"Kamu yakin mau masuk kerja hari ini?" tanya mama Tika ketika dilihatnya Rania hendak bersiap-siap pergi. "Gak cuti aja sehari dua hari gitu? Kamukan masih belum sehat sayang."
Raut wajah wanita yang telah melahirkan Rania 25 tahun silam itu tampak begitu khawatir manakala sang putri kesayangannya sedang bersiap-siap berangkat kerja di hari Senin. Karena dia yakin kondisi putrinya sedang tidak baik.
Rania masih terlihat sedikit pucat tapi ia menutupinya dengan make up tipis dengan pulasan blush on warna bitter sweet dan lipcream senada warna alami bibirnya. Diambilnya tas satchel bag terbuat dari bahan kulit sapi asli miliknya yang biasa dia pakai untuk kerja dari meja nakasnya.
"Rania sudah lebih baik mah. Nanti aku beli multivitamin deh." Ia menyampirkan tasnya di bahu kanannya.
"Bukan cuma itu Ran. Coba lah kurangi lemburnya. Belakangan ini kamu tuh kebanyakan lembur. Apa sih yang bikin kamu betah berlama-lama di kantor. Bonus ya? Mendingan bantuin mama ngurusin butik mama aja deh Ran. Biar kamu gak terlalu capek kerja disana. Nanti mama bisa kasih gaji juga deh."
"Ya gak bisa gitu juga dong mah. Aku kan harus bertanggung jawab dengan kerjaanku. Totalitas. Kalau klien komplen dan kerjaan gak beres kan yang repot kita-kita juga."
Mama Tika mendesah kecewa di kursi meja makan.
"Entah kenapa mama kok ngerasa bahwa ada yang sedang ditutupi kamu?" Dahinya mengernyit memperhatikan anak gadisnya yang tadi siap pergi kini malah berdiri mematung melihatnya heran.
"Eemmm... Maksud mama sejak kamu bertemu kakakmu, Satria, kok rasa-rasanya ada yang beda gitu Ran. Entah perasaan mama aja ya?" Sudut bibirnya miring sedikit, dahinya masih berkerut menerka-nerka sendiri dengan perasaannya.
Akhirnya Rania urung pergi. Ia mendekati mamanya dan ikut duduk di kursi makan di seberangnya. Bingung bagaimana menjelaskannya tapi belum sampai mulutnya bersuara baru terbuka sedikit, mamanya kembali angkat bicara.
"Apakah kamu keberatan mama menikah lagi dengan papamu Ran karena waktunya dimajukan?" tatapnya serius.
Rania tersentak. Ia menggeleng cepat.
"Aku sama sekali gak keberatan kok mah. Justru aku malah seneng mama papaku bisa rujuk lagi. Kita jadi punya keluarga utuh lagi. Jadi mana mungkin keberatan kan?" bantahnya."Serius?"
Ia menggangguk mantap.
"Tapi... mama berpikir kamu juga seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang berkaitan dengan kakakmu. Tapi mama tidak tahu apa? Kamu terlihat sedih rasanya Ran. Apa kamu tidak suka dengan kehadiran kakakmu yang tiba-tiba itu?"
Mata Rania membulat kaget. Namun ia berusaha cepat menutupinya.
"Salah mama juga sih gak ngasih tahu kamu soal kakakmu ya sejak awal. Sebenarnya cuma mau ngasih surprise aja sih Ran bahwa kamu masih punya saudara." Senyum tipis terbentuk di wajah mama Tika.
Rania berusaha ikut tersenyum. Menjaga perasaan mamanya.
"Bagaimana menurutmu soal kakakmu? Kemarin kalian sudah ngobrol kan?" tanyanya penasaran.
Rania enggan membahas soal Satria. Dia belum siap berterus terang.
'Aku jadi teringat lagi betapa kecewa dan sedihnya hati kami berdua saat tahu kami ternyata bersaudara. Pupus sudah harapan kami mewujudkan rumah masa depan milik kami sendiri. Entah bagaimana nasib tanah itu nanti. Dan nasib kami berdua ke depannya. Padahal aku sudah mulai mengerjakan desain 3D nya.' Batinnya kecewa.
"Ran, kok malah ngelamun sih?"
Wajah cantik itu terkejut lagi.
"Ngobrolnya nanti disambung lagi ya mah? Aku berangkat dulu. Driver ojolku sudah sebentar lagi datang." Ia mencium punggung tangan mama Tika. Mama Tika mengusap kepalanya lembut. Ia bergegas melangkah keluar. Mama Tika mengantarnya pergi sampai teras rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Rania
Romance[Proses Revisi] Ketika aku terpuruk karena cinta seorang lelaki yang berkhianat. Saat itu juga seorang lelaki lain memberikan hatinya padaku secara tulus. Aku mulai bangkit dan menyusun ulang masa depan indah bersamanya. Namun, sayangnya impian kami...