DIGATHA - Bagian 8

86 58 18
                                    

🌊

Di sini,

Fajar tidak mengaburkan cerita lalu. Ia bersanding dengan semilir angin pagi yang hangat berpadu dengan ombak yang berdebur bergerak meraih daratan. Mengajak gadis kita untuk mengingat kembali tentang kisah mereka, kisah sederhana yang tidak biasa.

Gadis kecil kita berlari. Tertawa sebebas-bebasnya, menghindari pria kecil yang terus mengejarnya. Sesekali gadis berkepang dua itu menikmati permen loli berbentuk hati.

"wlee! Gak kena! Gak kena!" ledek gadis itu sembari menoleh ke belakang dan terus berlari. Namun sesaat kemudian gadis itu terjatuh karena tidak hati-hati. Tubuhnya kotor bersentuhan dengan pasir. Begitu pula permen lolinya.

Si bocah laki-laki hanya berdiri menertawakan kesialan sahabatnya.

"Rasain! Hahaha." Gadis itu bangkit dan bersimpuh di atas permukaan pasir, membersihkan pakaiannya sendiri.

Raut muka si gadis kecil kalut menahan tangis. Sesaat kemudian tangisnya pecah. Menangisi kejailan temannya, juga permen loli yang tak bisa dimakan lagi. Sang pria kecil tak tega, juga merasa bersalah. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana bermotif ombak. Ia memandangi permen yang masih terbungkus rapi di tangannya. Ia ingin memakannya nanti, tapi ada yang lebih menginginkan ini.

Si pria kecil turut bersimpuh di hadapan sahabatnya. Tak memedulikan permukaan pantai yang penuh pasir itu.

"ini, buat Atha. Aldi minta maaf, ya?"

Gadis kecil yang disebut Atha, membuka matanya yang masih menyisakan air mata. Sebuah permen loli baru tertampak di depan matanya. Sesekali matanya berkedip takjub, betapa menggiurkannya permen loli itu. Atha menerimanya dan seketika rautnya berubah cerah. Atha memeluk prianya erat. Pria kecil itu terpaku. Beberapa detik kemudian ia tersenyum dan membalas pelukan gadis kecil itu.

"Aldi sayang Atha. Inget Aldi ya, takutnya nanti Atha lupain Aldi." Ucap Aldi hangat.

"Atha gak akan lupain Aldi. Aldi kan pahlawannya Atha!"

Dan dititik itu, segalanya berbeda.

🌊

Untuk kesekian kalinya Dion mengatur gaya rambutnya dengan sisir. Entah harus bagaimana lagi agar dirasa pas dengan ekspetasinya. Ujung-ujung sama saja dengan gaya rambutnya yang seperti biasa, tidak ada gaya.

Dion keluar setelah siap dan pamit kepada orangtuanya. Didapatinya Revan yang gabut di teras rumah menunggunya. Begitu menyadari kehadiran Dion, Revan terheran tiba-tiba.

"apaan dah?"

Revan menatap Dion dari atas sampai bawah. "edan po? Lo mau prom night atau mau nongkrong si??" sewotnya. Membuat Dion membandingkan penampilannya dengan Revan.

Dion mendesah jengah. Ia memang tidak mengerti fashion. "bodoamat, dah. kuy cabut!"

"kagak bisa! Buruan masuk, gue bantuin ganti bajunya." Cegat Revan mendorong Dion untuk masuk rumah.

"Bantuin ganti baju??!" sela Dion ambigu.

"M-maksudnya, gue bantuin lo cari baju ganti. Gak usah sok bego,"

"Hehe."

Revan memakan waktu 10 menit untuk meluluhkan Dion agar mau memakai setelan formal.

"emang harus banget pake ginian? Kayak mau kondangan aja." protes Dion memandang setelan pakaian formal di tangannya.

"harus dong. Lo gak denger apa kata Ditto kemaren? Cowok pake kemeja, dasi, jas, sama harus ganteng kayak gue." Balasnya sembari menyisir rambutnya dengan jari-jari penuh percaya diri.

DIGATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang