Dalam hidup, akan selalu ada skenario Tuhan yang tidak mampu ditebak. Bahkan, saat terjadipun otak masih sulit memahaminya. Layaknya saya yang dipertemukan dengan mas Ian yang kini dipersatukan.
Seperti sebuah mimpi yang terjadi didunia nyata, ingin memercayai sekaligus ingin mengingkari. Bagai sebuah cerita dongeng yang difilmkan dalam kisah nyata, terlihat jelas namun terasa asing.
Dalam islam, seorang wanita yang telah menikah adalah milik suaminya. Begitulah adanya, begitulah seharusnya saya. Namun semua masih tidak terlihat nyata. Selepas tragedi cinta yang menyapa, hati begitu sulit menerima. Ibarat sebuah luka yang masih menyisahkan bekas, Tuhan mempertemukan saya dengan penawar rasa sakitnya. Tapi luka tetaplah luka, akan selalu menyisahkan bekas. Bahkan, disaat bekasnya telah lenyap, kenangan tentang rasa sakitnya masih jelas terasa. Takut. Sungguh takut. Saya takut terluka kembali setelah percaya.
🍂🍂🍂
Subuh ini saya kembali terbangun ditempat asing. Sebuah tempat yang sedang saya coba mengajaknya berkenalan. Sebuah tempat yang tidak pernah saya singgahi sebelumnya. Dan sekali lagi, bukan suara ibu yang membangunkan saya. Tapi suara yang sama yang membangunkan saya kemarin dikamar hotel. Suara yang wajah pemiliknya sukses mengangetkan dan mengundang kesadaran saya bahwa tubuh ini bukan lagi milik saya sepenuhnya. Tapi, juga milik sesosok orang asing yang menyandang gelar suami saya.
Selepas shalat subuh, dengan rasa kantuk yang tersisa saya menyegarkan diri dengan mandi air hangat. Selama berendam, kegiatan yang sebelumnya tidak pernah bisa saya lakukan, saya mencoba mengajak hati dan otak berdiskusi. Membuat keduanya satu suara dan berjalan dijalur yang sama.
Pernikahan yang baru berumur dua hari ini memang terasa asing. Apa jadinya jika ceritanya berbeda. Jika saat ini kak Alka lah yang menjadi suami saya, apakah akan tetap seperti ini jadinya? Apa akan tetap terasa canggung, atau malah sebaliknya. Setiap detiknya dipenuhi cinta.
Tapi kenyataan tetaplah kenyataan. Nyatanya kak Alka memilih undur diri dari kisah kami yang telah terajut selama tiga tahun lamanya.
Selepas mandi dan berpakaian, saya duduk didepan meja rias memandangi wajah diri sendiri. Menatapnya lama. Benar. Memang benar, bayangan di pantulan dicermin itu adalah saya. Kenyataan tidak pernah berbohong. Sepahit apapun rasanya, kenyataan akan tetap berucap.
Saya memandangi kamar persegi empat yang didesain klasik dengan warna navy dan hitam mendominasi sudut demi sudut. Sebuah kamar yang jelas menampakkan bahwa pemiliknya seorang lelaki. Namun, ada yang aneh. Dikamar ini tidak hanya berisi benda-benda pribadi seorang pria tapi juga benda-benda pribadi wanita yang tidak lain adalah aku.
Asing.
Inikah yang dinamakan menikah?
Dalam sunyi sendirian saya terus berpikir. Berjuta pertanyaan memenuhi otak ini.
Saya berjalan keluar kamar setelah sebelumnya merias wajah tipis.
Mendapati mbok Dewi tengah sibuk di dapur. Mbok Dewi adalah asisten rumah tangga tetap satu-satunya dirumah besar ini. Dari cerita mbok Dewi, semua urusan rumah mbok Dewi yang mengurus, mas Ian hanya terima beres. Sempat saya bertanya pada mbok Dewi, mengapa dirumah yang begitu luas ini hanya mbok Dewi seorang yang mengurusnya? Sedang umur mbok Dewi tidak muda lagi. Tapi jawabnya,
"Den Ian tidak pernah bisa percaya dengan orang baru non. Setiap minggu den Ian menyewa jasa bersih-bersih rumah, makanya rumah ini tetap bersih setiap saat. Tapi itu juga kalau saya ada di rumah non. Kalau kebetulan saya sedang pulang kampung, mas Ian tidak akan menyewa jasa bersih-bersih. Pokoknya harus ada saya"
Tidak pernah bisa percaya dengan orang baru? Lalu mengapa dengan mudahnya menikahi saya yang baru dikenalnya selama tiga bulan?
"Masak apa Mbo?"
"Eh, non. Pagi-pagi udah seger. Buat sarapan ini non"
"Saya bantu ya Mbo"
"Tapi non sudah cantik. Nanti kotor"
"Tidak apa-apa Mbo"
Baru saja saya bersiap mengambil pisau untuk membantu Mbok Dewi tapi sebuah suara menyapa.
"Assamualaikun"
"Wa'alaikumussalam..."
Balas ku dan mbok Dewi bersamaan.
Dia, Mas Ian. Berdiri tujuh meter dari kami dengan pakaian olahraganya. Tubuhnya dipenuhi keringat. Tampan.
Dengan senyum manisnya Mas Ian berjalan kearah kami, saya tepatnya. Semakin dekat, dekat, dan berhenti tepat dihadapan saya.
Ia menyodorkan tangan kanannya. Saya tatap tangan itu penuh keheranan tidak mengerti. Tanpa aba-aba Mas Ian mengambil tangan ini untuk dijabatnya dan ia gerakkan menuju dahi saya menempelkan punggung tangannya.
Detik selanjutnya saya merasakan bibir Mas Ian menempel tepat diubun-ubun. Saya mematung. Tidak mengerti hal apa yang tengah terjadi. Ada debaran yang sulit diartikan, inikah cinta? Tapi, hati ini masih dimiliki sosok lain.
"Saya mandi dulu. Setelah itu kita sarapan sama-sama"
Dia berlalu. Punggungnya menghilang dan saya masih mematung mencerna adengan yang disaksikan Mbok Dewi sebagai saksinya.
"Wortelnya tidak dipotong non?"
Suara mbok Dewi menyadarkan. Senyumnya yang merekah hampir seperti tawa meledek tak urung membuat kedua pipi ini bersemu merah. Aku kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda dengan diam.
Aku duduk bersama mas Ian dimeja makan berhadapan. Hanya kami berdua. Mbok Dewi sedang ada tugas penting katanya entah apa. Mungkin hanya sebuah alasan agar aku dan Mas Ian bisa makan hanya berdua saja.
"Sayang, bulan madu kamu mau kita kemana?"
Aku seketika tersedak mendengar pertanyaan Mas Ian. Bulan madu? Kami?
"Minum dulu"
Seketika aku segera meneguk air digelas yang diberi Mas Ian. Entah kapan Mas Ian berpindah kesamping ku.
"Bu...bulan madu?"
"Iya. Kamu tidak mau kita pergi bulan madu? Saya sudah ambil cuti di kantor"
Sebagai pengusaha sukses yang namanya cukup terkenal ditanah air, mengambil cuti dari kehidupan bisnis tentu bukan hal yang mudah sebab dari cerita mbok Dewi Mas Ian super sibuk. Terlalu fokus dalam bekerja.
Tapi... Bulan madu? Bahkan tidak pernah terfikir sedikit pun dibenak ini.
"Ada tempat yang mau kamu kunjungi? Kota? Atau negara?"
Aku kembali tersedak. Air minum yang baru saja ku teguk keluar melalui hidung karena mendengarkan kalimat Mas Ian. Negara? Masyaa Allah... Entah harus bersyukur atau menolak.
"Pelan-pelan minumnya"
Gerutunya.
Mas Ian mengambil gelas yang sedari tadi ku genggam, menyimpannya diatas meja dan melap sisa-sia air yang tersisa dibibir saya dengan telaten.
Lalu menatap saya intens.
"Jadi, kita kemana?"
Aku balik menatapnya tidak percaya.
"Syfa, kita butuh waktu untuk berdua. Kita perlu berkenalan lebih jauh untuk saling memahami. Saya mau kita pacaran dulu sebelun siap memiliki keturunan"
Takdir sungguh sedang membercandai ku!
![](https://img.wattpad.com/cover/129844745-288-k687273.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Musahabah Cinta
ChickLitPernah merasakan sakitnya patah hati? Seakan segalanya telah hancur? Tidak percaya lagi pada cinta? Itu yang saya rasakan saat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Tuhan menyadarkan saya. Ternyata memang benar sebuah ungkapan "Sekuat apapun kamu m...