[Proses Revisi]
Ketika aku terpuruk karena cinta seorang lelaki yang berkhianat. Saat itu juga seorang lelaki lain memberikan hatinya padaku secara tulus. Aku mulai bangkit dan menyusun ulang masa depan indah bersamanya. Namun, sayangnya impian kami...
Mobil SUV hitam yang dibawa oleh Satria memasuki gerbang perumahan mewah dengan sistem cluster alias satu pintu masuk dan keluar.
Rania yang sedari tadi diam dan bertanya-tanya hendak dibawa ke mana dirinya hanya bisa menunggu tanpa berani bertanya langsung. Ia merasa bersalah lagi karena pulang bersama Bayu. Dan belum sempat menjelaskan tapi Satria sudah menariknya pergi.
Pas ketika adzan Isya berkumandang mobil itu berhenti di depan sebuah tanah kosong yang kanan kirinya sudah berdiri rumah mewah. Walau dengan penerangan seadanya dari lampu jalan dan lampu mobil masih cukup terlihat jelas bahwa ukuran tanah itu sangat luas.
"Mau apa kita kesini, Mas?"
Satria tidak langsung menjawab. Ia memandang sejenak tanah kosong itu. Lalu menatap wanita di sebelahnya.
"Tadinya aku ingin membawamu ke sini besok siang. Tapi berhubung aku melihatmu di jalan pulang dengan Bayu lagi, aku terpaksa mencegat kalian." Ekspresinya tenang tapi masih tersirat rasa tidak suka di matanya.
"Maafkan aku Mas. Aku sudah ...."
"Menolaknya?"
Rania tercekat. Ia mengangguk pelan.
"Lalu dia memaksamu lagi?"
Ia mengangguk lagi pelan. Sorot mata Rania terlihat menyesal dan merasa terpojokkan. Satria menghela napas.
"Lain kali kalau Bayu memaksamu lagi katakan saja 'tidak' dengan tegas. Atau kamu panggil saja aku."
Rania tertunduk sedih merasa bersalah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Sudahlah lupakan saja. Kamu tahu itu tanah milik siapa?" Telunjuk Satria menunjuk ke tanah itu.
Rania menggeleng pelan.
"Itu tanah kita, Ran."
"Hah?! Tanah kita?"
"Tadi pagi selepas urusan dengan orang bank selesai. Siangnya aku bertemu dengan notarisku untuk melakukan akad jual beli. Membeli tanah kosong di depan kita itu."
Mata Rania terbelalak.
"Iya tanah itu milikku. Baru kubeli tadi siang. Lebih tepatnya ya tanah kita, Ran. Karena kelak kita akan membangun rumah masa depan kita di sini. Rumah besar yang nyaman dengan anak-anak kita di dalamnya." Kali ini ekspresi Satria terlihat lebih hangat.
Rania mengulum bibirnya. Perasaan bahagia membuncah di dada. Matanya mulai berkaca-kaca. Terharu.
"Tapi harga tanah di sini mahal. Darimana Mas bisa membelinya?"
"Kamu kira aku sibuk mengurus masalah perusahaan sepupuku itu cuma dibayar gaji bulanan aja, Ran?" Ia terkekeh.
"Dia memberiku komisi bagi hasil setiap keuntungan yang mereka dapatkan. Kukumpulkan sedikit-sedikit untuk masa depanku. Masa depan bersamamu Rania."