Im Jessy

218 34 3
                                    

"Dia Im Jessy. Kami akan bertunangan bulan depan."

Yein membeku, menatap Jungwoo dan gadis di sisinya dengan nanar. Tunangan? Jadi, dia adalah perempuan istimewa yang Jungwoo maksud? Rasanya menyesakkan.

"Hai, Yein. Ah, benar kata Jungwoo, kamu cantik. Bahkan saat mengenakan setelan rumah sakit pun masih begitu." Perempuan bergaun merah muda yang begitu pas dengan kulit pucatnya itu tersenyum lebar, ceria.

Yein masih geming. Rasa iri dalam dirinya meronta-ronta menyaksikan binar kebahagiaan di kedua bola mata Jessy, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan dan dapatkan.

"H-hai. Selamat atas kabar pertunangan kalian." Akhirnya Yein mampu bersuara meski itu menyakitkan.

Yein pikir, perlakuan manis Jungwoo untuknya selama ini karena dia memiliki perasaan khusus seperti yang Yein rasakan. Yein pikir, apa yang mereka lalui selama ini mampu menumbuhkan benih-benih perasaan yang lebih dari sekadar perasaan teman kepada teman. Nyatanya, semuanya semu. Hanya Yein yang merasa demikian. Hanya Yein yang terlalu jauh mengartikan persahabatan mereka. Dan kini, Yein pula yang hancur sendirian.

"Kamu gak apa-apa?" Jungwoo mendekat, menatap Yein lekat dan kemudian terpaku kepada sepasang mata Yein ---di mana tergenang air mata yang hampir menetes di sana.

"Ada yang sakit? Di mana? Aku panggil dokter, ya?" ucap Jungwoo panik. Pun dengan Jessy yang terlihat khawatir.

Yein menggeleng lemah. "Aku gak apa-apa. Hanya... sedikit mual. Ulu hati terasa nyeri dan itu menyesakkan, Woo."

Jungwoo meraih gelas di nakas, kemudian menghela napas panjang karena sudah tak ada air tersisa di teko kaca di tangannya.

"Aku ambil air dulu, ya. Tunggu di sini." Jungwoo menatap Jessy sebentar sebelum pergi. Mengangguk kecil seolah meminta dia menjaga Yein dengan isyarat.

"Jungwoo khawatir banget sama kamu," ucap Jessy, beralih duduk di sisi Yein. Tersenyum lembut, Jessy mengusap pelan bahu Yein.

"Dia memang baik, kamu beruntung bisa jadi calon istrinya." Yein membalas dengan senyuman sendu.

"Uhm, aku lebih tua dua tahun dari kamu," ucap Jessy membuat Yein tercengang. Meski sikap Jessy memang terlihat dewasa, tetapi wajahnya benar-benar sangat muda. Nyaris seperti anak kecil dengan tubuh orang dewasa. Yein tidak menyangka jika Jessy lebih tua darinya dan juga Jungwoo tentunya.

"Ah, aku harusnya panggil kakak kalau begitu." Yein tersenyum canggung.

"Gak apa-apa. Gak usah sungkan."

Yein terenyuh. Jessy benar-benar lembut. Tak heran Jungwoo menyukainya. Ini sakit, tetapi Yein merasa lebih baik karena wanita yang Jungwoo pilih sangat jauh lebih baik dari ekspektasinya. Setidaknya, Yein lega.

"Kamu... suka Jungwoo?"

Deg. Yein geming, kaget. "Aku?" Yein menunjuk wajahnya sendiri sambil terkekeh sumbang. "Kami berteman sejak kecil."

"Berteman sejak kecil bukan berarti mustahil untuk punya perasaan lebih, kan?" Jessy menatap Yein serius. Tidak ada senyum di wajah Jessy, tetapi meski begitu, kesan hangat masih terpancar di kedua bola matanya. Yein benar-benar kagum.

Yein menunduk. Benar-benar merasa bersalah karena Jessy bisa menebaknya dengan tepat, di saat Yein sendiri tahu bahwa Jessy juga kesakitan. Tentu, perempuan mana yang tidak terluka dan cemburu saat seseorang yang dia cintai dicintai pula oleh perempuan lain?

"Kita sama-sama perempuan. Aku bisa tahu hanya dari tatapan dan cara kamu bicara ke Jungwoo." Jessy mengangkat dagu Yein dengan telunjuknya sehingga tatapan mereka kembali bertemu. "Apa Jungwoo tahu soal ini?" tanyanya.

Yein menggeleng lemah. "Awalnya aku pikir, aku harus bicara soal perasaan aku. Tapi setelah hari ini, aku rasa aku gak bisa."

"Kenapa?" Jessy memiringkan kepala. "Kamu takut persahabatan kalian rusak, atau takut dengan penolakan?"

Yein mendelik. Yang dikatakan Jessy keduanya adalah kebenaran.

"Kamu gak akan tahu hasil yang akan kamu peroleh kalau kamu nggak mencoba. Patah hati itu sakit, aku tahu betul. Tapi lebih sakit saat kamu menyesali sesuatu sedangkan kesempatan yang kamu punya sudah berakhir."

"Maksudnya... Kakak mau aku ngungkapin perasaan ke Kak Jungwoo?" Yein menatap Jessy heran. Tepat ketika Jessy mengangguk dengan senyuman kecilnya, Yein benar-benar tak habis pikir. "Kakak yakin? Kakak sama sekali nggak marah, takut, atau cemburu?"

Jessy menggeleng. "Aku lebih marah sama diri aku sendiri kalau merenggut kesempatan orang lain secara paksa."

Perhatian keduanya teralih begitu pintu ruangan terbuka dan Jungwoo masuk dengan seteko yang telah diisi air penuh.

"Setelah kami meresmikan hubungan, kesempatan kamu hangus. Jungwoo sepenuhnya jadi hakku, dan aku gak akan pernah melepas apa yang sudah sah jadi milikku, In. Pikirkan baik-baik," bisik Jessy untuk terakhir kali sebelum ia beranjak mengambil air di tangan Jungwoo.

***

"Apa yang kamu pikirin sampai nggak dengerin aku dari tadi?"

Yein menoleh dan mendapati Sujeong yang berkacak pinggang seraya menatapnya serius. Terkadang Sujeong memang sangat menyeramkan.

"Gak ada." Yein membalas singkat, kemudian kembali terdiam seraya memikirkan kata-kata Jessy tadi sore.

"Lagi mikirin soal Jungwoo dan ceweknya?" tebak Sujeong tepat sasaran. "Jungwoo udah bilang ke kamu soal pertunangan mereka?" lanjutnya kemudian.

"Kakak udah tahu mereka mau tunangan?" Yein tak percaya.

"Baru tahu tadi." Sujeong duduk di sofa sambil mengupas jeruk. "Apa yang bakal kamu lakuin? Biarin hal itu terjadi, atau kamu butuh bantuan aku buat batalin acara mereka?"

Yein menoleh cepat. Jika soal mengacau, Sujeong memang jagonya. Tapi bukan itu yang Yein ingin.

"Jangan ngada-ngada. Kita gak punya hak apa-apa buat ganggu pertunangan mereka. Lagipula... Kak Jessy baik."

Sujeong menghentikan laju tangannya untuk menyuapkan jeruk ke mulut. Menatap Yein kesal lantas menghela napas dalam.

"Sampai kapan kamu terus ngalah? Kamu terlalu nurut sama takdir, sama keadaan. Karena sikap kamu itulah akhirnya kamu gak bisa bahagia."

"Lalu aku harus gimana? Hancurin pertunangan mereka dan bawa Jungwoo pergi? Apa dengan itu aku bisa bahagia? Nggak. Aku cuma akan jadi orang egois yang jahat." Yein tersenyum miris.

"Lupain Jungwoo, dan cari orang yang sayang sama kamu sebagaimana mestinya. Bisa?"

Yein menggeleng. "Aku gak mau berekspektasi terlalu tinggi lagi soal kebahagiaan apalagi soal cinta."

"Lalu apa yang mau kamu lakuin?"

"Hidup untuk menunggu kematian."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fall and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang