Hai... Hai.. Terimakasih sekali lagi yang sudah membaca ceritaku hingga tahap ini.
Semoga terhibur dan suka. Jangan lupa follow ya.
Selamat membaca ^_^
.
.
.***
Rania membuka pintu rumah dengan lunglai. Masuk dengan semangat yang nyaris hilang. Tak seperti diawal dia berangkat tadi yang semangatnya full hanya dengan mengingat akan bertemu dengan Satria. Tapi langsung berkurang kadarnya jika teringat lagi bakal ada Siska juga di sana. Mama Tika, ibunya Rania, yang sedang duduk di sofa ruang keluarga sedang menonton televisi pun heran melihat putrinya telah kembali dengan cepat.
"Kok sudah pulang, Ran? Cepat banget tumben," katanya.
"Iya Mah, aku gak enak badan jadi pulang duluan. Yang lain sih masih di sana."
Belum sempat Tika bicara lagi dengannya, Rania sudah keburu masuk kamar. Tika hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Di kamar, Rania melempar tas selempang miliknya begitu saja di kasur. Ia duduk di pinggir ranjang dengan lemas. Menghela napas pelan. Kepalanya tiba-tiba terasa berat.
Dddrrttt ... Dddrrttt ... Dddrrttt ...
Ponselnya berbunyi. Mala meneleponnya dan dengan malas telepon itu dijawab.
"Ya Mala."
"Kok elu pulang duluan sih? Gak bilang-bilang lagi," ucap Mala kecewa di seberang sana.
"Maaf, La. Gue mendadak gak enak badan dan gak mau ganggu acara kalian juga tadi," sesalnya.
"Aaduuh Rania. Tau gak sih. Gue ikut nobar sampe rela gak jadi ngedate sama cowok gue sendiri demi elu. Gue pengen jodohin elu sama Pak Satria, pengen gangguin acara pedekate-nya Siska. Dan sekarang rencana gue jadi gagal gara-gara elu pulang duluan," ungkapnya kecewa.
Rania terdiam sejenak. Hatinya memang sedang tidak baik dari kemarin ditambah lagi melihat keagresifan Siska terhadap Satria. Moodnya terjun bebas.
"Maaf Mala." Hanya kata itu yang bisa terucap.
Terdengar suara Mala menghela napas.
"Ya sudahlah. Tadinya gue harap elu bisa bersenang-senang bareng kita di sini, Ran."
"Iya maaf. Kepala gue pusing soalnya. Gue butuh tidur dan obat. Kalian bersenang-senanglah disana ya."
Rania mencoba meyakinkan sahabatnya itu bahwa dia benar-benar sedang tidak fit untuk bergabung bersama mereka di Mall.
"Oke deh, Ran. Gue gak seharusnya maksa lu kali ya buat tetap di sini. Semoga lekas sembuh. Met istirahat ya."
"Maaf Mala. Have fun ya," ucap Rania lemah. Ia merasa tak enak hati harus mengecewakan Mala yang bermaksud baik padanya.
Telepon pun ditutup. Rania merebahkan tubuhnya di kasur. Pandangannya menerawang ke langit kamar. Teringat kembali betapa capernya Siska di depan atasannya itu. Bergelayut manja di lengan Satria. Tawanya yang dibuat-buat agar tetap terlihat menarik di depannya. Dan yang terakhir yang membuatnya memilih pulang adalah saat mereka berdua terlihat begitu dekat satu sama lain, berbisik-bisik begitu intim di barisan kursi penonton paling pojok yang gelap. Seketika itu juga moodnya langsung berubah buruk. Ada rasa nyeri yang mendera di dada.
Kepalanya berdenyut-denyut makin keras. Migrain menyiksanya. Rania segera keluar kamar untuk minum obat pereda sakit kepala. Setelah itu ia kembali tiduran di kasurnya berharap setelah tidur bisa menghilangkan rasa bete di hati. Tak berapa lama ia pun benar-benar tertidur pulas tanpa terlebih dahulu mengganti pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Rania
Romantik[Proses Revisi] Ketika aku terpuruk karena cinta seorang lelaki yang berkhianat. Saat itu juga seorang lelaki lain memberikan hatinya padaku secara tulus. Aku mulai bangkit dan menyusun ulang masa depan indah bersamanya. Namun, sayangnya impian kami...