Bagi para pencari nafkah di ibu kota, pagi hari selalu hectic. Telat sedikit, siap-siap berkawan dengan macet. Sepagi ini, saat sinar matahari mulai menyapu jalanan dan jatuh ke atap-atap gedung, tubuhku sudah berjubel dengan antrian pengguna busway. Merasakan aneka ragam parfum menyengat yang bercampur bau keringat.
Sebagian terlihat bersemangat menyambut hari, mungkin mereka adalah para pekerja yang beruntung mendapat pekerjaan sesuai keinginan dan ijazah sekolahnya. Sebagian lagi adalah wajah-wajah kecut, mengingat bekerja layaknya kuli, mendapat gaji tak layak di bawah UMR.
Maka, beruntunglah orang-orang sepertiku yang bisa bekerja sesuai passion, dan dibayar dengan harga yang cukup pantas. Sesuai dengan teori basic needs Abraham Maslow. Bekerja tak hanya mencari uang, tapi juga kebutuhan aktualisasi untuk memaksimalkan potensi diri.
Mungkin ini juga yang menyebabkan para buruh sering demonstrasi, seperti Karl Marx bilang, mereka bekerja tetapi merasa teralienasi dari kehidupan yang sebenarnya. Hanya menjadi sapi perah dunia industri.
Dari stasiun busway, aku hanya perlu menyebrang dan berjalan sedikit menyusuri trotoar. Matahari sudah terik, dinaungi langit cokelat berbaur udara penuh polusi. Gedung-gedung tinggi seperti pagar beton berbaris mencakar langit. Satu-satunya pemandangan yang bisa dinikmati sebelum memasuki gedung kantor adalah layar LED display sebuah iklan yang berisi perempuan cantik menawarkan sebuah produk.
“Pagi, Mbak Kika.” Petugas security menyapa ramah.
“Pagi juga Pak Hendra. Assalamualaikum ….”
Sapaan hangat menyapa dari mulai pintu masuk sampai ke meja kerja. Inilah yang membuatku mulai kerasan dengan suasana kantor baru. Juga dengan penampilan yang cuek dan eksentrik para karyawannya. Bahkan mereka tak mempermasalahkan kehadiranku sebagai satu-satunya perempuan berjilbab di kantor ini. Don’t judge a book by its cover. Begitu kata mereka. Isi otak lebih penting dari urusan penampilan. Seandainya semua orang di dunia berpikiran sama, mungkin Oprah Winfrey sudah menjadi Miss Universe mengalahkan Aishwarya Ray.
Siang merangkak naik. Layar laptop masih berkedip, menampilkan rancangan kafe milik Raka yang perlu diperbaiki sedikit lagi. Anak-anak lain sepertinya sama, sedang sibuk berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali terdengar suara mesin pencetak bekerja. Disertai suara derap sepatu bergesekkan dengan lantai, membentuk irama langkah tergesa-gesa.
"Mau kuambilkan kopi?"
Wajah Tantri menyembul dari atas dinding kubikel. Kali ini rambutnya digulung asal. Memakai kaus dilapisi kemeja kotak-kotak, berpadu dengan rok denim warna biru. Perpaduan antara maskulin dan feminim. Anting-anting besarnya tak terlihat lagi.
"Aku gak suka kopi. Perutku suka perih."
"Pantesan umur 31 masih jomlo. Gak suka kopi, sih." Tantri nyengir.
Aku mengerutkan kening. "Apa hubungannya?"
"Orang yang gak suka kopi itu adalah orang yang suka menyia-nyiakan hidup ini. Biasanya ia adalah seseorang yang tidak berani mengambil risiko, bahkan terlalu takut untuk jatuh cinta. Padahal cinta itu seperti kopi. Meski pahit, tapi ada rasa manis yang tertinggal setelah menyecapnya," jelas Tantri penuh percaya diri.
Aku tergelak mendengar ucapan Tantri.
"Apa kamu sudah berubah profesi dari arsitek menjadi penyair? Itu hanya provokasi agar Starbucks tidak bangkrut kehilangan para penggila kopi. Yang jelas, orang yang suka kopi itu hanya dua kemungkinan. Pecandu kafein atau orang yang suka membohongi diri sendiri. Mencari rasa manis dari secangkir kopi, padahal semua itu kamuflase. Yang membuat manis itu bukan kopi, tapi gula, Kakak!"
"Ah, lu bisa aja! Jomlo memang suka tiba-tiba pintar dan sinis secara bersamaan,” sungutnya sambil kabur ke arah pantry.
Duh, nasib! Jomlo memang paling enak untuk diledekkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terbaik
RomanceDear, Kika. Kamu percaya kalau Tuhan itu Maha Mendengar? Dulu, aku pernah berkata pada-Nya. Kalau suatu saat Dia mengirimmu kembali padaku, itu artinya aku masih diberikan kesempatan. Sebulan itu adalah waktu yang terlalu singkat bagi pernikahan...