11

6.8K 566 63
                                    

Seperti menaiki roller coastor, detak jantung tiba-tiba melonjak drastis. Berhenti sekejap seperti orang mati, lalu berirama lebih kencang. Naik berkali lipat.

Bagaikan istana pasir yang dibangun setinggi Menara Eiffel lalu tiba-tiba hancur dalam satu kali sapuan ombak. Usaha move on yang kulakukan berbulan-bulan dengan susah payah, terancam ambyar hanya dengan beberapa detik saja lelaki itu menunjukkan wajah menyebalkannya.

"Sudah lama tidak bertemu," lirihnya dengan mata kelabu. “Aku kangen kamu, Kika.”

Aku menatap lagi wajah itu. Dengan tubuh membeku dan suara yang tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Keinginanku hanya satu. Membunuh Keenan!

Awalnya dada terasa sesak, kelopak mata tiba-tiba memanas. Dalam hitungan detik, air mengalir sempurna. Awalnya hanya satu tetes, diikuti tetes lain menjadi deras.

"Kika ... aduh kamu kok malah nangis? Jangan nangis dong, Kika!" Wajah Keenan berubah panik.

Aku semakin terisak. Aku benci dia tiba-tiba datang lagi!

"Keenan mantan bodoh!" teriakku sambil sibuk menghapus tetes-tetes air.

Semua perasaan campur aduk. Kesal, benci, tapi pada saat yang sama ada rasa rindu yang membuncah. Tiba-tiba menyeruak, sangat menyesakkan.

"Aku memang bodoh. Makanya kamu harus ajarin aku. Kalau kamu menghilang terus, kapan aku jadi pintarnya?" Keenan menatap lekat. Pandangannya kali ini berkabut.

"Kenapa pura-pura jadi klien aku? Kenapa tidak bilang saja itu kamu?” cerocosku jengkel.

"Siapa bilang aku pura-pura? Aku memang klien kamu. Aku ingin membangun rumah impian rancangan kamu. Lagian kalau bilang itu aku, apa kamu masih mau berbalas pesan email dengan aku?"

Aku terdiam. Melempar pandangan pada awan tebal di atas permukaan langit. Jadi, selama ini klienku yang rewel dan selalu mencari alasan untuk terus berbalas email itu Keenan? Kenapa aku tak pernah berpikir itu dia? Keenan menggunakan nama lain. Mana tahu aku itu adalah Keenan!

"Apa rumah itu untuk Sekar?" Aku bertanya. Mengingat rencana pernikahan Keenan.

Keenan menggeleng, tersenyum tipis. "Itu rumah untuk kita."

Aku menelan ludah. “Belum tentu aku mau.”

“Pasti mau,” jawab Keenan penuh percaya diri.

"Ke mana Sekar?" tanyaku lagi. Aku tak mau kembali mengganggu rencana pernikahan mereka.

"Kamu ingin tahu? Tapi berjanjilah satu hal padaku."

"Apa?"

"Jangan menghilang lagi,” tandas Keenan.

Kuaduk ice lemon tea. Esnya sebagian sudah meluruh.

"Percuma menghilang. Kamu selalu menemukan aku.”

"Karena ke mana pun pergi, aku akan terus cari kamu," sahut Keenan.

Ice lemon tea yang kuminum seakan tak mempan membuat hati dan kepalaku menjadi dingin. Kutunggu Keenan melanjutkan ceritanya.

"Setelah kamu resign dan tiba-tiba menghilang, aku sudah menyerah. Mungkin langit memang tidak menghendaki kita untuk bersama. Kuikuti takdirku, mengikuti apa pun yang Sekar mau. Aku sudah terlanjur berjanji kepada Sekar. Aku mulai percaya perempuan itu adalah jodohku.

Sampai suatu hari, Sekar mengajakku fitting baju pengantin. Dia memperlihatkan gaun yang akan dipakainya pada hari pernikahan kami. Saat Sekar mencoba baju itu, yang bisa kulihat hanya kamu. Tanpa sadar aku memanggil sekar dengan namamu. Gadis itu marah. Sekar menangis. Aku minta maaf berulang kali, tapi gagal membujuk Sekar.

Mantan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang