Part 10 - Empty

160 12 3
                                    

POV Rania

Oh Tuhan aku harap kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk belaka. Sungguh aku tak sanggup jika ini nyata adanya.
.
.

Tubuhku terasa lemah, lemas dan pandangan mataku kabur. Kupandangi sekitarku yang nampak buram. Kukerjap-kerjap mataku berharap menjadi jelas. Kini perlahan-lahan keadaan disekitarku mulai terlihat jelas.

Ada hiasan bulan dan bintang di langit-langit ruangan ini. Meja rias berwarna putih. Lemari pakaian berwarna coklat. Ranjang kasur pegas yang empuk. Dan meja kerja kecil di samping meja rias dengan lemari buku kecil disebelahnya. Dan sebuah bingkai foto terpajang di dinding berisi foto diriku sendiri. Ini jelas adalah kamarku sendiri.

"Alhamdulillah. Ternyata aku cuma mimpi buruk."

Kubangkit dari tidurku. Kurebahkan punggungku di kepala ranjang. Kepalaku mulai terasa berdenyut-denyut. Sakit di bagian mata kananku. Migrainku kambuh lagi.

Ceeekreekk....

Pintu kamarku terbuka perlahan. Sebuah kepala melongok ke dalam. Ia melihatku cemas. Kepala Bi Mirnah akhirnya keluar lagi. Kudengar ia berbicara dengan seseorang di luar sana.

Pintu kamarku terbuka lagi. Kali ini terbuka lebih lebar. Dua orang masuk ke kamarku. Mama Tika - ibuku - dan juga Papa Edwin?!

Mama duduk di pinggir ranjang. Sedangkan Papa Edwin hanya berdiri di sisinya. Wajahnya tampak sangat khawatir.  Telapak tangannya menempel di dahiku. Kemudian ia menarik tangannya. 

"Apa yang kamu rasakan, Ran? Apa yang sakit, Sayang?" tanyanya cemas.

"Aku baik-baik saja, Mah. Hanya migrain."

"Kamu migrain saja?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk.

"Bi Mirnah tolong ambilkan obat sakit kepala khusus migrain ya buat Rania. Cepat Bi!" teriak Mama ke arah pintu.

"Iya Bu," sahutnya.

Mama kembali menatapku cemas pada putri satu-satunya yang ia miliki ini.

"Sebenarnya apa yang terjadi sih, Mah?" Aku merasa seperti telah melewatkan sesuatu.

"Kamu habis pingsan, Sayang." Ia membelai lembut rambutku.

"Pingsan? Dimana?" Aku benar-benar tak ingat kapan aku pingsan.

"Tadi saat di Coffeeshop, Ran. Tiba-tiba kamu limbung lalu jatuh ke lantai. Mama takut sekali tiba-tiba kamu pingsan. Tidak biasanya kamu begitu, Nak." Mata Mamaku berkaca-kaca. Ia begitu mengkhawatirkan aku.

Kupandangi wajah Mama dan Papa yang sama cemasnya. Samar-samar aku mulai ingat. Tadi siang aku baru saja bertemu dengan ayah kandungku itu setelah 25 tahun tidak pernah bertemu. Lalu... Kalau tidak salah ada Mas Satria di sana. Tunggu dulu? Mau apa dia datang ke sana?

Mama lantas bercerita jika aku masih punya seorang kakak. Kali ini bukan kakak tiri. Tapi ia datang sebagai .... Ah gak mungkin?! Ini pasti ada yang salah. Ini pasti bohong. Mana mungkin kalau Mas Satria adalah ... kakakku sendiri?! Kami kan pacaran. Kami kan saling mencintai. Kami kan mau menikah nanti. Kami kan....

Tiba-tiba dadaku terasa sesak dan juga nyeri. Kutampar wajahku keras-keras. Mama Tika memekik kaget. Pipiku terasa sakit. Ternyata aku tidak sedang bermimpi.

"Kamu kenapa, Ran? Kok menampar wajahmu sendiri?"

Aku mendelik padanya. Bingung mau menjelaskan apa. Karena tak mungkin kukatakan jika aku selama ini berpacaran dengan Satria. Yang ternyata .... Ah aku terlalu takut untuk mengatakannya walau dalam hati. Aku terlalu takut mengakuinya. Aku harap aku salah melihat sosok pria itu. Kuusap pipiku yang masih terasa perih.

Takdir Cinta RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang