01 : "Aku mau jadi pemberhentian terakhir untuk kamu juga."

2.3K 232 41
                                    

"Aku nggak salah dengar, Na?" Raf mendongak demi melihat iris mata istrinya—Lubna—yang saat ini sudah berkaca-kaca. Selama tujuh tahun menikah, baru kali ini Raf melihat iris mata Lubna dalam-dalam. Selama ini Raf selalu melihat iris mata istrinya memancarkan kebahagiaan. Malam ini Raf tahu mata istrinya tidak pernah baik-baik saja. Ia juga sadar bahwa ada yang luput dari pandangannya selama ini.

Lubna masih diam, terpaku dan menunduk. Ia tidak mampu menatap ke dalam bola mata Raf. Selama menikah, memang itulah yang selalu Lubna hindari. Ia tak pernah berani manatap mata Raf, sebab ia tahu tak pernah ada pantulan dirinya di sana. Lubna hanya berani menatap sudut wajah suaminya lekat-lekat saat malam sudah gelap—ketika suaminya sudah terlelap. Saat dengkur napas Raf mengalun indah, saat itulah Lubna diam-diam tersenyum getir: membayangkan Raf membuka matanya kemudian tersenyum sambil menatapnya dengan penuh cinta.

Cinta.

Lubna bahkan tidak tahu bagaimana wujud cinta itu atau bagaimana bentuk cinta yang diberikan seorang Rafaz Malik Kavindra. Yang Lubna tahu, Raf pernah mengatakan bahwa pernikahan ini adalah ibadah, bahwa sebab Raf berani mengucap akad tiada lain hanya karena Allah, bahwa Raf mencintainya karena Allah. Tapi selama tujuh tahun menikah, Lubna justru tidak merasakan bagaimana dicintai seorang hamba karena Rabb-Nya. Pernikahan ini sama seperti pernikahan pada umumnya: ia menjadi seorang istri dan ibu yang mengurus rumah tangga dan menyiapkan segala kebutuhan yang dibutuhkan suami dan istrinya.

"Lubna ...." Lirih Raf memanggil nama Lubna. Jemarinya merangkum pelan telapak tangan Lubna. Ibu jarinya mengusap pelan jemari Lubna. Perlahan, wajah Lubna yang sejak tadi menunduk pelan-pelan mendongak, menatap Raf. "Kita salat dulu yuk, Na .... Kita doa sama Allah supaya pikiran dan hati kita sama-sama tenang. Ya?"

"Sudah, Raf." Lubna membalas dengan suara ringkihnya. "Sebelum aku ngomong ini sama kamu, aku sudah salat dan doa berkali-kali sama Allah. Kamu tahu apa doaku?"

Belum sempat Raf menjawab, Lubna sudah meneruskan ucapannya. "Setiap kali setelai salat tahajud, dari belakang kamu, saat aku lihat punggung kamu bergetar dan isak tangis kamu mulai terdengar, yang aku minta sama Allah itu cuma satu, Raf. Aku minta sama Allah supaya aku bisa mengaminkan doa kamu. Aku mau doa kamu tentang keluarga kita, tentang harapan kalau kita bisa menjalankan rumah tangga ini untuk ibadah, tentang keinginan agar kita bisa jadi pasangan dunia akhirat," ujar Lubna lirih, "aku tanya sama kamu, kapan terakhir kali kamu sebut nama aku dalam doa kamu, Raf?"

Raf terdiam. Pernyataan dan pertanyaan Lubna membuatnya memejamkan mata, mengingat-ingat kapan terakhir kali ia mengucapkan nama Lubna Diwanggani dalam doanya. Apakah itu saat mereka hendak menikah? Atau saat Lubna memasuki ruang operasi untuk melahirkan? Atau ... Raf sendiri tidak tahu.

"Aku ...," Raf menggantungkan kalimatnya, bingung harus menjawab apa. Laki-laki itu menghela napas. Baru saja ia ingin mengatakan kata maaf—untuk kesalahan yang tidak ia pahami—Lubna kembali mengeluarkan suaranya.

"Jangan minta maaf," ujar Lubna. Kali ini suaranya terdengar lebih bergetar. Raf langsung menatap mata istrinya yang sekarang sudah meneteskan air mata. "Jangan terlalu mudah minta maaf. Aku nggak berusaha buat kamu merasa bersalah, Raf."

"Kamu juga ... jangan nangis." Raf membalas lirih saat melihat lapisan bening yang membalut kedua mata istrinya akhirnya jatuh. "Kamu nggak pernah mudah menangis. Aku nggak tahu usaha apa yang harus aku lakukan supaya kamu nggak sesedih ini."

Lubna menggeleng pelan. "Kamu nggak perlu mengusahakan apa-apa. Memang sudah seharusnya begini, Raf. Ini yang terbaik untuk kita."

Raf terdiam lagi, hela napasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya. Sudah tiga puluh menit mereka duduk di atas meja makan dengan percakapan yang lebih banyak menyuarakan diam. Satu kalimat Lubna dibalas oleh hening Raf sekian lama, begitupun sebaliknya.

Persinggahan Sementara [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang