Eleven (Syfa)

1K 41 0
                                        

Raja Ampat. Saya bangun lebih pagi, disisi ranjang, Mas Ian masih terlelap sembari bertelungkup. Selepas shalat subuh dan tadarrus, kami melanjutkan tidur. Ini hari terakhir kami, besok pagi-pagi buta kami akan langsung menuju bandara untuk bertolak ke Makassar sebelum kembali ke Jakarta.

Di Makassar kami tidak akan lama. Hanya untuk menengok persiapan pembukaan cabang baru usaha property Mas Ian. Kata Mas Ian, masih banyak tanggung jawab yang menantinya di Jakarta. Soal cabang di Makassar, biarlah Mas Ian amanahkan pada rekan-rekan bisnisnya yang Mas Ian percayai.

Saya menyingkap sedikit tirai jendela tanpa menggesernya. Membuka pintu yang menghubungkan kamar resort dengan teras secara perlahan, semoga tidur Mas Ian tidak terganggu.

Di gasebbo, saya duduk menatap hamparan laut biru yang bergradasi diterpa semburat cahaya matahari yang masih malu-malu menampakkan dirinya pada penduduk Bumi Papua. Allahu Akbar! Betapa indah semua yang Allah azza wa jalla ciptakan sungguh tak ada tandingannya.

Dalam kesendirian, saya termenung. Bayangan beberapa bulan silam kembali memenuhi fikiran. Teringat kembali saat air mata mengisi keseharian ku setelah Kak Alka memutuskan hubungan kami yang telah terjalin selama tiga tahun. Saat itu, dunia seolah runtuh. Kak Alka memutuskan tanpa alasan yang jelas. Sampai detik ini, saya masih menerka-nerka. Hal apa yang membuat hatinya tiba-tiba berpaling disaat dialah satu-satunya yang saya yakini untuk menghabiskan waktu tua berdua?

Ah.... Desahan kasar keluar begitu saja.

"Bagaimana kabarnya Kak Alka?"

Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul. Jujur saja, masih ada rindu yang tersisa untuk Kak Alka. Begitu juga dengan harap. Saya paham Kak Alka begitu kejam. Tapi, waktu tidak akan bisa berbohong. Kak Alka pernah mengisi setiap detik semesta ku. Saya belajar banyak darinya. Tanpa Kak Alka, saya hanyalah gadis pemalu yang tak pandai bergaul.

Lalu, terbersit kenangan saat Mas Ian tiba-tiba datang menemui Ibu. Saat Ibu berkata ada seorang lelaki yang ingin mengkhitbah ku disaat saya dilanda keputusasaan perihal asmara dan pekerjaan.

Pernikahan kami yang terbilang tiba-tiba, hidup serba bekecukupan bahkan berlebih. Semua seperti mimpi. Jujur saja, saya hanya takut jikalau saja semua ini hanya sebuah bunga tidur.

Kebersamaan kami selama di Raja Ampat ini, saat Mas Ian mencurahkan semua waktu, perhatian dan dekapan sayangnya, bohong jika tak ada debar-debar yang hadir. Hanya saja, semua ini seolah tak nyata. Ada ketakutan yang melanda, saya hanya tak ingin larut jika pada akhirnya saya harus menyadari bahwa saya hanyalah Cinderella yang sedang bermimpi indah.

Hari semakin terang, sudah cukup lama saya duduk di gasebbo. Bahkan tanpa sadar menitikan air mata. Saya kembali masuk, Mas Ian masih terlelap. Wajah putihnya semakin tampan, kulitnya seakan menyatu dengan warna seprai yang membungkus guling yang sedang dipeluknya erat.

Sebelum Mas Ian bangun, saya bergegas membersihkan diri lalu berpakain. Setelahnya barulah membuatkan secangkir kopi untuk Mas Ian.

Selama menjadi istrinya, saya menjadi tahu bahwa Mas Ian harus memulai pagi dengan secangkir kopi. Biasanya, Mas Ian akan meminumnya setelah berolahraga dua puluh menit di halaman belakang rumah sembari membaca koran.

"Kenapa tidak bangunkan saya?" Sebentar Mas Ian menguap lalu mengucek mata kanannya. Mas Ian bangun setelah matahari bersinar terang. Saya hanya menghentakkan bahu setelah menyimpan cangkir kopi Mas Ian di atas meja.

"Emmm... Aromanya enak" Saya terkaget ketika Mas Ian melingkarkan kedua tangannya di perut saya secara tiba-tiba. "Saya lapar," Ucapnya lagi. Posisi kami membuat debaran jantung saya memacu dua kali lebih cepat. Ada apa ini? Posisi kami sangat canggung dan aneh tapi mengapa terasa nyaman?

"Mandi dulu Mas"

"Kamu sudah mandi?"

Aku mengangguk.

"Okay. Saya mandi dulu lalu kita sarapan"

Matahari bersinar cerah. Sarapa di jam sepuluh pagi dengan pemandangan hamparan laut biru Raja Ampat yang mempesona. Ini hari terakhir kami, seolah mimpi yang nyadi nyata bahkan belum pernah sekalipun terlintas dibenak. Raja Ampat akan menyimpan banyak kisah dan kenangan tentang aku dan Mas Ian. Walau saat ini kehadiran Mas Ian masih seperti mimpi, namun segala hal di tempat indah ini akan selalu saya syukuri.

"Syfa.....!" Mas Ian memanggil ku. "Kita ke sana." Katanya sedikit berteriak karena jarak kami yang agak jauh setelah sarapan tadi aku memilih duduk dipinggir gasebo dengan kaki yang melayang diperkukaan laut biru.

Saya menghampiri Mas Ian. Kami berjalan-jalan sambil bergandengan. Melewati banyak toko-toko souvernir yang berjejer.

"Ada tempat yang ingin kamu kunjungi sebelum pulang?"

"Boleh Syfa ke pasar tradisional Mas?"

"Pasar tradisional?" Dahi Mas Ian berkerut tapi setelahnya kami di antar oleh Mas Adnan ke sebuah pasar tradisional, kata Mas Adnan namanya pasar Waisai.

Pasar cukup ramai. Ada banyak sekali manusia-manusia yang sedang melakukan transaksi jual beli. Mas Ian masih disisi ku, masih setia menggenggam tangan ku. Mungkin, ini pertama kalinya bagi Mas Ian datang ke tempat seperti ini.

"Dulu, saat masih kecil Syfa selalu menemani Ibu jualan. Pasar tradisional jadi tempat ibu mencari nafkah karna penghasilan Bapak yang hanya guru SD tidak bisa mencukupi kebutuhan kami. Di pasar tempat Ibu jualan, Syfa punya banyak kenangan dengan almarhum Bapak, Mas." Entah kenapa saya sangat ingin membagi kenangan yang tidak banyak saya ceritakan pada orang-orang ke Mas Ian.

"Walau hanya seorang pedagang, tapi Ibu perempuan yang cerdas. Saat masih sekolah dulu, ibu selalu jadi Bintang kelas kata Bapak. Sayang, nasib Ibu tidak seberuntung teman-temannya. Ibu juga sangat pandai menjahit, sesekali Ibu mengambil orderan jahitan dari tetangga, uangnya akan ibu pakai untuk membelikan Syfa baju baru. Sepeninggal Bapak, satu-satunya yang Syfa punya hanya Ibu. Mas..." Saya menatap Mas Ian lekat, ditengah keramaian pasar kami saling menatap.

"Entah kenapa Syfa ingin menunjukkan pada Mas bagaimana kisah hidup Syfa sebelum bertemu Mas. Dulu, Syfa hanya punya Ibu tapi sekarang Syfa juga punya Mas. Kehadiran Mas yang tiba-tiba, jujur saja membuat Syfa ragu. Syfa fikir Mas Ian hanya mimpi atau kalau pun nyata, akan seperti drama televisi yang akan menguras banyak air mata Syfa. Tapi, sampai detik ini Mas tetap menggenggam tangan Syfa lembut. Syfa ingin Mas mengerti masa lalu Syfa karena bersama Mas seperti kisah Cinderella"

Mas Ian menarik ku dalam dekapannya. Kami seolah tidak tahu tempat. Mata orang-orang memandangi kami, bahkan beberapa mengehentikan langkahnya dengan sorot keanehan menyaksikan adegan film tanpa kamera di tengah lalu lalang penghuni pasar konvensional Waisai, Raja Ampat.

"Saya akan mencintai kamu dengan semua masa lalu kamu Syfa, sebab kamu adalah pilihan yang saya perjuangkan. Terima kasih sudah berbagi pada saya." Mas Ian mengecup kening saya penuh cinta. Kami segera mengakhiri adegan romantisme setelah sadar semakin banyak mata yang memandang kami heran bahkan beberapa ikut tersenyum juga tersipu. Dan ternyata, Mas Adnan menyaksikan semuanya sedari tadi, pipi saya semakin merona karena malu.

Kami kembali ke hotel setelah menjajal kuliner pasar khas Raja Ampat. Malam nanti, saya dan Mas Ian akan bertolak ke Makassar.

"Terima kasih Adnan untuk bantuannya selama kami di sini. Maaf, jadi merepotkan"

"Sama-sama Tuan. Semoga perjalannya ke Makassar selamat"

Selepas pamit saya dan Mas Ian buru-buru menuju tempat keberangkatan. Masa liburan kami telah usai di Raja Ampat, tempat dimana saya belajar membuka hati walau hanya sedikit untuk seseorang yang tiada henti menggenggam jemari saya. Mas Ian oragnya.

Saya duduk di dekat jendela, menatap keluar dan menyaksikan hamparan arsy Allah dimalam hari yang begitu indah seolah sedang mengajak saya bercerita tentang bagaimana keagungan Rabb semesta alam yang telah menciptakan semesta dengan segala keindahannya termasuk keindahan wajah teduh seseorang yang tengah terlelap di sampaing kanan saya.

Mas Ian, adalah hadiah. Selepas badai yang menerjang, Mas Ian adalah tujuan. Rumah yang sebelumnya telah porak poranda dan Mas Ian menawarkan hunian. Terasa asing, tapi ada kehangatan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Hati ini memang belum sepenuhnya milik Mas Ian. Bayang masa lalu masih menempati sebagian besar ruang tapi, Mas Ian perlahan memiliki segala sudut dengan lembut dan hangat cintanya.

Musahabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang