09 : "Aku baik-baik aja."

1.6K 157 12
                                    

Ponsel Lubna berdering. Di sana, tertulis nama Albhi. Lubna terdiam cukup lama sampai deringan ponsel itu berhenti sendiri. Selang beberapa detik, satu SMS masuk ke ponsel Lubna.

Lubna, kamu serius nggak butuh bantuan profesional? Atau kalau istilah 'profesional' mengganggu kamu, let's talk as a friend. Saya cuma mau memastikan kamu benar-benar sembuh. Let me help you, as I did before.

Lubna menghela napas ringan. Nama Albhi bukanlah nama yang asing dalam kehidupan Lubna. Jauh sebelum ia bertemu Ilham yang menyelamatkan hidupnya yang hampir kelam, Albhi sudah lebih dulu datang menghapus semua hitam. Laki-laki itu dua tahun lebih tua dari Lubna. Ia mengenal Albhi saat masih berkuliah magister di Universitas Padjajaran. Mereka pertama kali bertemu di acara seminar yang diselenggarakan jurusan Psikologi dan mengundang Albhi sebagai pemateri. Saat itu Lubna dengan tatapan kosong, berharap saat ia duduk di sana, ia menemukan alasan untuk hidup. Itu adalah masa-masa terburuk bagi Lubna. Dari lingkup pertemanan yang buruk, Lubna kehilangan satu hal paling penting sebagai perempuan: kesuciannya.

Lubna sengaja duduk di kursi paling depan. Ia mendengar semua pembicaraan soal "menata masa depan" yang disampaikan oleh pemateri. Dadanya sesak, hingga saat sesi diskusi dibuka, Lubna mengangkat tangannya tinggi-tinggi lantas bertanya, "Bagaimana bisa kita menata masa depan saat untuk bertahan hari saja rasanya menyakitkan?"

Semua pemateri menjawab ala kadarnya dengan pesan-pesan positif yang membuat Lubna justru merasa semakin sesak. Sementara itu, Albhi hanya menjawab dengan dua kalimat sederhana. "Maka jangan bertahan. Jangan pernah bertahan untuk sesuatu yang menyakitkan."

"Jadi apa yang harus dilakukan? Bunuh diri?" tanya Lubna tanpa memedulikan ekspresi terkejut dari seluruh peserta seminar.

"Apa ada jaminan setelah bunuh diri, rasa sakitnya akan menghilang?" jawab Albhi dengan pertanyaan retoris yang kemudian ia tutup dengan seulas senyum kecil. Selepas seminar itu, di tengah ramainya peserta seminar yang keluar dari aula, Albhi tergopoh-gopoh mengejar langkah Lubna.

"Kamu mau ke mana?"

"Mengikuti saran kamu, bunuh diri."

"Saya nggak pernah menyarankan siapapun untuk bunuh diri," jawab Albhi, "dan kamu nggak pernah benar-benar serius mau bunuh diri."

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan begitu?"

"Keberadaan kamu di sini, ikut seminar ini, duduk paling depan, dan mengajukan pertanyaan sudah cukup membuktikan kalau kamu punya alasan yang kuat untuk bertahan. Kamu berharap semua orang-orang yang datang dan lihat kamu hari ini ... memberi kamu semangat."

Mendengar itu tangis Lubna pecah. Dan semenjak hari itu, Lubna sering menghabiskan waktu bersama Albhi. Mereka sering mengobrol tentang banyak hal—atau lebih tepatnya Albhi sering mengajak Lubna pergi bersama. Beberapa tahun setelahnya, Lubna baru sadar bahwa itu adalah sesi konsultasi yang dilakukan Albhi agar penyakit mental Lubna sembuh. Saat mendung di kehidupan Lubna sudah berganti cerah, mereka sudah jarang bertemu. Yang Lubna tahu, Albhi melanjutkan studi di luar negeri. Mereka terakhir bertemu tujuh tahun lalu, saat Lubna kembali menghadapi titik kritis hidupnya. Saat itu Lubna menghubungi Albhi dan meminta kepada laki-laki itu agar menemuinya: kembali menyembuhkannya.

"Kejadian ini terulang lagi, Bhi." Lubna menatap Albhi dengan suara bergetar. "Kalau alasan aku untuk hidup udah mati, aku harus gimana?"

Albhi menghela napas sambil memperbaiki letak kacamatanya. "Alasan kamu hidup itu diri kamu sendiri, bukan orang lain. Kamu bisa bertahan sejauh ini bukan karena saya, Ilham, atau keluarga kamu. Itu semua datang dari diri kamu sendiri, Lubna."

Persinggahan Sementara [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang