6

5.6K 447 31
                                    

Aku selalu berharap pagi adalah sebuah kesempatan harapan-harapan baru bisa merekah indah. Seperti malam pekat yang baru saja terlewati, maka berlalu pulalah segala kenangan yang seharusnya tertinggal di masa lalu. Untuk pagi yang kesekian, aku membuat komitmen baru. Pertemuan dengan Keenan hanyalah cerita yang telah usang. Tidak perlu lagi peduli dengan lelaki itu. Sebab akan ada hati yang terluka dengan kehadiranku.

Ada jenis kenangan yang seharusnya dikubur dalam-dalam. Dan Keenan adalah salah satu tipe kenangan sejenis itu. Seharusnya diperlakukan seperti Megantrophus Palaleo Javanicus, manusia purba yang hanya perlu dikenang tak lebih sebagai fosil dalam lintasan sejarah.

Aku mendesah sebal. Bahkan sepagi ini, laki-laki itu malah mengirim pesan.

[Satu senja telah terlewati
Dan senja-senja berikutnya akan kita lewati
Dari dulu, sepuluh tahun lalu,
senja selalu sama
Tapi, tak pernah ada senja seindah
saat bersamamu

Selamat pagi, Mantan]

Pesan itu mengingatkan kepada senja yang kusaksikan bersama Keenan dari rooftop gedung. Aku ingin tersenyum, tapi kesal. Hatiku membuncah, tapi jengkel. Perasaan melembut, tapi pada saat yang sama ingin juga memaki. Perasaan apakah itu namanya?

Satu hal yang pasti. Aku tak pernah suka dia memanggilku mantan. Kukirim pesan balasan.

[Namaku Kika
Bukan Senja. Bukan juga Mantan
Apalagi penyuka ayam geprek rasa mantan
Please stop it. Stupid Mantan!]

Hanya selang beberapa detik, muncul pesan balasan.

[I can’t stop it. My dearest mantan]

Kuputuskan tidak lagi mengirim pesan balasan. Semakin dibalas, semakin panjang urusan. Kembali kusalurkan energi yang hampir meledak dengan menatap layar laptop. Menyelesaikan pekerjaan. Rumah sepi milik Davina.

Embusan suara angin dari lubang mesin pendingin ruangan mendesis pelan. Cahaya matahari pagi menelisik sela-sela jendela. Orang-orang di bawah sana banyak yang berkejaran dengan waktu. Bersama decit klakson mobil melenguh dan asap knalpot yang memenuhi jalanan. Satu-dua orang mulai berdatangan. Untuk kembali terjebak dengan rutinitas yang sama di tempat kerja.

Tantri datang dengan wajah riang. Menyimpan tas sebentar, lantas tergesa menemuiku dengan wajah penasaran.

“Kemarin diajak ke mana sama Bos ganteng?” Wajahnya penuh selidik.

Aku pura-pura serius menatap layar laptop. Berpikir jawaban paling masuk akal.

“Nih, ambil!” Tantri mengacungkan silverqueen, menaruhnya di meja.

Aku memicingkan mata. “Sogokan?”

Perempuan itu terkekeh.

“Bos manggil aku urusan pekerjaan. Gak terlalu penting. Udah sana kerja!”

Tantri mengangkat alis. Memandangku dengan wajah tidak percaya. Untung Henry datang. Mengacungkan kertas, memecah ruangan dengan suara baritonnya.

“Gaes, acara outing kantor dipajukan. Besok Sabtu kita ke Anyer!”

Beberapa orang tampak riuh menyambut gembira. Hiburan sangat diperlukan di tengah kepenatan rutinitas kerja.

“Asyik … udah lama gue gak piknik!” seru Tantri.

“Acara apaan sih, Tan?” tanyaku penasaran.

“Outing kantor. Semacam piknik. Bos Keenan memang baik. Dia sering ngajakin anak-anak jalan,” jawab Tantri sebelum kembali ke kubikelnya.

Baru lima belas menit bekerja, notifikasi pesan kembali masuk. Aku kira dari Mantan Rese lagi. Ternyata kali ini aku kembali harus menelan ludah getir. Sekar.

Mantan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang