6

1.8K 206 45
                                    

.

"Eunghhhh"

Jisung terbangun dari tidurnya. Dia merasa pening dikepalanya semakin menambah.

"Heh bedebah! Kenapa kau mau mengikuti Seungmin? Merepotkanku!" omel Hyunjin.

Jisung menatap sahabatnya itu tak suka. "Bagaimana kau tau aku dengannya?"

"Dia menelfonku untuk menyombongkan dirinya."

"Dimana dia sekarang?" tanya Jisung pelan.

"Mati."

Jisung membelalak kaget. "MATI?"

Hyunjin hanya mengangguk malas. dan menyodorkan sup sayuran ke Jisung. Dari kemarin Jisung tidur lelap hingga tak sempat makan.

"Makan ini dulu."

Jisung menerimanya.

.

.

"Kau ingat Kim Seungmin?" tanya seorang yang memunggungi bosnya.

"Yang menculik Jisung itu?"

"Iya. Kau tau, kakaknya adalah bagian dari kita."

Bos dan kaki tangannya yang baru saja berbalik itu beradu tatap.

"Siapa yang kau maksud?" tanya bosnya itu.

"Kim Woojin."

Lelaki yang lebih kecil dari kaki tangannya itu bangkit dari kursi kebanggaan. Menatap album foto berukuran A5 dihadapannya.

"Kim Woojin. Bajingan ini? Cih."

"Jangan menyebutnya begitu."

PRANG

KLONTANG

"ARGGGHHHH"

DOR

DOR

"Cepat pergi. Akan kubereskan ini."

Sang kaki tangan itu mendorong bosnya menuju lift tersembunyi didalam lemari. Rumah itu sungguh banyak memiliki ruang yang tidak banyak orang tau.

BRAK.

Seseorang mendobrak pintu ruangan.

Lelaki berbadan tinggi tegap dengan surai kecoklatan itu mendekati mantan sahabatnya.
"Dimana dia?"

"Dia? Siapa yang kau maksud?"

"Jangan melindunginya. Bedebah kecil itu perlu pelajaran. Jika kalian memang membenciku, setidaknya jangan sakiti keluargaku." Todingan pistol yang tadinya mengarah ke lawannya itu perlahan tertunduk.

"Hei, kau dan adikmu memiliki kasus yang berbeda dengan kami. Adikmu menculik putra Han. Bahkan kau tau? Adikmu baru saja akan melakukan pelecehan terhadapnya."

"SETIDAKNYA KALIAN TAK MEMBUNUHNYA!"

Woojin, Kim Woojin yang menyukai sahabatnya itu tidak bisa berbuat apapun. Masa depannya hancur ketika tau adiknya mati ditangan orang yang dicintainya.

"Sudahlah. Kembali dan kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku masih menganggapmu sahabat sampai saat ini. Dan dia juga tidak membencimu. Aku tau itu."

"Bahkan kau masih setia mendampinginya meski ditolak berkali-kali bukan? Dia memilih bocah tengil sialan itu. Cih. Aku tak mengerti jalan pikirannya."

"Dia punya misi sendiri. Biarkanlah. Ayo teman, kubantu berdiri."

Woojin sedari tadi sudah menjatuhkan dirinya. Mengingat semua perbuatan orang-orang terdekatnya. Sungguh. Ini bukan kemauannya. Dia terjebak di situasi yang rumit.

Dia dan sahabatnya itu menyukai orang yang sama. Menyukai orang yang memilih menjalin hubungan dengan seorang bocah tidak jelas asal-usulnya demi sebuah misi yang berkaitan dengan orang lainnya.

Sungguh rumit untuk dijelaskan.

.

.

Sorenya, Minho dipanggil menghandap ayahnya. Dengan tampang gagah seorang Lee Taeyong, dia menatap Minho lewat cermin didepannya.

"Kemana saja kau belakangan ini? Kau tau persiapan pernikahanmu sudah hampir selesai. Bahkan Calonmu kemarin telah diculik. Kau lihat, yang menyelamatkannya hanya sahabatnya sendiri. Kau bahkan tidak menemuinya sama sekali."

Taeyong berjalan ke arah Minho, mendekatinya bahkan membungkukkan badannya menyamai tinggi Minho yang duduk di kursi roda tanpa bicara.

"NGHHHHH."

Rahang Minho dicengkeram keras membuatnya sedikit melenguh.

"Hh. Bagaimana bisa seorang cacat sepertimu bisa bersanding dengan keluarga Han. Aku sebenernya malu ketika akan menjodohkanmu. Tapi keluarga Han hanya menginginkanmu. Anak yang sangat tidak berguna."

"Kau memaksaku, menghinaku, menggunakan tangan kotormu untuk menyentuhku. Aku sudah lama diam untuk ini. Katakan apa maumu. Aku tau kau membenciku karna aku bukan anak kandungmu."

Taeyong kaget ketika sebelum Minho bicara, tangan Minho sempat menepis tangannya. Lebih kaget lagi ketika Minho bisa bicara selantang itu.

" Kau.. "

"Aku? Kenapa? Aku Lee Minho. Kau terkejut kenapa aku bisa bicara? Kau pikir setelah kecelakaan itu aku jadi bisu? Huh. Bodoh."

PLAK.

"BERANI KAU BERKATA BEGITU."

Ceklek.

Pintu ruang Taeyong terbuka. Jeno masuk kemudian membawa Minho pergi dari sana tanpa kata.

"Sudahlah kak. Jangan diladeni." lirih Jeno.

"Kau tau, aku sudah muak dengannya."

"Kau hari ini harus fitting baju dengan Jisung. Aku antar ya. Kak Chan sedang mengurus rumahmu."

"Oke. Jangan bilang pada Chan tentang tadi ya. Aku tak mau dia khawatir."

Jeno hanya mengangguk dan terus mendorong kursi roda Minho.

Hari ini memang jadwal Minho fitting baju pernikahan. Dan disana akan bertemu dengan Jisungnya.

.

.









kalian pusing nggak sama ceritanya?
nggak masuk banget sih. aku udah hilang feel banget gatau kenapa 😭

hujat aku deh 😭

hujat aku deh 😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

maap hikd 😭

darĸѕιde || jιĸnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang