Lubna memandang wajah Raf yang tengah tertidur pulas. Meskipun tidak tega melihat wajah lelah Raf karena ia pulang untuk mengobrol dengan dirinya, Lubna justru merasa sedikit bahagia. Ia merasa diprioritaskan. Atau kalau perasaan itu terlalu terdengar berlebihan, Lubna merasa rumah tangganya sedang diprioritaskan. Rasanya, sudah lama Lubna tidak melihat Raf seperti itu. Ia kehilangan sosok Raf persis setelah Rae meninggal dunia enam tahun yang lalu.
Ketika matanya masih tertuju pada setiap sudut wajah Raf, pelan-pelan mata laki-laki itu terbuka. "Kamu belum tidur atau kebangun?"
"Aku nggak bisa tidur."
Raf hendak bangun dari posisi tidurnya sebelum Lubna menahan wajah Raf dan membawa kepala suaminya menetap di bantal. "Sekarang jam dua pagi," ujar Lubna ketika paham bahwa tujuan Raf bangun adalah melihat jam dan melangsungkan salat malam.
"Jadi dua jam terakhir aku tidur, sedangkan kamu nggak bisa tidur?"
"Kamu juga nggak benar-benar tidur, Raf," balas Lubna, "kamu mikirin banyak hal."
Raf menghela napas. "Apa yang kamu lakukan selama dua jam tadi?"
"Mencari alasan."
"Alasan apa?"
"Alasan kenapa kita menikah. Alasan ... kenapa aku mau menikah sama kamu. Selama ini aku selalu nunggu jawaban kamu, tapi aku baru sadar kalau aku bahkan nggak pernah nanya ke diri aku sendiri," jelas Lubna, "Kita terlambat ya, Raf? Ketika orang-orang sudah punya alasan yang jelas dari sebelum menikah, kita justru mikirin ini ketika mau cerai."
"Kamu yang mau cerai, Na," balas Raf, "aku enggak."
Lubna terdiam sejenak. "Kamu nggak pernah berpikir untuk cerai sama aku?"
Raf menggeleng tegas.
"Satu kali pun nggak pernah terlintas untuk cerai sama aku?"
Sekali lagi Raf menggeleng tegas.
"Apa kalau aku tanya alasannya, kamu akan jawab 'Aku sayang kamu' kayak semalam lagi?"
"Aku punya alasannya, tapi nggak akan aku jawab sekarang."
Lubna hanya mengangguk. Dengan cara apapun ia bertanya, ketika Raf mengatakan tidak akan menjelaskannya, maka laki-laki itu akan bungkam seribu bahasa. Jemari Lubna menelusuri sudut wajah Raf. Semenjak Rae meninggal, wajah itu kehilangan gurat bahagianya. Pancaran mata Raf juga lebih banyak menyiratkan kehampaan dan kesedihan. Pagi ini, Lubna melihat wajah itu tampak lelah dan sedih dua kali lipat dari biasanya. Lubna tahu hal itu disebabkan olehnya. Lubna sadar permintaannya tentang cerai adalah sesuatu yang tidak pernah Raf bayangkan. Pastilah sejak kemarin malam Lubna mengucap kata cerai, Raf benar-benar tidak bisa mengistirahatkan hati dan pikirannya.
Lubna mengambil telapak tangan Raf, menggenggamnya sejenak, kemudian menempelkan punggung tangan Raf pada ujung hidungnya. "Maaf kalau semuanya terlalu mendadak buat kamu. Maaf juga karena nggak kasih kamu ruang untuk bicara," ujar Lubna sambil memejamkan mata, "aku nggak berharap dapat pahala dengan salim ke kamu kayak gini, aku cuma berharap di masa-masa ini, Allah memberikan berkah-Nya sama kita berdua."
"Apa kamu merasa pernikahan kita nggak berkah?"
Lubna menurunkan jemari Raf, kemudian menatap tepat di manik mana suaminya. "Menurut kamu?" Ia balik bertanya. Raf hanya diam. "Yang aku tahu, berkah itu artinya ziyadatul khair, bertambahnya kebaikan. Apa yang kita jalani selama tujuh tahun ini menambah kebaikan dalam rumah tangga kita? Aku rasa enggak. Itu cuma terjadi di tahun pertama ... saat Rae masih ada."
Ketika nama Rae kembali disebut, Lubna bisa melihat Raf menghela napas berat. "Apa kamu akan selalu bawa Rae dalam setiap obrolan kita?"
Lubna membuang napas dan menarik kembali selimutnya. Awalnya, ia pikir pembicaraan tengah malam ini akan membuat Raf dan dirinya sendiri jujur dan merasa nyaman. Akan tetapi, melihat wajah Raf kembali murung, Lubna tahu ujung pembicaraan ini tidak akan baik. "Kata orang midnight talk itu waktu saat seseorang sama jujur dan terbuka. Katanya, makin malam kita ngobrol sama seseorang, biasanya akan makin ngalir dan bikin kita nyaman. Tapi kayaknya, itu nggak berlaku buat kita ya, Raf?" Lubna mengajukan pertanyaan retoris itu tanpa menatap Raf. "Kita emang nggak pernah bisa ngobrol."
![](https://img.wattpad.com/cover/211653947-288-k595324.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Sementara [On Hold]
Spiritüel[BUKU KEDUA DWILOGI RIHLAH CINTA] Sejak awal menikah dengan Raf, Lubna sudah tahu bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan pernah menjadi yang pertama dan utama. Tanpa menjelaskan apapun, dari sudut mata Raf yang selalu sendu saat melihat album dengan j...