28 - Penjelasan

1.1K 57 1
                                    

Ternyata meskipun yang terungkap adalah kebenaran, hati tetap saja sakit.
Kenapa kebenaran selalu menyakitkan?”

••• 🔍•••

Farhan menepati janjinya untuk menemui Clara. Saat ini mereka berdua sedang makan siang bersama di kafe yang tidak jauh dari sekolah. Waktu istirahat kedua akan Clara habiskan bersama Farhan. Karena mereka tidak akan sering bertemu seperti ini.

"Sebentar lagi kamu ujian, 'kan?" tanya Farhan sambil mengelap mulutnya dengan tisu.

Clara menelan makanan yang baru saja ia kunyah. "Iya."

"Tahun baruan di Bandung aja, ya."

"Iya, Ayah. Rencananya juga gitu."

Farhan mengangguk. "Cepetan dikit makannya. Sepuluh menit lagi masuk, loh. Nanti gerbangnya keburu ditutup."

Benar juga kata Farhan. Bisa-bisa Clara tidak diizinkan masuk jika dia terlambat ke sekolah. Sebenarnya sekolah melarang siswanya untuk keluar halaman sekolah saat jam istirahat, namun Farhan meminta izin kepada guru piket untuk mengajak Clara makan di luar. Dan akhirnya, jadilah seperti ini.

Sesungguhnya Clara masih ingin menghabiskan waktu bersama Farhan. Jabatan Farhan yang baru di perusahaan membuat ayahnya semakin sibuk, bahkan sangat jarang menghubunginya.

Clara mempercepat makannya. Tidak sampai lima menit, gadis itu sudah menghabiskan makanannya. Setelah itu, Farhan mengantarkan Clara ke sekolah.

"Belajar yang baik, ya. Bentar lagi ujian. Harus fokus. Jangan keluyuran malam-malam. Paham, 'kan, anak manis?" Farhan mengacak rambut Clara sebelum anaknya itu keluar dari mobil.

"Iya, Ayah." Gadis itu menutup pintu mobil, lalu melambaikan tangannya. "Hati-hati."

Clara hanya bisa menatap pasrah kepergian ayahnya. Tiga puluh menit rasanya tidak cukup untuk mengobati rasa rindunya kepada ayahnya itu.

Setelah menghembuskan nafas panjang, Clara membalikkan badannya untuk memasuki gerbang. Namun, gadis itu terperanjat ketika melihat Rangga berdiri tepat di belakangnya. Sejak kapan Rangga ada di sana? Bukannya saat turun dari mobil tidak ada Rangga? Selama itukah Clara menatap kepergian ayahnya sampai tidak menyadari kehadiran Rangga?

"Hai." Rangga menyapa dengan senyuman termanisnya. Senyuman itu masih sama seperti senyuman yang pertama kali Clara lihat ketika bertemu dengan Rangga waktu itu. Senyuman itu juga yang membuat Clara berharap kalau Rangga adalah Boy—sosok yang selalu membuatnya penasaran.

"Ha-hai." Clara tersenyum kikuk. Gadis itu merapikan poni yang sedikit menutup matanya. "Sejak kapan Kak Rangga ada di sini?"

"Sejak mobil ayah lo pergi."

Clara mengangguk. "A-ada apa, Kak?"

Rangga memijat pangkal hidungnya. "Nanti malam, bisa kita ketemuan? Tapi, jangan sampai Dimas tahu."

"E-emangnya ken-kenapa?"

"Ini soal Boy," jawab Rangga.

Seketika mata Clara terbelalak. Jantungnya berdetak tak karuan. Jangan bilang dugaannya adalah benar. Tidak, tidak mungkin. Belum waktunya Clara bertemu dengan Boy. Clara belum siap.

Clara's MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang