Six (Syifa)

1.1K 57 1
                                    

"Aku ingin menggelar sajadah bersama mu, bersujud diatas lantai yang sama. Terjaga saat langit masih gelap. Bercinta dengan-Nya saat jarum jam berdetak nyaring" Mimpi sederhana yang menjadi nyata
.
.
.

Hari-hari setelah pernikahan memang bagai sebuah candaan untuk saya. Jika boleh jujur tentu pernikahan ini jauh berbeda dari mimpi-mimpi yang dahulu saya bangun. Tentu, mimpi itu saya racik bersama kak Alka.

Ada perasaan sedih setiap kali mengingat kak Alka. Kebersamaan yang terajut dintara kami dahulu bukan waktu yang singkat. Melupakan bukan hal mudah, dan terkadang hal yang tersulit dalam melupakan bukan dengan siapa kenangan itu tercipta tapi sisa-sisa kenangan uang melekat jelas diingatan.

Lalu... 'Bagaimana kabarnya kak Alka disana?' terkadang masih ada rindu yang menelisik dihati. Saya sadar ini salah, setelah menjadi seorang istri tidak sepantasnya masih  menyimpan rindu untuk laki-laki lain. Namun apadaya hati ini amatlah lemah. Melupakan bukan perkara mudah. Layaknya mencintai. Hati ini pernah patah sekali. Saya hanya takut kembali kecewa ketika kembali melabukan hati padanya walau sudah seharusnya cinta seorang istri hanya untuk suaminya.

Sesekali saya merasa bersalah pada kak Alka seolah saya sudah menghianatinya padahal dirinyalah yang memutuskan status kekasih diantara kami. Harusnya saya membenci kak Alka, harusnya saya marah, tapi entah kenapa hati ini masih untuknya. Rindu masih pada kak Alka saya tujukan. Walau saya tidak tahu bagaimana kabarnya kini. Adakah yang telah menggantikan posisi saya dihatinya? Atau kini kak Alka juga telah meminang seorang gadis untuk menjadi kekasih halalnya?

Disaat yang sama sayapun merasa bersalah pada Mas Ian. Laki-laki yang tanpa terduga datang menjemput saya dengan cara yang halal. Kehidupan saya dan Ibu berubah jauh setelah pernikahan ini. Saya tidak perlu lagi berkeliling mencari pekerjaan kesana kemari. Segala keperluan sudah Mas Ian siapkan. Begitu pula dengan ibu, Mas ian berjanji setiap bulan akan mengirimkan bahan dapur yang tidak sedikit juga memberi Ibu uang yang cukup. Jumlah uang yang tidak pernah bisa saya beri untuk Ibu. Mas Ian juga meminta ibu untuk berhenti menjahit semenjak kami menikah yang dituruti oleh ibu. Kata ibu, mas Ian ingin ibu menikmati masa tuanya tanpa letih bekerja karena sekarang ibu memiliki mas Ian yang juga menjadi anaknya. Tapi ibu memilih tetap membuat kue untuk buka puasa di masjid dekat rumah setiap hari senin dan kamis. Kata ibu agar ibu tetap sehat karena sendinya bekerja.

Entah harus berterimakasih atau curiga. Kehadiran Mas Ian serti mimpi yang tidak nyata. Ya Rabb... Bantu hamba untuk menguatkan hati , menetapkan pilihan, jangan biarkan hamba terombang ambing dalam kebingungan yang berujung murka Mu. Maafkan hamba yang masih belum menjadi istri sepenuhnya. Jika Mas Ian adalah takdir hamba, tolong ajari hamba mencintainya namun jika pernikahan ini keliru, bantu hamba untuk keluar dari terombang-ambing dalam lautan lepas.....

"Jadi, bulan madu kita kemana?"

Sekali lagi ucapan Mas Ian menari-nari dikepalaku tanpa mau berhenti. Hatiku terus saja berdetak tiap kali mengingatnya. Seorang istri yang diajak berbulan madu oleh suaminya sudah pasti sangat bahagia tapi berbeda dengan saya. Ada banyak ketakutan yang menyelimuti. Saya masih tidak siap untuk segala kemungkinan. Maksud saya.... Bulan madu.... Suami istri...

Aarggghhhh

Ingin rasanya saya berteriak kencang. Tapi tidak mungkin. Jika itu terjadi sudah pasti membuat seisi rumah kaget. Saya tidak ingin membuat mbok Dewi yang sudah saya anggap seperti ibu sendiri khawatir. Juga takut pada Mas Ian.

Siang tadi saya banyak berbincang dengan mbok Dewi saat Mas Ian sibuk diruang kerjanya, tadi juga seorang temannya datang dari Makassar. Kata mbok Dewi yang datang teman baik Mas Ian, partnert bisnis Mas Ian juga. Galeri cabang di Makassar menggunakan uang mereka berdua yang artinya mas Ian dan mas Yanto memiliki saham yang sama.

Langit diluar masih sangat gelap, saya melirik jam weker dinakkas. Masih pukul dua dini hari dan mata ini telah terjaga. Rasa kantuk entah hilang kemana. Saya pandangi wajah yang terlelap disamping. Tangan kanannya masih menghenggam hangat jemari ini. Bahkan saat tertidur dirinya masih bisa membuat hati ini betanya-tanya. Wajahnya begitu tenang, terlelap begitu damai. Wajahnya berseri walau dalam gelap, mungkin inilah efek air wudhu yang tidak pernah ia tinggalkan.

Sesungguhnya saya sangat ingin mengambil air wudhu dan mengadu pada Ilahi tentang hati yang masih saja gusar. Tapi... Jika tangan ini saya tarik takut akan membutnya terbangun. Saya bingung harus bagaimana. Saat masih menatapnya, tiba-tiba...

"Kamu sudah bangun? Sudah dari tadi?"

Mata itu menatap saya. Mengucek-ngucek bola matanya yang mungkin masih mengantuk bergantian.

"Ayo"

Mas Ian menarik saya. Saya bingung tidak mengerti. Dia sungguh sangat senang menarik tangan orang sembarangan!

"Kamu wudhu duluan"

Setelah wudhu saya memandangnya kaku yang juga sedang nengambil air wudhu tidak mengerti arah fikirannya.

Mas Ian menggelar dua sajadah, memakai sarung, kemeja putih, dan kopiah hitam dikepaalanya lalu membantu saya memasang mukenah padahal saya bisa melakukannya sendiri.

Kami shalat sunnah dua raka'at. Shalat malam yang sangat damai, membuat hati ini bergetar.

"Ya Rabb... Tuhan yang Maha Agung
Tuhan Pemilik alam semesta
Sang pemilik cinta yang haqiqi
Pada Mu kami menghadap,
Sebagai bukti bakti pada Mu, satu-satunya Tuhan yang patut disembah.
Sebagai bukti terimakasih yang tiada terkira, telah menyatukan kami dalam ikatan suci atas nama Mu
Ya Allah.. Tuhan segala makhluk
Berkahi rumah tangga kami
Tautkan hati kami beribadah semata-mata karena Mu.
Anugerahilah kepada kami keturunan yang menyejukkan hati, yang kelak menjadi syafaat bagi kami.
Rabbanaa taqabbal minnaa innaka anta samii'ul 'aliim, wa tub'alainaa innaka antat ta wwa abur rahiim..."

Hati saya berdesir mendengar doa yang Mas Ian panjatkan. Seolah menohok sangat dalam. Mas Ian berbalik kearah, menatap wajah saya penuh arti. Dikecupnya ubun-ubun ini. Lama.

"Terimasih sudah mengabulkan satu lagi mimpi dalan hidup ku. Menggelar sajadah, menjadi makmun dalam shalat ku, menunaikan shalat malam bersama ku, mengaaniinkan doa ku. Aku berharap bisa melakukannya setiap malam hingga malam terakhir ku bersama mu"

Hati mana yang tidak berdesir hebat. Air mata saya luluh tidak tertahankan.

Jemariku digenggamnya erat. Lantunan ayat-ayat cinta Allah ia lantunkan merdu. Ada kedamaian yang merasuk jiwa. Saya berbaring disampingya memejamkan mata mendengarkan indahnya bacaan qur'an Mas Ian. Mas Ian meminta saya berbaring disampinya menemaninya melanjutkan tadarrus diatas tempat tidur. Mas Ian mempersilahkan saya tidur jika masih mengantuk, Mas Ian berjanji akan membangunkan untuk shalat subuh nanti.

Ditemani lantunan ayat-ayat suci al-qur'an yang dilafazkan nyaring dan indah saya terlelap dengan perasaan bahagia namun jauh didalam lubuk hati ada perasaan takut yang tidak bisa bersembunyi.

🍂🍂🍂

Musahabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang