Jungkook dan Yein dipertemukan dengan berbagai kebetulan yang pada akhirnya Jungkook yakini sebagai takdir. Pertama, saat Jungkook kabur dari kejaran mantannya yang mengamuk karena Jungkook ketauan selingkuh. Kedua, saat Yein dicampakkan oleh kekasi...
"Jadi, apa yang kalian lakuin selama tiga jam tadi?"
Yein menghela napas panjang, menatap lurus pada dinding cream kamarnya. Setelah mendengar ceramah ibunya selama hampir dua jam karena menghilang begitu saja, kini Sujeong mengganggu waktu istirahatnya.
"Kita cuma pergi, tanpa melakukan hal-hal lainnya." Yein membalas singkat. Mengambil handuk putih hendak masuk ke dalam kamar mandi. Namun, sepupunya yang ajaib tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar mandi tersebut, memasang wajah menelisik.
"Kamu gak boleh mandi sebelum cerita." Sujeong mensedekapkan tangan di dada, berusaha mengintimidasi.
Menghela napas, Yein ikut mensedekapkan tangan dan mereka saling menatap lurus. "Kakak tahu kalau aku udah nggak mandi berapa hari gara-gara tinggal di rumah sakit?" tanyanya sarkas.
"Jelas tahu," balas Sujeong polos.
"Kalau begitu, minggir sebentar. Aku butuh mandi supaya bisa tidur malam ini." Yein menyingkirkan tubuh Sujeong dari hadapannya.
Sungguh, Yein tidak berbohong bahwa ia ingin mandi secepatnya. Keinginan terbesar Yein sejak beberapa hari tinggal di rumah sakit adalah mandi. Benar-benar mandi yang sebenarnya, bukan hanya mengelap sebagian tubuhnya dengan spons. Yein membenci bau keringat dan juga rambut yang lepek.
"Oke. Nanti cerita pokoknya, ya!" teriak Sujeong tepat setelah Yein menutup pintu.
*
"Jalan-jalan di sungai Han? Udah? Cuma itu?" Sujeong memukul pahanya sendiri gemas setelah mendengar sedikit cerita Yein.
"Ya, hanya itu."
"Bohong." Sujeong menunjuk wajah Yein. "Lihat. Kamu lebih segar dan beberapa guratan di wajah kamu hilang. Pasti ada apa-apa!'
"Memang sejak kapan aku punya guratan di wajah? Aku masih muda!" Yein tersenyum tipis, menggeleng.
"Bukan gurat kerutan. Tapi guratan kesedihan kamu, In."
Yein mendelik. "Gak usah ngaco. Mana ada gurat-gurat begitu."
"Siapa yang ngaco? Aku tahu kamu dari zaman kamu masih orok ya, In. Gurat lelah, tertekan, dan sedih itu bertahun-tahun gak pernah lepas dari wajah kamu."
Terdiam, Yein memikirkan perkataan Sujeong. Ia sendiri sadar bahwa kesulitannya selama ini membuatnya lupa bagaimana cara tersenyum apalagi tertawa. Bahkan cara menghirup udara dengan baik saja hampir Yein lupakan. Selama ini, sesak selalu membelenggu. Dan beberapa saat lalu, Yein merasa... ada sedikit beban terangkat. Sedikit sesak yang hilang. Sedikit ragu berkurang. Dan, sedikit ketenangan hadir, menyelundup masuk ke dalam hatinya.
Jeon Jungkook. Yein tidak tahu betul apakah keputusannya untuk membiarkan Jungkook masuk ke hidupnya benar atau salah. Tapi sekali ini saja, Yein ingin mencoba. Yein ingin perlahan keluar dari seluruh belenggu yang mengikat hidupnya selama ini. Yein tidak ingin mati, dan tidak ingin pula hidup di dalam penjara lagi.
Yein ingin menemukan cahaya, yang akan mengantarnya menuju sebuah kata bahagia, meski sekali.
"In, dengar. Aku tahu sesulit apa kamu hidup selama ini. Kalau boleh jujur, aku merasa kasihan." Sujeong menggenggam tangan Yein lembut. "Udah saatnya kamu buat bahagia. Kejar apa yang mau kamu gapai, jangan takut apa pun. Kamu berhak memilih, kamu berhak memutuskan, karena hidupmu ya milik kamu, bukan siapa pun."
Yein tersenyum tipis, menyentuh punggung tangan Sujeong di atas tangannya. "Kakak kenal pemuda itu?" tanyanya.
Sujeong menggeleng pelan. "Aku baru tahu dia beberapa hari lalu." Ia menjeda ucapannya dengan helaan napas panjang. "Tapi, In, kamu tahu aku ahli dalam menilai seseorang bahkan di pertemuan pertama. Dan cowok itu... tatapan mata dan cara bicaranya, aku tahu dia orang yang bertekad besar. Dia pantang menyerah, nggak takut apa pun, dan akan ngelakuin segala cara agar bisa dapatin apa yang dia mau. Termasuk, hati kamu."
"Hati aku?" Yein sedikit terkejut.
"Ya, kamu bisa lihat nanti." Sujeong tersenyum lebar sebelum menjatuhkan dirinya di atas ranjang Yein yang empuk dan memejamkan mata.
***
"Bang, kewarasan Jungkook kayaknya lagi jalan-jalan." Jimin menepuk bahu Seokjin yang sedang mencuci piring di westafel.
Seokjin menoleh, mengikuti arah pandang Jimin dan menemukan Jungkook yang rebahan di sofa butut mereka sambil tersenyum lebar menatap langit-langit. Ya wajar, siapa pun yang melihatnya pasti berpikiran kalau Jungkook tidak waras.
"Paling baru dapet lotre," balas Seokjin singkat. Biasanya bakal ikut ngatain, tetapi berhubung sekarang sedang stress dengan pekerjaannya, Seokjin tidak bisa melemparkan lelucon apa pun.
"Eh, buset. Ngapain, bocah?" Jimin ngakak melihat Jungkook menguyel-uyel bantal sofa. Mana belum dijemur beberapa minggu, bau jigongnya Yoongi.
"Woy woy! Anjir, sadar, Kook. Sadar! Lo nafsu sama bantal?" Jimin merebut bantal di pelukan Jungkook yang sedang diciumi penuh kasih sayang itu. "Kasian sekali nasibmu, Nak. Bertahun-tahun jadi tempat penampungan iler Yoongi, sekarang jadi pelampiasan nafsu bejad Jungkook." Jimin mengelus bantal tak berdosa di tangannya, merasa kasihan meski sudah bau apek.
"Bang!" Jungkook duduk. Tidak biasanya dia tersenyum seriang itu padahal Jimin sedang menistakan dirinya secara tidak langsung.