Berteman?

205 34 4
                                    

Jungkook sudah menceritakan banyak hal selama dua jam. Mulai dari keluarganya yang tinggal di desa, almarhum ayahnya yang ingin membuat sebuah restoran, hingga kehidupan sehari-harinya yang hanya diisi oleh bekerja dan kegiatan biasa lainnya. Jungkook juga tidak lupa bercerita tentang enam teman serumahnya yang masing-masing memiliki keunikan sendiri. Yein hanya menyimak, sesekali tertawa begitu Jungkook menceritakan kisah lucu. Seperti kisahnya yang pernah digilai waria ketika menjemput Seokjin di kelab.

Yein nampak mendengarkan cerita Jungkook dengan antusias, seolah ia adalah anak kecil yang baru pertama kali diceritakan dongeng sebelum tidur. Matanya berbinar, meski ia berusaha tidak menunjukkan ekspresi.

Hingga di satu titik saat Jungkook diam, Yein menghela napas dalam-dalam. "Saya iri," gumamnya, menatap hamparan sungai Han yang di sekelilingnya mulai terlihat kelap-kelip lampu tanda bahwa malam akhirnya tiba.

"Saya sering berharap bahwa saya bisa bebas seperti kamu atau orang lain. Pergi dengan siapa pun, dan melakukan apa pun yang saya suka, tanpa tuntutan dan tekanan dari orang lain," ucap Yein. Tatapannya terasa jauh, menerawang kosong ke depan sana. Menciptakan kesan terluka bagi orang yang memandangnya.

"Saya menyukai karya seni," katanya lagi. Memberi jeda sejenak untuk memberanikan diri melanjutkan cerita. "Saya suka melihat lukisan, tetapi saya paling suka tembikar. Melihatnya membuat saya membayangkan tentang betapa senangnya bisa membentuk sesuatu seperti yang kita inginkan. Memberikan sentuhan warna sesuai yang kita mau." Ia terkekeh miris, mencoba merapikan rambutnya yang beterbangan tertiup angin. "Ini lucu. Tapi saya merasa, selama ini saya adalah tembikar yang dibentuk oleh Ibu saya. Saya adalah miliknya, dan saya harus seperti yang dia inginkan."

Matahari sudah tenggelam sempurna saat Yein menghadapkan tubuh pada Jungkook, tersenyum sendu. "Saya pernah ingin mati," ucapnya.

"...sering. Tapi saya tidak bisa." Yein melanjutkan. "Bukan karena takut, tapi karena pada saat itu Ibu saya akan datang, menyelamatkan saya, dan mengurung saya kembali di dalam kubangan duka. Dia tidak akan membiarkan saya mati tanpa kehendaknya. Mengenaskannya lagi, Tuhan juga tidak mengizinkan saya mati setelah dua percobaan yang hampir berhasil."

Mata Yein berkaca-kaca, tetapi ia tidak membiarkan air mata turun dari sana. Sekuat tenaga ia membendung cairan yang membuatnya goyah itu. Bercerita seperti ini saja rasanya amat dosa bagi Yein, apalagi jika harus meneteskan air matanya sekarang.

Yein sedikit terenyuh saat tangan Jungkook meraih tangannya, meremasnya lembut, seolah memberikan kekuatan secara tak langsung. Bahkan tatapan mata Jungkook yang menembus matanya begitu lekat dan dalam, seolah menyelami kedalaman mata Yein, menemukan seonggok raga di dalam sana yang meringkuk ketakutan di tengah kegelapan.

"Jangan lagi berpikir untuk mati," gumam Jungkook hangat. "Kamu harus tahu bahwa kamu berharga. Bahwa kamu bukan hanya dibutuhkan, tapi disayangi dan dicintai."

Yein diam beberapa saat, sampai akhirnya mengangguk setelah jeda yang cukup lama. Air mata yang mati-matian ia bendung akhirnya tumpah. Memalukan.

"Maaf karena saya menceritakan kisah yang membosankan." Yein tersenyum canggung. "Ini sangat memalukan. Tapi saya bersyukur karena kita hanyalah orang asing."

Yein diam lagi. Memperhatikan anak kecil berlarian mengejar bola yang ayahnya pegang. Tawa anak itu mengudara saat ayahnya pura-pura terjatuh saat dia tembak dengan tembakan mainan. Sungguh sebuah adegan manis yang membuat hatinya hangat.

"Jika kita saling mengenal, kamu tidak akan bercerita?" tanya Jungkook, mengalihkan perhatian Yein dari anak dan ayah itu.

"Mungkin?" balas Yein ragu. "Saya cenderung malu terlihat lemah di depan orang yang akan saya temui lagi dan lagi."

"Lalu saya? Apa kamu berpikir tidak akan menemui saya lagi?" Jungkook menuntut balas atas tanyanya.

"Saya tidak berpikir begitu," balas Yein dengan senyuman tipis. "Tapi jika boleh jujur, saya tidak ingin pertemuan terjadi lagi di antara kita."

"Kenapa?" Jungkook bertanya penasaran, meski sebagian hatinya terluka mengetahui Yein tidak ingin menemuinya.

Yein berjalan pelan, menyusuri jalan dengan langkah kecilnya. Memperhatikan orang-orang di sekitar, menempatkan diri menjadi orang bebas yang sekali ini saja, berpikir bahwa tempat pulangnya bukan istana yang menyesakkan itu lagi.

"Karena saya ingin, kita tetap menjadi orang asing. Dengan begitu, saya tidak menyesal telah menceritakan kisah saya." Yein menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Jungkook yang berdiri diam dengan bibir terkatup rapat.

"Dan, kamu akan kembali menjadi gadis yang terkurung lagi?" tanya Jungkook beberapa saat setelahnya.

"Maybe?" Yein membalas.

"Kamu tidak ingin bebas?" Jungkook menatap Yein lekat. "Saya akan mengajari kamu bebas. Mengajari bagaimana kamu terbang tanpa rasa takut untuk jatuh. Mengajari kamu melepaskan diri dari ikatan yang membelenggu kamu. Syaratnya hanya satu, pegang tangan saya. Kita berteman." Jungkook mengulurkan tangannya.

"Teman?"

"Ya, teman. Kamu mau ceritakan masalahmu atau tidak, terserah. Tapi saat kamu punya teman setidaknya kamu tahu, ke mana kamu harus pergi saat kamu butuh sandaran."

Yein terdiam lama. Bola matanya bergerak ragu, mengundang senyum Jungkook terbit. Ketika sebuah tawa terdengar dari dua orang yang barusan lewat, fokus Yein teralihkan pada mereka.

Mereka tertawa. Karena memiliki teman untuk berbagi. Mereka tertawa karena memiliki teman untuk meringankan beban mereka.

"Saya tidak janji untuk membuat kamu bisa tertawa selepas gadis itu setiap hari. Karena saya tahu, membuat kamu tertawa adalah hal yang sulit," ucap Jungkook. "Tapi saya akan berusaha menjadi teman yang baik, yang akan datang saat kamu butuh."

"Mau berteman dengan saya?" Sekali lagi, Jungkook mengulurkan tangannya.

Yein menatap tangan Jungkook selama lima detik. Kemudian dengan ragu menggerakkan tangan kanannya, menggapai tangan itu. Dan, mereka berjabat tangan sebagai awal dari kisah mereka. Kisah yang akan mereka awali dengan sebuah kata sederhana: teman.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fall and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang