BAB 6

2.3K 239 44
                                    

Hidup rumit tentu bukan pilihan siapa pun. Tapi menjalaninya adalah sebuah keharusan dan Naru berada di tempat itu. Penghinaan, cape, sesekali berputus asa sudah terbiasa ia rasakan. Namun kala terjebak dalam kebuntuan, tanpa perlu bermuram dia justru membangun ulang puing-puing sisa semangat. Berbekal impian sederhana yang selalu menemani keyakinan dalam hatinya.

Remukan kertas berceceran di lantai sintetis bercorak kayu. Lebih dari lima belas menit dia menyusun ulang anggaran keuangan dalam sebulan ke depan. Tapi sepertinya dengan hanya bekerja paruh waktu di kelab, uang yang diperoleh tak juga cukup untuk semua kebutuhan pokok atau kepentingan kuliah. Padahal menu makan sehari-hari pun sudah diolah agar mengurangi dana keluar. Tak masalah andai harus makan ramen kemasan atau kare instan dalam beberapa bulan, sayang cara itu nyatanya belum bisa menutupi biaya yang diperlukan.

Sambil berpikir, jari-jarinya mengetuk kuat permukaan meja oshin. Barangkali otaknya jenuh, pikiran berputar-putar di tempat serupa akibat tak menemukan solusi yang ia mau dan berujung kesal.
Bibirnya tiba-tiba berdecak, lalu matanya melihat ke pintu dengan tatapan dongkol. Ketika yang didengar adalah suara Choji, dia pun menyahut ramah. "Tidak, tidak. Aku sedang santai. Masuk lah!" lalu lelaki gemuk itu muncul dengan senyum bersahaja yang menjadi ciri khasnya.

"Bagaimana ya... aku sungguh tidak enak." begitu duduk pernyataan Choji langsung membuat dia heran. Naru meletakkan pena, kemudian mengamati serius wajahnya.

"Bilang saja, jangan buat aku penasaran." Alis-alis Naru saling bertaut, sedangkan Choji masih terlihat sungkan untuk bicara. "Apa soal pekerjaan yang kau tawarkan tempo hari?" si laki-laki tambun spontan mendongak serta menjawab lewat anggukan.

"Ternyata posisi itu sudah diisi orang lain, kudengar ada hubungan kerabat dengan manajer kami. Maaf ya, aku tidak bisa membantumu." Raut sesal tak terelakkan, untungnya hal tersebut bukan berita yang mesti dipusingkan oleh Naru. Dalam dunia kerja, baik di perusahaan maupun sebuah lembaga, orang-orang berkuasa kerap punya wewenang khusus dalam memanfaatkan pangkat mereka.

"Oh... soal itu aku tidak kaget lagi. Tapi, terima kasih ya, Choji." ekspresi Naru biasa-biasa saja. Daripada tetangganya semakin segan, dia justru membuat suasana lebih santai dengan bergurau. "Jadi, kapan kau mengajakku minum sake? Mumpung aku senggang, asalkan jangan di jam malam."

"Minggu ini aku gajian, kau boleh makan dan minum sepuasnya. Aku pamit, ya. Semoga kau segera mendapat pekerjaan lain." Si lelaki tambun keluar, Naru pun meraup udara sebanyak-banyaknya demi melapangkan dada yang nyaris sesak. Pasalnya, ia terlanjur menaruh sedikit harapan pada pekerjaan itu.

"Ya! Apa kau mencari sesuatu? Aku tidak melihat apa pun di sini." Ketukan pintu menyapa ulang dan dia menduga mungkin Choji tak sengaja meninggalkan barangnya.

"Ini aku, boleh aku masuk? Aku membawa sedikit makanan untukmu." seketika Naru mendengkus malas, ternyata suara Shion yang menyahut perkataannya.

"Masuk saja," kata Naru singkat dan gadis itu datang dengan wajah ceria. Ia menenteng kotak bekal berwarna kuning.

"Kakak tidak marah lagi 'kan? Sudah ingat padaku? Oh iya, punggungmu masih sakit?" Dia terus- menerus mencecar Naru. Senyumnya mengembang saat menyerahkan bekal makanan yang dia bawa. "Ada onigiri, telur gulung, juga kecap asin. Aku tidak bisa menghabisi semuanya."

"Kau si anak dekil yang cengeng itu, ya? Yang mukanya selalu cemong terus suka menangis dan mengadu ke Ibu Anna, aku benar 'kan?" Naru menahan tawanya kala Shion menggeram menahan emosi dengan mata terpejam. Berselang tiga detik gadis itu mengangguk bersama senyuman sinis di bibirnya.

"Syukur lah Kakak masih ingat." dia merapatkan gigi-giginya saat mengatakan itu. Sedangkan Naru mati-matian mengendalikan tawanya yang sudah ingin meledak.

"Otakku ini cemerlang. Sangat gampang mengingat hal-hal aneh atau memalukan semacam itu," kejengkelan Shion mencapai puncaknya. Buru-buru dia berdiri, lalu pintu berdebam kuat saat dia mengangkat langkah dari kamar Naru. "Terima kasih makanannya ya, anak cengeng!" puas membalas kejengkelannya perkara tempo hari, Naru tertawa sekencang-kencangnya di sana. "Makanya jangan berulah."

Belasan tahun terlewati, menyisakan satu kenangan, pun mungkin dapat dipergunakan sebagai jati diri Naru juga Shion. Faktanya, dahulu mereka berada di yayasan yang sama. Meski bukan teman akrab, diam-diam Shion sering mengamati tingkah laku Naru dari kejauhan.

-----

Sepuluh meter dari gerbang Universitas Swasta elit, tempat Hinata berkuliah, Naru memarkirkan motor Kawasaki miliknya di samping trotoar. Lima menit berlalu, netra biru itu mengamati satu-persatu mobil mewah yang keluar dari gedung tinggi di hadapannya. Tebersit rendah diri di benaknya, dia menyadari Hinata layak bersanding dengan lelaki terhormat atau pemilik tahta dan harta. Parasnya mendadak lesu, belum lagi fakta tentang masalah rumit yang tengah dia hadapi. Sampai ketika Hinata secara tiba-tiba berdiri di depannya, dia pun tersenyum.

"Ke mana dari tadi? Ponselmu kenapa enggak bisa dihubungi?" sambil bersedekap, Hinata menginterogasi Naru. "Aku panik tahu?! Mau apa-apa jadi susah. Jangan begitu, deh! Sengaja kayaknya itu ponsel dibuat mati. Bosan karena aku ganggu melulu?" panjang lebar mengoceh, Naru justru senyum-senyum menyaksikan sikap posesifnya. "Malah sok manis lagi, aku marah loh ini!"

"Apa sih, Sayang?" alih-alih membalas dengan amarah, Naru menggamit jari-jari Hinata. Dia memandang lekat-lekat paras cantik kekasihnya dan Hinata tak pernah menang untuk tidak luluh saat pesona indah terpancar dari matanya, spontan menarik perhatian. "Tidak ke mana-mana, cuma ke kampus sebentar terus langsung ke sini. Ponselnya memang mati, aku lupa mengecas tadi."

"Serius? Bukan bohong 'kan?" Nata memberi tatapan menuntut, masih tak puas dan belum yakin akan pengakuan kekasihnya. Sementara Naru, bibirnya tetap tersungging seperti awal kehadiran Hinata.

"Iya, cantik." Lengannya mendapat serangan mendadak dari kepalan tinju Hinata, hingga dia terkekeh geli. Tak lama kekasihnya itu naik ke atas motor. Tatkala tangan Hinata tanpa sengaja menyentuh pinggangnya, Naru mengaduh kesakitan.

"Loh, pinggangmu kenapa?" Cepat-cepat Hinata menyingkap jaket denim berikut kaus putih yang dikenakan Naru. "Kok bisa biru-biru begini?" Naru kembali meringis saat Hinata coba memegangnya pelan. "Ya ampun... bengkak lagi. Belum diobati ya?"

"Aku kasih salep. Itu juga mendingan, kemarin lebih membengkak." Naru merapikan bajunya, kemudian bunyi mesin motor berderam halus. Hinata terlihat berhati-hati memeluk pinggangnya. "Pegangan yang kencang."

"Nanti kesakitan lagi. Kok bisa parah lebamnya?" Naru hanya diam, sembari dia mengusap-usap tangan Hinata yang melingkar di pinggangnya.

"Temani aku dulu, ya. Pulangnya agak terlambat." Kesenangan bagi Hinata bilamana dia dapat menghabiskan seharian waktunya bersama Naru. Lantas di belakang, dia bersandar manja pada punggung lelaki itu. Tiada suara, melainkan anggukan berulang dari gelagatnya.



Bersambung...

To be Lovesick ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang