendidik anaknya. Lubna mendedikasikan hidupnya sebagai full time umm wa rabbatul bait bagi kedua anaknya. Dunianya berpusat pada Ghazi dan Gia—dua malaikat kecil yang membuat hidupnya berwarna.

Di sampingnya, Gia memperhatikan sang kakak yang sedang membacakan kisah dengan serius. Lubna tersenyum kecil. Di halaman terakhir kisah Rasulullah yang dibaca Ghazi, saat disebutkan nama Aisyah, Gia melemparkan pertanyaan.

"Aisyah itu siapa, Umi?"

"Aisyah itu istrinya Rasulullah." Ghazi menjawab mantap.

"Pintar." Lubna memuji Ghazi seraya mengusap pelan puncak kepalanya.

Gia mengernyitkan kening. "Bukannya waktu itu Umi pernah cerita istrinya Rasulullah itu Khadijah?"

Lubna tertawa kecil. Ia tidak pernah menduga anak sekecil Gia akan mengeluarkan pertanyaan seperti ini. Otaknya berpikir keras, memikirkan penjelasan terbaik yang bisa diterima oleh anak berusia empat tahun.

"Dua-duanya istri Rasulullah." Ghazi menjawab lagi.

"Oh ... jadi Rasulullah istrinya dua ya, Umi?" Gia bertanya lagi.

"Bukan dua, tapi tiga belas," jawab Ghazi, "iya kan, Mi?"

Lubna terperangah. Seingat Lubna, ia belum pernah menceritakan rumah tangga Rasulullah kepada Ghazi dan Gia karena usia anaknya yang memang masih belia. Perempuan itu menatap lekat-lekat mata Ghazi. Sorotan mata anak laki-lakinya mirip dengan sorot mata Raf beberapa tahun silam.

"Terus yang paling disayang sama Rasulullah yang mana, Umi?"

"Semuanya kok, Gi," balas Ghazi saat Lubna baru saja hendak membuka mulutnya. "Rasulullah itu walaupun istrinya banyak, bukan karena genit atau nafsu. Dari tiga belas itu, cuma Aisyah yang paling muda, yang lainnya itu sudah tua dan bahkan punya anak lho, GI. Nah, Ibunda Khadijah itu istri yang pertama. Yang nemenin Rasulullah dari belum jadi Rasul, ngasih hartanya untuk Islam. Ibunda Khadijah kan kaya dan jadi istri yang nggak pernah bisa dilupain sama Rasulullah. Berarti kan Rasulullah sayang ya Umi sama Khadijah?"

Lubna tertegun, kemudian mengangguk.

"Kalau Ibunda Aisyah ...," Ghazi menggantungkan kalimatnya. Lubna bisa melihat dengan jelas bahwa anak laki-lakinya sedang berpikir—mencoba mengingat-ingat sesuatu dalam kepalanya. "Oh! Itu ya, Umi, kalau Aisyah ... istri yang paling pintar dan disayang sama Rasulullah."

Lubna tertegun. "Ghazi tahu dari mana?"

"Abi," jawab Ghazi pelan. "Abi pernah kasih tahu ke Ghazi. Abi juga bilang kalau Umi itu Aisyah di hidupnya Abi. Pas Ghazi tanya maksudnya apa, Abi nggak ngejelasin apa-apa. Sekarang kayaknya Ghazi tahu deh, Mi."

Lubna tahu pembicaraan seperti ini terasa tabu untuk dilakukan bersama anaknya yang baru berusia enam tahun, tetapi ia tertarik dan ingin mengatahui apa yang dipikirkan anaknya. "Kenapa?"

"Artinya, Abi itu paling sayang sama Umi!" jawab Ghazi antusias.

Lubna lantas tersenyum, kemudian mengusap pelan puncak kepala Ghazi. Ia juga melakukan hal yang sama kepada Gia. Andai saja penjelasannya sesederhana itu: bahwa makna Aisyah dalam hidup Raf adalah bahwa Lubna menjadi seseorang yang paling ia sayangi. Tetapi, kenyatannya tidak demikian. Lubna tidak pernah bisa memposisikan diri menjadi siapapun dalam hidup Raf. Tidak menjadi sosok Khadijah, pun dengan sosok Aisyah.

Persinggahan Sementara [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang