BAB 4

2.9K 296 111
                                    

Alarm pagi paling berisik dari yang pernah ada. Ponselnya berdering entah sampai berapa kali sudah. Cepat-cepat Naru menyingkap selimut, meraih ponsel di samping dia berbaring. Setelah mengucek-ngucek kelopak mata yang masih lengket, dia membaca pesan oleh Hinata.

Selamat pagi, sayang...
Tidurmu nyenyak? Jangan lupa jemput aku jam 9 ya..

Naru mengembalikan ponselnya di tempat semula, oh ayolah! Kenapa kekasihnya itu terkadang menjadi menyebalkan, ini baru jam tujuh pagi. Biarkan dia tidur sejam lagi saja. Berujung Naru menarik selimut hingga menutupi kepala. Namun ketika mata hendak terpejam, bunyi gaduh dari luar menambah kejengkelan di hati. Dia bangkit dengan perasaan geram, lalu suara ribut tersebut memancing tubuhnya untuk turun dan memastikan.

Jalannya masih gontai, dia menuju pintu padahal tak mengenakan baju. Cuma training hitam yang menutupi kaki-kaki panjangnya. Pintu terbuka, kepala Naru menjorok keluar, mencari siapa biang kebisingan yang telah mengganggu tidurnya. Tak menemukan sosok apa pun di sana, dia berencana beringsut ke pagar pembatas demi menghirup kesegaran udara pagi. Kemudian yang terdengar adalah sumpah serapah dari mulut lelaki itu.

Ada tumpukan kardus di depan pintu kamar apato miliknya dan kakinya tersandung benda-benda tersebut. Karena emosi Naru menendang tumpukan kardus, salah satunya terbalik hingga isinya berserakan ke mana-mana; buku-buku juga banyak alat tulis berhamburan.

"Wah! Kerjaan siapa nih?! Yang di dalam juga belum siap, kenapa di luar malah ikut berantakan?!" gadis berambut pirang itu mengentak-entakkan pijakannya dengan muka berkerut, ia sungguh sebal. Ketika matanya menoleh ke kanan, ekspresinya berubah garang. "Hei! Pasti kau orangnya 'kan? Beresin enggak?!" gadis itu membentak sambil memerintah Naru, telunjuknya menunjuk ke barang-barang yang bercecaran.

"Enak saja, siapa yang menyuruhmu menaruh kotak-kotak ini di depan pintuku? Aku jadi kesandung, kepalaku terbentur ke pagar. Kalau terjadi apa-apa, aku bisa menuntutmu karena lalai." Naru menghardiknya dengan keras. "Masih kecil sudah belagu," belum pernah dia sedongkol ini. Sambil mengoceh geram, dia bangkit dan menepuk-nepuk bokongnya yang terkena debu. "Ugh!" dia mengaduh kesakitan tatkala buku bersampul keras mendarat di kepalanya. "Kau gila, ya!" maki Naru sembari lagi-lagi menendang kotak-kotak yang menghalangi jalannya. Debaman pintu mengagetkan gadis itu, sontak dia berjingkrak di tempat.

"Dasar, laki-laki sialan!"

-----

Nata celangak-celinguk meneliti keadaan di sekitar mansion keluarganya. Begitu yakin sudah aman, dia tergesa-gesa menghampiri Naru yang kini berada dua puluh meter darinya, lelaki itu memarkirkan motor di bawah pohon rindang. Seperti anjuran Hinata, sebab kekasihnya itu tak ingin terlalu diawasi oleh anggota keluarga, atau ketahuan oleh beberapa pengawas dan dia dicap sebagai anak pembangkang. Pasalnya Nata sempat mengaku bahwa kedua orang tuanya tak mengizinkan dirinya berhubungan dengan lelaki manapun sebelum kuliahnya usai. Tapi dia juga bilang jika ayah ibunya tahu tentang kedekatan dia dan Naru, tanpa menjelaskan terang-terangan perihal jalinan kasih di antara mereka.

"Mukamu jelek sekali, kok bisa bengkak begitu matanya?" tanya Nata saat menyaksikan kekacauan di wajah kekasihnya. Lalu dia mengambil sebuah benda dari dalam tas, bersamaan dengan itu dahi Naru mengernyit tajam.

"Buat apa?" Naru menjauhkan kepala ke belakang ketika Nata berencana melakukan sesuatu di wajahnya. Sementara perempuan itu langsung membuang napas kasar.

"Hanya concealer, ini bisa menyamarkan kantung hitam di matamu. Makanya jangan begadang terus." sambil mengoceh, Nata menarik pelan dagu Naru dan mengoleskan benda tadi.

"Tidak perlu Hinata. Orang-orang akan menertawaiku jika tahu." Nata berdecak kesal karena Naru menghapus polesan concealer tadi. Wajahnya jadi masam serta bibir yang dimanyunkan.

"Ya sudah kalau tidak mau." Nata langsung naik ke atas motor, kemudian memeluk kencang pinggang Naru.

"Kita mau ke mana?" lagi-lagi Naru dibuat bingung, bukannya menjawab Nata justru menggeleng-geleng di balik punggungnya.

"Entah, aku cuma ingin menghabiskan waktu denganmu sebelum pergi ke kampus." Akibat merasa takut, suara Nata terdengar bagai cicitan.

"Nata... lain kali bilang yang jelas. Kalau tahu begini, aku tidak akan melewatkan jam tidurku." kata-kata Naru sangat halus, berharap kekasihnya itu dapat memahami keadaannya.

"Janji tidak lama. Aku tahu kok siang nanti kau harus pergi kerja. Cuma ini cara agar kita bisa sering ketemu." Nata beralibi seperti biasanya.

"Aku sudah dipecat dan kemarin kita baru saja bertemu. Nata... tolong mengertilah sedikit. Pekerjaanku banyak, waktu istirahatku terbatas. Jika alasannya karena intensitas kebersamaan, aku selalu menyisipkan waktu untuk mengantar atau menjemputmu. Tapi bukan begini caranya, waktu luangku sia-sia." di belakang Nata bergeming, menghiraukan penjelasan kekasihnya.

"Bagus dong! Berarti enggak kerja di perusahaan ekspedisi lagi 'kan? Aku tidak suka Naru bekerja di sana." ungkapan Nata mengundang segudang tanya di benak Naru. Pernyataannya sungguh mengagetkan lelaki itu.

"Aku baru saja dipecat, begitukah tanggapanmu untukku?!" Naru menoleh ke belakang, dia hampir benar-benar kesal mendapati sang kekasih justru sibuk dengan ponselnya. "Lihat aku, Nata..." Untung saja kesabaran Naru masih ada, hingga dia mengurungkan niat memarahi kekasihnya.

"Wanita-wanita genit itu membicarakanmu seharian penuh, setiap kali paket kiriman sampai ke tangan mereka. Telingaku panas karena mereka tidak mau berhenti membayangkanmu." mendadak muka Naru seluruhnya berkerut, terlampau heran dan tak dapat menangkap maksud pengakuan Nata.

"Mereka siapa? Wanita mana? Astaga!" Naru mengusap kasar wajahnya. "Sebenarnya apa yang mau kau sampaikan padaku?"

"Teman-teman di kelasku selalu membahas kurir baru yang beberapa minggu ini mereka temui. Aku tidak bohong, apa yang mereka bilang bisa kudengar dengan jelas. Semua ciri-ciri kurir yang mereka sebutkan mengarah padamu. Seorang dari mereka bahkan berencana ingin mendekatimu jika sekali lagi kau datang mengantar kiriman untuknya." Panjang lebar Nata menjelaskan, seiring kalimatnya berakhir Naru tiba-tiba diserang pusing.

"Pekerjaan itu sangat berarti bagiku. Mestinya Nata tahu posisiku, aku tidak punya keinginan untuk bermain-main dengan wanita lain." Dia mendesahkan kekecewaan. Lantas Nata diam tertunduk setelah sesal timbul di hatinya.

Dia tak akan berani menceritakan segala kebenaran itu. Ketika dengan sengaja mengulur waktu, agar Naru telat ke tempat kerjanya. Semua siasat singgah secara kilat di kepala. Otaknya merekam apa yang dia dengar dari Naru, bila perusahaan ekspedisi tak bisa memaklumi keterlambatan karyawan.

Bersambung...

To be Lovesick ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang