Dua bulan terakhir, masa lalu yang sempat ingin kukubur itu kembali mengalir deras. Naik lagi ke permukaan. Keenan sering kali membicarakan masa lalu. Tertawa mengenang masa pernikahan kami dahulu. Seakan mengalami dejavu, senja-senja yang pernah kami lewati, seakan kembali terulang. Dan aku tidak bisa menghentikannya. Perasaan itu tiba-tiba mekar, tapi sekejap kemudian terasa sangat menyesakkan.
Kuputuskan untuk menyudahi semuanya. Cukup sudah air mata tumpah ruah tak berguna untuk laki-laki itu. Seandainya Keenan benar-benar tidak ingin aku menjadi mamanya Chika, kenapa dia tidak mau membatalkan pernikahannya dengan Sekar?
Pria itu malah makan nasi gorengnya sampai habis, tanpa ada upaya apa pun untuk mempertahankanku. Mungkin Keenan tidak ingin menyakiti Sekar, tapi tanpa disadarinya, dia telah menyakiti perasaanku. Keenan hanya tahu menyuruhku datang ke kantor. Untuk apa? Untuk memamerkan calon istrinya yang cantik itu?
Nama Keenan kutulis dalam kertas HVS dengan spidol besar. Kucorat-coret sampai puas. Setelah itu, kuremas dan kulempar ke dalam tong sampah. Sesuatu yang seharusnya dilakukan sejak dulu.
Tips move on dari mantan yang kudapat dari internet tak ada salahnya dipraktekkan. Pertama, putus kontak apa pun dengan mantan. Baiklah! Aku ganti nomor telepon. Sesuatu yang sebenarnya malas kulakukan. Aku tak terlalu suka gonta-ganti nomor ponsel.
Kedua, hindari bertemu mantan dan buang jauh-jauh segala sesuatu yang dapat mengingatnya kembali. Kuputuskan pindah tempat tinggal. Aku belum tahu ke mana. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Kalau masih di kota ini, masih mudah bagi kami punya kesempatan untuk tiba-tiba bertemu.
Aku juga ingat ucapan Raka. Melupakan hanya butuh waktu, suasana, dan orang-orang baru. Membuat kenangan baru untuk menggantikan kenangan lama yang sudah menetap.
Sejenak, aku ingin menikmati hidup. Sudah lama terjebak dalam rutinitas sebagai pegawai kantoran di tempat kerja. Pergi pagi pulang menjelang malam. Akrab dengan keriuhan jalanan ibu kota. Sepertinya tak ada yang lebih penting dari uang dan pekerjaan.
Sekarang aku bisa lebih santai. Tak terburu-buru berkejaran dengan waktu. Walaupun pada akhirnya aku harus berpikir untuk dapat pekerjaan baru. Tabunganku hanya cukup untuk tiga bulan ke depan. Kalau tidak, aku akan bangkrut dan kelaparan.
Hari ini aku berniat untuk menjemput Chika di sekolahnya. Setelah itu, bertemu dengan Raka. Aku sudah siap memberikan jawaban yang pernah diminta lelaki itu.
Di gerbang sekolah, kulihat Chika sedang bersama seorang perempuan. Melihatku datang, Chika berlari memeluk erat.
"Tante, aku mau pulang sama Tante Kika! Aku tidak mau ke rumah Mama."
Aku mendongak ke arah perempuan berkacamata yang kini sedang menatapku dengan wajah heran.
"Kamu yang bernama Kika?" Aku mengangguk. Perempuan cantik itu memiliki mata dan hidung yang sama dengan Chika.
Akhirnya kami putuskan untuk duduk sebentar di bangku taman sekolah. Berada di taman rumput terpotong rapi, dengan bunga kamboja yang tengah bermekaran. Anak itu kuminta bermain sebentar bersama beberapa temannya yang masih menunggu jemputan.
"Ini salah saya. Sebagai Mamanya, saya jarang menemui Chika. Sibuk dengan kuliah spesialis dan pekerjaan di rumah sakit. Chika menjadi asing dengan saya. Mamanya sendiri." Raisa berkata penuh penyesalan. Ditatapnya Chika dari kejauhan dengan mata basah.
"Sampai sekarang saya belum juga dikaruniai anak dari pernikahan kedua. Kalau tidak keberatan, maukah kamu membujuk Mas Raka untuk memberikan hak asuh Chika kepada saya? Saya ingin mengurus Chika. Bukankah anak sekecil itu membutuhkan kasih sayang seorang ibu?" Raisa berganti menatapku. Memohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terbaik
RomanceDear, Kika. Kamu percaya kalau Tuhan itu Maha Mendengar? Dulu, aku pernah berkata pada-Nya. Kalau suatu saat Dia mengirimmu kembali padaku, itu artinya aku masih diberikan kesempatan. Sebulan itu adalah waktu yang terlalu singkat bagi pernikahan...