Ten (Ian)

832 36 2
                                    

"Bagaimana pernikahan mu?"

Aku meneguk kopi ku sebelum menjawab pertanyaan kawan lama ku. Fikri. Dulu, kami menempuh pendidikan bersama semasa S1. Sama-sama menjadi anak rantau, hidup sederhana di kota orang.

Dua tahun lalu rumah tangga Fikri harus kandas karena sebuah fitnah keji dari seseorang yang kami sebut kawan nyatanya adalah lawan. Aku selalu mendoakan, semoga kawan ku ini lekas menikah kembali setelah berpisah dari mantan istri bulenya yang bermata biru bak batu safir itu. Tak ada kabar perihal mantan istrinya, aku pun tak ingin menanyakan. Takut membuka luka lama.

Kami sepakat bertemu setelah tak sengaja saling membalas komentar di postingan Facebook, ternyata Fikri juga sedang berada di Raja Ampat memenuhi undangan client galerinya yang terkenal itu.

"Baik"

Fikri menepuk bahu ku "Ada apa kawan?" Seolah menangkap sorot lain dari nada suara ku.

"Aku rasa Syfa belum bisa menerima ku"

"Hati wanita memang sulit ditebak, kita sebagai laki-laki hanya bisa menerka-nerka. Tapi, ingatlah pada janji Allah, Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Jangan putus semangat, hati wanita terlalu lembut untuk menyerah mendapatkannya ditengah jalan. Apalagi, kalau sudah memiliki raganya"

Aku terdiam. Kalimat Fikri seolah menampar ku. Mengapa aku masih ragu pada janji Allah? Padahal, Allah telah mengabulkan doa ku. Menjadikan Syfa istri ku. Kini, bagian ku. Aku yang akan merebut hatinya untuk yakin bahwa tak ada cinta selain cinta untuknya dari ku.

"Kau ini, selalu pandai perihal wanita. Tidak heran kalau kamu selalu dikejar-kejar banyak wanita"

"Bagaimana bisa aku disebut pandai? Buktinya, hanya karena ego ku, rumah tangga ku harus hancur saat itu"

Aku mengangguk. Takdir memag terlalu sulit untuk ditebak.

"Bagaimana kabar Mey, Fik"

"Baik. Alhamdulillah. Main-mainlah ke Bandung, kawan-kawan pasti senang"

"Insyaa Allah, akan aku ajak Syfa sekalian nantinya. Dia harus berkenalan dengan kalian, kawan-kawan yang menemani ku hidup susah semasa muda dulu. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Mey?"

"Bagaimana apanya?"

Fikri menatap ku jenaka.

"Jangan terlalu lama memilih, dosen secantik dan sepintar Mey, apa lagi yang kurang? Solehah pula"

"Entahlah Yan, Mey itu sempurna. Cantik, anggun, memesona, pintar, sholehah, tapi sayang, bayang masa lalu belum mampu benar-benar hilang"

Sekali lagi aku terdiam. Semalam, aku tidak sengaja mendapati Syfa men-stalking akun media sosial seorang pria yang akhirnya aku tahu bernama Alka. Dari komentar-komentar lama, aku jadi tahu bahwa Syfa pernah memiliki hubungan spesial dengan pemuda itu. Apa laki-laki itu yang menjadi alasan sampai detik ini hati Syfa masih tertutup rapat?

"Apa yang anda lamunkan Tuan Ryan?"

"Ah tidak, tidak. Maaf. Aku hanya kefikiran Syfa"

"Aduhay, sungguh nikmat asmara pengantin baru. Aku jadi tidak enak hati meminjam mu lama-lama"

"Sudah, jangan menggoda ku terus. Cepatlah menikah. Pilih saja salah satu diantara ketiga wanita yang mengejar-ngejar mu. Sebelum semuanya disambat orang. Ha ha ha"

"Doakan saja, saat aku menikah nanti kau harus datang ya. Amplop mu harus yang paling tebal, secara pengusaha sukses seperti mu harus rajin-rajin sedekah. Ha ha ha"

"Bisa saja seniman kaligrafi satu ini. Yang wajahnya sudah menyamai artis-artis ibu kota di televisi nasional"

Sehabis shalat azhar berjamaah, kami berpisah. Fikri langsung menuju bandara, sedang aku kembali ke resort untuk bertemu Syfa yang sudah ku tinggalkan setengah hari. Rindu juga rasanya. Apa begini ya nikmatnya penganti baru? He he he.

"Assalamu'alaikum" Aku membuka pintu teras belakang kamar kami yang langsung menghamparkan persona laut biru milik-Nya.

Syfa menoleh "Wa'alaikumussalam" Aku berjalan mendekatinya.

"Sedang apa?" Tanya ku selepas Syfa mencium punggung tangan ku. Ku tatap lekat-lekat wajahnya. Ahh.. Allah, betapa indahnya Engkau menciptakan Bidadari ku ini.

"Tidak ada Mas. Hanya..."

"Hanya apa?" Wajahnya bersemu merah. Mungkin malu karena ku tatap seintens ini.

"Hanya memandangi laut biru" Jawabnya, seraya berpaling.

"Cantiknya" Aku ikut memandang kedepan. Syfa tertunduk malu.

"Lautnya" Sambung ku.

"Awww.... Sakit Syfa, dosa loh cumit suami sendiri"

Syifa tak menggubris ku. Baru kali ini aku melihatnya merajuk. Sungguh manis sekali wajahnya yang cemburut kezal. Allah, aku benar-benar sudah mabuk oleh cinta halal yang Engkau titipkan.

"Maaf ya, Mas tinggalnya lama"

"Teman Maa sudah pulang?"

"Sudah" Syfa hanya mengangguk.

"Tadi langsung ke Bandara, langsung pulang ke Bandung" Sekali lagi Syfa mengangguk.

"Sebabis dari sini, nanti kita mampir dulu ya di Makassar, Mas ingin menegok cabang disana, pembukaannya sebentar lagi. Sekalian silaturahmi dan memperkenalkan kamu"

Lagi-lagi Syfa mengangguk. Tapi kali ini ditambah sebuah senyum tipis yang indah.

Pemandangan menuju senja begitu indah. Senja terindah yang pernah ku tatap walau gugusan jingga yang terbentang itu tak pernah tak indah. Hanya saja, kali ini berkali-kali jauh lebih indah. Sebab ada Syfa disamping ku. Tubuh kami semakin mengikis jarak, menikmati jingga yang mengambang sebagai ayat-ayat kauniyah milik-Nya dalam diam.

Maha Besar Allah yang telah menciptakan gradasi keemasan diwaktu peralihan cahaya. Apa yang kami tatap saat ini seakan bercerita tentang bagaimana keagungan Rabb alam semesta dengan segala cinta yang Dia tebar di muka bumi.

"Sudah hampir maghrib, ayo siap-siap shalat" Aku berdiri lebih dulu. Mengulurkan tangan ku yang disambut Syfa. Tangan mungilnya ku genggam meningbalkan pesona yang teramat indah. Pintu ia tutup tapat, tirai jendela ditariknya. Meninggalkan cahaya senja yang sebentar lagi berlalu.

Takbir aku kumandangkan, Syfa mengikut di shaf belakang. Kami merangakai pertemuan dengan Sang Khaliq di waktu maghrib. Rabb yang telah menitipkan cinta, Rabb yang mempertemukan, Rabb yang menyatukan rinduku untuk bersandar di dermaga terakhir.

"Assalamu'alaikum warahmatullah... Assalamu'alaikum warahmatullah..."

Selepas dzikir dan memanjatkan doa, aku berbalik menghadap satu-satunya ma'mum ku. Ku julirkan tangan ku untuk di ciumnya lalu ku kecup keningnya lama. Sembari bertasbih pada-Nya atas nikmat rumah tangga yang dirindu setiap insan yang sendiri.

Allah, terima kasih.

Musahabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang