20 - Truth or Dare

1K 55 1
                                    

"Ada hal yang sebaiknya dipendam sendiri. Karena mengungkapkan pun percuma, tidak ada yang peduli."

••• 🔍 •••

"Kak, main, yuk."

Dimas menoleh ke arah Clara yang tampak bersemangat mengajaknya bermain. Entah apa yang ada di pikiran Clara, yang jelas Dimas merasa bahwa Clara itu seperti anak kecil.

"Ayo, main, ya!" Clara memasang wajah merengek. Dia bahkan menangkupkan kedua tangannya untuk memohon agar Dimas mau menerima ajakannya.

"Hm."

"Berdeham berarti iya, diam berarti iya, bilang tidak berarti iya, pokoknya semuanya berarti iya. Harus iya!" Clara melipat tangan di depan dada sambil memainkan alisnya.

Dimas memalingkan mukanya karena tidak mampu menahan senyuman. Pemuda itu tersenyum tanpa Clara ketahui.

"Ih, Kak Dimas!" Clara memukul lengan Dimas dengan pelan. "Pokoknya harus main sama aku, ya!"

Dimas masih belum menatap ke arahnya. Pemuda itu asik senyum-senyum sendiri. "Kak Dimas, astaga! Kali ini aja jangan cuekin aku. Bekunya dicairin dikit, bisa, 'kan?!"

Clara memang tidak tahu sejak beberapa menit yang lalu semua perkataan dan tingkah lakunya telah berhasil mencairkan hati Dimas yang beku.

Kelewat kesal, Clara memegang kepala Dimas. Dia mengarahkan kepala Dimas untuk menatap ke arahnya. Buru-buru Dimas melunturkan senyuman yang sejak tadi menghiasi wajahnya yang awalnya datar tanpa ekspresi. Awalnya Dimas mati rasa, sebelum akhirnya seseorang datang dan membuatnya kembali merasakan sesuatu yang telah lama dia musnahkan dengan harapan tidak akan pernah merasakannya lagi.

"Gak ada penolakan, harus main!" Clara melepaskan tangannya yang memegang kepala Dimas. "Buang rokoknya," titah Clara.

"Gak."

"Kak Dimas, buang rokoknya!"

"Lo bawa nasi goreng?"

Ya, ampun, lupa!

"Ih, kok, malah bahas nasi goreng?!" Clara berdecak kesal, padahal seharusnya Dimas-lah yang kesal karena pertama, Clara tidak membawa nasi goreng sesuai perintahnya. Dan kedua, Clara terus memaksanya untuk melakukan hal yang tidak ingin dia lakukan.

"Ya, udah." Dimas kembali menyesap rokoknya.

"Ih, Kak Dimas, mah!" Dimas selalu berhasil membuat Clara kesal. Untung saja Clara tidak punya riwayat darah tinggi. "Ya, udah, besok aku bawain lagi."

"Besok Sabtu."

"Aku bawa ke rumahnya Kak Dimas."

"Oke." Dimas membuang puntung rokok itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan kaki yang terbalut sepatu berwarna hitam.

Clara langsung tersenyum melihatnya. "Jadi, mau main, 'kan?"

"Terpaksa."

"Gak apa-apa terpaksa, yang penting mau."

Sungguh, saat ini Dimas sedang berupaya menahan agar kedua sudut bibirnya tidak terangkat. "Cepat," titah Dimas.

Clara's MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang