20

144 11 0
                                    

Happy Reading

"Aku bingung harus menjelaskan mulai dari mana padamu. Harusnya aku jelaskan padamu sebelum makan malam itu hanya saja.."

"Sudahlah, Alan. Lupakan saja. Aku hanya ingin memastikan" ujar Marsha

Saat ini Alan menemui Marsha di sebuah event yang kebetulan Marsha tangani, dan Alan benar-benar keras untuk menemui Marsha. Baginya, masalah ini harus selesai.

Sudah satu minggu ini Marsha mengabaikan Alan juga Alvin yang datang menemuinya maupun sekedar pesan singkat.

Entahlah! Tapi ia merasa ditipu oleh mereka berdua. Marsha ingat perselisihan nyata saat menjadi mahasiswa dulu. Benar, tak ada perkelahian disana. Namun ada binar amarah di mata keduanya, dan jika bertemu selalu saja seperti rivalnya yang padahal mereka adalah saudara.

Marsha tak tahu pasti, mereka saudara yang bagaimana. Hanya saja,bukankah jika bersaudara tak boleh bermusuhan? Bukankah jika bersaudara harus saling mengasihi?

Tidak seperti mereka.

"Tanyakan apapun selama itu bisa memaafkanku, Sha" ujar Alan sambil merangkum tangan Marsha

Marsha menatap tangannya yang dirangkum oleh Alan, sekelebat goresan pena Alan muncul di benak Marsha. Ia menarik tangannya. Tidak, bukan saatnya menanyakan perihal itu.

Marsha juga tak ingin berpura-pura, hanya saja ini bukanlah saat yang tepat.

"Benar, kamu dan Alvin saudara?"

Alan mengangguk "Benar, kami saudara tapi beda ibu" aku Alan.

Marsha menutup mulutnya saat mengingat kisah Alvin yang pernah diceritakan padanya saat itu, di danau pada hari ulang tahunnya. Jadi maksud Alvin mengenai adik itu adalah Alan. "Maksud kamu, Alvin itu?"

"Papa pernah menikah sebelum menikah dengan mamaku, Sha."

"Lalu mengapa kalian bersikap seolah-oalah tidak saling mengenal?"

Alan menghela nafasnya "Awalnya kami memang baik-baik saja. Entahlah, Sha. Meskipun kami berbeda ibu yang harusnya aku benci dia, tapi aku tidak bisa. Mamaku juga menyayangi Alvin, jika ada yang boleh perihal benci membenci harusnya adalah Aku dan mamaku yang dibenci bukan Alvin atau ibunya. Biar bagaimanapun, selisih kami hanya satu tahun bukan? Bukankah sempurna jika mamaku disebut dengan perebut rumah tangga orang lain?" ucapnya sambil menatap kakinya. Melihat Alan begitu membuat Marsha berpikir, harusnya malam itu ia mendengarkan penjelasannya sebelum pergi.

Namun egonya kembali berteriak, tidak. Malam itu akan membuatnya semakin marah jika berlanjut.

"Dan sebenarnya sebelum kami tidak tegur sapa begini, disebabkan kesalahpahaman. Saat itu, usiaku 9 tahun aku bermain dirumahnya bersama papa. Namun mendadak papa dapat telepon dari Kantornya sehingga aku bermain dengan Alvin disana." Alan menjeda ucapnnya

"Tiba-tiba mama Ratna, ibunya Alvin jatuh dari tangga. Kami berlari kesana dan menelepon papa namun tidak di angkat. Saat itu aku masih kecil dan yang panik pergi ke kantor papa bermaksud untuk menolong mama Ratna. Namun ketika aku dan papaku sampai di rumah, mereka sudah di bawa ke rumah sakit oleh tante Mita, kakaknya mama Ratna dan semenjak itu hubungan kami renggang, Sha. Namun masih saling bertemu dan sesekali menanyakan kabar"

Marsha tentu paham, ia menepuk bahu Alan menenangkannya.

"Namun puncaknya saat kami memasuki SMA, Sha. Dia yang duduk di bangku kelas XI tiba-tiba tanpa sebab menonjokku lalu pergi tanpa mengatakan apapun. Semenjak itu kami menjadi seperti saat ini, tidak saling mengenal"

"Maafkan aku tidak menceritakan ini padamu" tambah Alan lagi

"Kamu belum pernah menjelaskan tentang kesalahpahaman ini pada Alvin?" tanya Marsha

"Sudah, Sha. Tapi ya begitu aku sudah mengatakan tadi bahwa semenjak kejadian itu meskipun renggang kami masih bertegur sapa hingga di bangku SMA yang membuatku bingung harus bagaimana terhadap sikapnya yang berubah drastis"

Marsha mengangguk lalu tersenyum, dia juga sadar. Kenapa Alan merahasiakannya, mungkin ini cukup berat untuknya. Namun ia juga bingung mengapa Alvin bersikap begitu pada Alan. Entahlah, setidaknya hari ia ingin menemani Alan. Pertemanan mereka sudah terjalin begitu lama, dan Alan juga selalu ada untuknya.

Marsha memeluk Alan bermaksud menenangkannya dan dibalas Alan tak kalah erat.

"Maafin aku ya?" ucap Alan lagi

Marsha mengangguk dalam pelukan Alan, sambil menepuk punggung Alan.

Mereka tidak sadar, bahwa Alvin melihat Marsha memeluk Alan disana.

Alvin ingin menemui Marsha juga, ia ingin menjelaskan segalanya termasuk kepergiannya dahulu. Namun langkahnya terhenti, pertemuannya ia urungkan saat melihat Marsha memeluk Alan.

Sambil mengeratkan genggamannya pada paper bag dan mengatupkan rahangnya kuat. Lalu berbalik badan berniat pergi dari sana.

Mungkin ia akan bercerita pada Anita saja.

Tbc

RiskaRisa

HUJAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang