BAB 5

2.6K 261 100
                                    

Selagi menaiki tangga, Naru terus memukul pelan bahunya yang mulai terasa kaku. Sesekali ia tampak menguap karena belum menikmati tidur malamnya dengan baik. Sampai di lantai dua, tiba-tiba Naru menggeram. Pasalnya, sepanjang lantai menuju kamar masih terdampar kotak-kotak, persis seperti kondisi yang terjadi di pagi tadi. Lantas Naru mempercepat langkah, kepalanya menjorok di pintu kamar si tetangga baru. Apa yang disaksikannya membuat Naru menggeleng-gelengkan kepala. Hingga usai dia menarik napas, si pemilik kamar keluar.

"Mau mengintip ya?" tukas gadis itu setelah mengangkat satu kotak berisi buku-buku. Sementara Naru sudah lebih dahulu mengambil langkah mundur.

"Jangan sembarangan kalau bicara! Nanti mulutmu aku lakban sekalian," hardik Naru sambil menunjukkan muka sewot. Berkisar tiga detik kemudian, Naru berjingkrak-jingkrak, memegangi jari-jari kakinya yang baru saja ketiban kotak berisi buku-buku tadi. Gadis itu sengaja menjatuhkan tepat di atas kakinya. "Breng..." Naru menahan umpatan kasar yang hendak keluar dari mulutnya, lalu dia menarik napas panjang. "Gadis barbar!" ia melepas cibiran itu sebelum melangkahi kotak-kotak dan masuk ke kamarnya.

"Rasakan itu! Kau pantas mendapatkannya. Eh, tapi wajahnya tidak asing, kayak pernah kenal. Siapa, ya?" si gadis berambut pirang berpikir, sedang berusaha mengingat sesuatu meski nihil, yang dia cari belum terjawab oleh memorinya. "Mungkin cuma perasaanku saja." berujung dia segera melanjutkan aktivitasnya, merapikan seluruh barang-barang yang luar biasa berantakan. "Pantas dia mengamuk kesetanan. Lorong ini jadi mirip gudang." selagi mengangkat satu-persatu kotak itu, dia meracau seorang diri.

-----

Naru menjatuhkan tubuhnya ke kasur, helaan napas pun terdengar. Pengantar sebelum dia memulai untuk berkhayal di awal tidurnya. Baru saja lembaran kelopak mata akan tertutup, ketukan pintu dari luar membuat dia kembali memaki dalam hati. Bangkit dengan kepala panas seperti mau meledak, rahangngnya mengetat saat dia membuka pintu.

"Mau apa?!" Naru menyapa ketus si gadis tetangga baru. "Kalau tidak ada minggir, kau! Jangan mengganggu tidur siangku!" Gadis itu spontan menahan pintu, ketika Naru hendak menutupnya.

"Anu... aku minta maaf untuk peristiwa tadi. Kakimu tidak apa-apa 'kan?" si tetangga baru mengamati ke bawah, memastikan bahwa kaki Naru memang baik-baik saja, tidak lecet atau memar.

"Basi! Trik lama, enggak usak pura-pura! Apa tujuanmu? " si tetangga sudah salah tingkah di depan. Dia tertawa kikuk seraya menggaruk-garuk tengkuknya karena bingung.

"Soal tadi aku benar-benar minta maaf. Aku pasti tanggung jawab, jika terjadi apa-apa padamu. Masalahnya sekarang kamarku masih gelap. Lampunya belum terpasang, di sini hanya kau yang ku kenal."

Gadis itu sempat celangak-celinguk dan yang dia dapati, semua pintu kamar tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalam. Belum lagi cuma Naru satu-satunya sosok yang sudah berbicara langsung dengannya, meski dalam situasi panas menggerahkan.

"Aku tidak mengenalmu. Cari orang lain!" Naru menutup kencang pintunya tepat di depan wajah si tetangga, sampai-sampai tubuh gadis itu kontan mundur ke belakang. Dia memegangi dadanya, menormalkan denyut jantung yang ikut memburu akibat terkejut.

"Sabar Shion. Kau harus sabar... yang penting lampunya terpasang, setelah itu terserah. Aku juga tidak berpikir untuk bisa berdamai dengan makhluk resek seperti ini," usai meracau dengan mata terpejam, dia mennarik napas perlahan, lalu mengetuk ulang pintu kamar Naru.

"Apa lagi, sih?! Sudah kubilang aku mau tidur. Kenapa tidak paham juga?!" Naru menarik frustrasi rambutnya. Sejujurnya dia benar-benar mengantuk, kantuk yang tidak tertahan hingga kepala pun terasa pening. Namun hampir seharian ini orang-orang selalu berhasil memancing emosi, menguras kandas kesabaran miliknya. Pagi-pagi Hinata, lalu si tetangga baru dan entah siapa lagi selanjutnya.

"Ayolah, kali ini saja. Aku mohon...! Mau ya?!" gadis itu memasang muka memelas sembari menangkup kedua tangannya di hadapan Naru. Berakhir dia menepis rasa kesal, lalu beringsut keluar walau rautnya kentara terpaksa.

-----

Kursi berbahan kayu terletak di tengah-tengah ruangan. Dan Naru tengah bersiap untuk naik, siap memasang lampu di pusat plafon. "Pegang yang kuat! Ini kursinya sudah lapuk." Begitu berada di atas kursi, Naru kembali mengingatkan gadis itu. Dia langsung menahan kepala kursi dengan sekuat tenaganya.

"Aman kok. Jamin enggak bakal jatuh." Naru berdecak saat dia berusaha melepas lampu bekas yang tak lagi bisa dipakai. "Berikan lampunya!" serunya sambil memberikan lampu yang lama.

"Tunggu! Di mana ya, tadi?" Shion berputar-putar mencari di mana letak benda tersebut. "Nah, ketemu! Sebentar, kuambil dulu. Jangan banyak gerak! Nanti benaran jatuh, aku juga yang repot." Dia bergegas mengambil lampu di kotak penyimpanan barang-barang pajangan, untung posisinya di atas sehingga bisa langsung terlihat. "Ini! Hati-hati, ya. Cuma satu-satunya yang kupunya."

"Diam! Biar aku yang bekerja!" gadis itu langsung mencebik, manakala mendengar seruan tersebut. Tak lama berselang, dia melongo ketika tanpa sengaja melihat tato di perut Naru.

"Tatonya asli? Kalau tidak salah, aku punya teman yang ukiran tatonya persis seperti ini." Dalam hati gadis Shion meracau, Satu-satunya anak panti dengan tato unik begini cuma Kak Naruto. Tapi kok beda, ya. Kak Naruto 'kan pendek, tembem, juga putih. Dia...?  Kau itu Kak Naruto bukan?" sampai-sampai dia menggigiti ujung kukunya akibat terserang gugup sekaligus bimbang.

"Jangan sok kenal!" Naru menjawab cuek, tak mengalihkan pandangnya dari plafon. Sementara gadis itu kegirangan saat mendadak dia meyakini dugaannya tidak meleset.

"Jadi benar Kak Naruto 'kan? Dari awal aku sudah tebak, mukamu familiar. Tapi beda banget sama yang dulu, aku sempat ragu tadi." Ketika menyadari Naru tak menanggapi pengakuannya, dengan geram dia menggoyang-goyang kursi kayu itu.

"Eh, awas!" Naru memekik begitu dia hilang keseimbangan, gara-gara kursi lapuk yang terus digoyang Shion. Suara kayu patah terdengar, disusul bunyi debam. Lalu Naru terjatuh ke lantai. Dia mengaduh kesakitan seraya menggosok-gosok pinggangnya yang nyeri. "Sial...!" teriakannya sangat kuat, bahkan Shion tak berani berkata-kata. Diam-diam dia kabur, meninggalkan kamarnya sejenak sampai Naru tenang dan pergi dari sana. "Brengsek!" Naru melempar kasar serpihan kayu ke sekitarnya. Berbagai kata makian pun terungkai dari mulut lelaki itu.



Bersambung...

To be Lovesick ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang