DIGATHA - Bagian 6

96 64 17
                                    

Gaess, kira-kira siapa yang jadi visualisasi ya???

Happy reading ❤


🌊

Agatha memarkirkan sepedanya di garasi. Ia sudah sampai sebelum senja datang. Setelah sebelumnya ia menolak Dion yang ingin mengantarnya pulang. Jika ia menerima permintaan Dion, bagaimana kabar sepeda kesayangannya ini?

Agatha memasuki rumah sembari mengucap salam andalannya, "Gatha pulang!". Namun tak ada respon dari siapapun. Baik itu Jully--adik perempuannya yang baru kelas 3 SD, maupun ibunya. Mungkin Jully sedang bermain dan ibu yang sedang pergi ke warung. Agatha berlalu ke kamar untuk rehat sebentar.

Tiba-tiba kecurigaannya menyeruak kala mendengar seseorang terbatuk. Ia segera melangkah keluar untuk memastikan jika pemikirannya tidaklah benar. Ia mendapati Patrina--ibunya, yang baru keluar dari toilet sembari terbatuk-batuk.

"Ibu nggak apa-apa?"

"Udah pulang kamu, nak?" Celetuk Patrina bukannya menjawab pertanyaan anaknya ini.

"Udah, bu. Ibu habis ngapain? Ibu nggak apa-apa kan?" Tanya Agatha lagi sembari mencium tangan ibundanya.

"Nggak apa-apa, ibu habis buang air tadi."

Agatha hanya merespon dengan ber-oh ria. "Jully dimana, bu?"

"Di rumahnya Siska tuh, kamu jemput ya? sudah sore juga."

"Oke, bu. Tapi Gatha mandi dulu ya?" tawar Agatha nyengir.

"Hmm. Yang wangi ya biar gadis ibu banyak yang suka." Ocehnya berlalu ke dapur.

"ibu mah!" sahutnya kesal.

Agatha pun bertolak ke kamar mandi. Pikirannya mengarah kepada ibunya. Ibu bilang bahwa ia baik-baik saja namun secara kasat mata mengatakan sebaliknya. Wajah Patrina sedikit pucat, kusut, dan untuk apa ia batuk-batuk di kamar mandi? Entahlah, mungkin ibu sedang kelelahan karena pesanan snack begitu banyak dan Agatha tak membantunya seharian.

🌊

Hari-hari Agatha berjalan seperti biasa. Belajar di SMA Pancasila dari pukul 7.20 hingga pukul 14.30, kemudian membantu Patrina membuat sampai mengemas menu catering untuk diantar ke alamat pemesan menggunakan motor. Agatha senang mengantarkan pesanan karena hanya dengan ini, ia bisa mengendarai motor matic ibunya tanpa mendapat omelan. Di tambah lagi sore ini ia harus mengantar pesanan ke alamat yang cukup jauh. Hal ini membuat otak jahilnya muncul, setelah melaksanakan tugas ia bisa berkeliling melewati tempat favoritnya yakni pantai.

Ia menurunkan kecepatan laju motornya untuk menikmati embusan angin dari arah kanan yang menerpa wajahnya. Sudah berapa lama ia tak berkunjung ke tempat ini? Tempat ini menunjukkan sebagian perubahannya. Di sepanjang jalan sudah berdiri beberapa gazebo dan kafe khas pantai, lalu beberapa fasilitas seperti toilet umum, ayunan dan permainan lainnya, serta trekdam kayu kecil yang menghadap ke lautan untuk sekadar bersantai. Lebih menarik, tapi tetap saja yang dulu adalah terbaik.

Agatha pun melajukan motornya lebih cepat sebelum cairan dari matanya berhasil lolos. Mengingat kenangan indah dulu, sekaligus kenangan yang menyakitkan.

Agatha paling suka hari Rabu, sehingga ia cukup senang mengawali hari ini. Ia selalu mengistimewakan hari Rabu. Entah mengapa ia bangun lebih pagi dan langsung menuju dapur untuk membantu pahlawannya, Patrina.

"Eh, Gatha. Masih jam setengah empat ini, lho! Kamu tumben bangun gasik?" Tanya Patrina begitu menyadari kehadiran anak sulungnya ini di dekat lemari es. Agatha tidak menjawab melainkan membuka pintu lemari es dan mengambil sebotol minuman dingin.

DIGATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang