5.b

5K 386 21
                                    

Langit sore kembali terik. Padahal tadi pagi matahari bersembunyi di balik awan pekat. Seakan mewakili suasana hatiku yang sedikit kacau balau. Berubah-ubah seperti prakiraan cuaca. Aku mengintip langit dari balik tirai. Komat-kamit merutuki mantan suami satu bulanku yang kadang-kadang keterlaluan.

“Ka, kalau mau bunuh diri ke atas gedung sono!”

Aku menoleh. Tantri nyengir memperlihatkan gigi-giginya yang rapi.

“Ada klien yang ingin ketemu.”  Tantri melirik seorang perempuan yang sudah menunggu di depan mejaku.

Perempuan itu berusia awal empat puluhan. Kelopak matanya dibingkai oleh kaca mata. Terlihat cerdas dan dewasa. Namanya Davina. Dayan sudah memberitahu kalau dia adalah klienku yang baru.

“Saya senang dengan profil Mbak Kika. Kita punya banyak kesamaan. Perempuan, usia matang dan belum menikah.” Davina membuka percakapan setelah kami berkenalan secara singkat.

“Apa ada hubungannya dengan desain rumah yang Ibu inginkan?” tanyaku hati-hati.

“Panggil saja saya, Mbak.” Aku mengangguk dengan senyum tipis. “Karena hanya dengan sesama perempuan lajang keinginan saya dapat dengan mudah dimengerti.”

“Rumah seperti apa yang Mbak inginkan?” Aku bertanya inti persoalan.

“Yang tidak terlalu luas. Mungkin cukup dua atau tiga kamar tidur. Rumah yang tertata rapi, sepi, cocok untuk penyendiri macam saya.”

Aku belum menangkap keinginannya secara utuh. “Selain itu?”

“Saya memutuskan tidak akan menikah seumur hidup saya. Hidup yang bebas, tidak terkekang, jauh dari kerepotan mengurus anak-anak kecil yang berisik, juga bisa melakukan apa saja tanpa harus didikte kaum lelaki. Rumah yang simpel tapi nyaman. Bisa untuk beristirahat setelah seharian di tempat kerja.”

Dahiku berkerut tiga mendengar penjelasan Davina. Aku bertanya lagi tentang keinginan lainnya. Model rumah, tata ruang, ukuran tanah, budget, dan hal penting lainnya.

“Baik, Mbak. Nanti saya hubungi lagi kalau desainnya sudah selesai.”

Davina pamit. Aku mengambil kertas kosong, mencoba berimajinasi.

Rumah seperti apa tanpa seorang pendamping hidup dan celoteh anak-anak? Aku tak bisa berpikir lagi. Yang kutangkap hanya satu. Sepi.

Apa mungkin beberapa tahun lagi aku pun akan seperti Davina? Menganggap kesendirian adalah yang terbaik sebagai pilihan hidup? Aku menghitung usia, lalu meraba hati.

Bagaimana nanti kalau aku menjadi tua dan masih sendiri? Siapa yang akan menemaniku menatap matahari senja? Siapa yang akan kutunggu di mulut pintu saat kulitku mulai keriput sedangkan maut sudah mengintai dekat? Siapa pula yang akan mendoakan aku kelak ketika sudah tak ada lagi di dunia?

Aku menghela napas berat. Memejamkan mata. Berpikir positif. Aku membayangkan rumah yang kuimpikan. Tidak apa-apa sedikit berantakan. Semua bisa dibereskan. Ada anak-anak berceloteh riang. Ada seseorang yang kutunggu. Menemaniku menatap matahari yang terbit dan tenggelam silih berganti. Terbayang wajah seseorang ….

“Kika …!”

Kenapa suaranya terdengar sangat jelas. Aku membuka mata. Sosok itu menjelma nyata. Tantri dan beberapa teman berbisik-bisik. Mengamati curiga.

“Keenan?” Aku menatap kaget. “Maksudku … Bos Keenan.”

Aku lupa. Bukan hanya aku dan Keenan di tempat ini.

“Ikut aku sebentar,” perintahnya singkat.

Seandainya tidak ada orang lain, sudah kutolak perintahnya itu. Aku mengikuti langkahnya. Meninggalkan Tantri dan beberapa pasang mata yang mengintai penuh tanya.

Keenan menuju lift. Memencet angka dalam diam.

“Mau ke mana lagi? Tak cukup menurunkan aku di tengah jalan?” Aku menatap punggung lelaki itu dengan perasaan jengkel.

Keenan masih diam. Kami ke luar dari lantai tertinggi di gedung ini. Kaki panjangnya melangkah menuju tangga. Mencapai rooftop, halaman luas di atap gedung.

Aku baru ke tempat ini. Segera saja berlari ke tepi. Udara hangat berembus kencang. Langit mulai teduh. Terbentang pemandangan kota yang semerawut. Bangunan-bangunan tampak mengecil. Gedung tinggi, pepohonan, atap-atap rumah, tiang listrik, juga lampu-lampu jalan yang menakjubkan.

“Tunggu sebentar lagi. Kamu akan suka pemandangan di sini.” Keenan berdiri di samping.

“Aku minta maaf.” Suara Keenan memelan. “Apa kamu tadi malam baik-baik saja?”

“Aku yang meminta turun. Jangan merasa bersalah.”

Kali ini ucapanku berbeda dengan isi hati dan kepalaku.

“Aku butuh waktu untuk melepaskan Sekar. Lima tahun lalu, Sekar datang dalam kehidupanku. Dia bukan mantan pacar yang dulu kuceritakan padamu. Gadis itu datang waktu perasaanku sedang terombang-ambing. Menunggumu yang tidak juga muncul di hadapanku.

Dia anak dari salah satu investor terbesar saat perusahaan ini akan didirikan. Seorang arsitek ternama yang percaya pada kemampuan sekumpulan anak muda. Sekar datang menemani hari-hariku. Dia bahkan tak peduli saat kukatakan tentang statusku juga tentang hatiku yang mungkin akan berubah saat kelak bertemu denganmu.

Sekar selalu bilang akan menungguku. Sampai aku benar-benar bisa menerimanya dengan hati yang utuh.”

Keenan terdiam. Pandangannya seakan menembus cakrawala. Aku masih mendengar dengan perasaan yang membiru.

“Lima tahun yang kulalui bersama Sekar seakan tak ada apa-apanya dibanding dengan sebulan bertemu denganmu. Hari-hari yang kulalui bersama gadis itu, hilang tak berbekas saat melihatmu dalam hitungan detik. Tapi aku bingung, Kika. Aku ….”

“Kamu takut menyakiti perasaan Sekar?” Aku memotong ucapannya.

Kami sejenak terdiam. Langit tidak benar-benar biru, tapi biru pekat. Terlihat kontras dengan warna lampu gedung dan mobil-mobil yang mulai menyala. Blue hour. Fenomena alam yang indah.

Senja menyapa. Terang dan gelap bertemu di satu titik. Menyisakan semburat warna oranye, perpaduan sisa cahaya matahari yang membaur dengan kegelapan malam. Lampu-lampu mulai menyala. Mengubah pemandangan kota menjadi titik-titik cahaya.

“Indah bukan?” gumam Keenan. Sejenak kami tersihir matahari senja.

“Ini sudah Magrib. Aku mau pulang.”

Sepertinya aku tak ingin mendengar apa-apa lagi. Tak kupedulikan Keenan yang juga berjalan tergesa di belakangku. Mengejar sampai memasuki lift.

“Aku tak akan menyerah. Beri aku waktu sedikit lagi.” Keenan berkata lirih.

“Terkadang mantan itu seperti fenomena senja. Indah, tapi hanya sekilas. Sekadar meninggalkan kenangan, sebelum memasuki malam yang sangat pekat.” Aku menatapnya enggan.

Keenan menoleh. Tersenyum. “Bukannya seperti sambal pada ayam geprek? Pedas tapi bikin kangen untuk makan lagi.”

“Bikin sakit perut dan mulas iya!”

Keenan tertawa. “Ngomong-ngomong aku jadi lapar. Mau kutraktir ayam geprek?”

Bersambung.

Ada yang mau ayam geprek rasa mantan? 🤣🤣🤣

Mantan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang