Keenan masih menatap lekat. Tak ada lagi kalimat yang terucap. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh. Pria itu hanya terdiam, menunggu sebuah jawaban.
Sesaat aku hanya bisa menunduk, merasakan detak jantung yang berdetak lebih cepat. Kutarik napas berkali-kali. Mencoba menetralisir perasaanku sendiri.
Keenan bagiku masih menjadi bagian kenangan masa lalu. Sepuluh tahun menjadi ruang kosong panjang yang pelan-pelan telah mengikis namanya dalam ingatan.
Bukankah ini terlalu cepat? Aku belum terlalu yakin bahwa pria masa laluku itu yang kuinginkan juga sebagai masa depanku.
"Jangan ngawur, Keenan. Baru hitungan hari kita bertemu. Aku bisa saja tidak seperti Kika yang kamu kenal sepuluh tahun lalu. Semuanya bisa saja berubah. Jangan terburu-buru memutuskan." Aku membuka suara, setelah kami terdiam cukup lama.
Keenan menggeleng cepat. "Aku sudah yakin dengan ucapanku. Kamu masih Kika yang kukenal sepuluh tahun lalu. Kika yang cuek, percaya diri, mudah meledak, tapi juga sangat menyenangkan. Seseorang yang membuatku nyaman untuk diajak bicara. Aku sudah lama menunggumu, Kika. Aku tak mau membuang kesempatan. Aku takut kita akan berpisah lagi."
Suara Keenan bergetar. Untuk pertama kalinya kulihat pria itu memandangku dengan pelupuk mata yang menggenang.
"Lalu bagaimana dengan Sekar? Apa kamu lupa kalau dia itu tunanganmu?" tandasku mengingatkan.
Keenan menarik napas. Terlihat gusar. Tangannya bertumpu pada cangkir kopi yang ia pegang.
"Tapi hatiku maunya sama kamu," pekik Keenan. "Beri aku waktu, Kika. Sampai aku benar-benar bisa bebas untuk kembali bersamamu. Sekar biar menjadi urusanku."
"Maaf, aku tidak bisa." Aku menukas cepat.
Tentu saja itu berat buatku. Bagaimana pun Keenan sudah bertunangan. Apa pun alasannya, ada perempuan lain yang kini mengisi satu ruang di hatinya.
"Kenapa?" desah Keenan putus asa.
"Karena kisah kita sudah selesai. Tidak perlu memulai apa yang seharusnya tidak perlu dimulai. Mungkin masa depanmu adalah Sekar. Kamu hanya sedang terobsesi dengan masa lalu. Aku tidak bisa menjadi perebut tunangan orang."
Aku menyambar tas untuk segera pergi.
"Kika ...!"
Keenan mengejarku yang baru berjalan beberapa langkah.
"Maafkan aku. Mungkin ini terlalu cepat buatmu. Aku mohon tetaplah bekerja di tempatku. Aku akan buktikan bahwa pertemuan kita bukan hanya kebetulan, ini adalah sebuah kesempatan yang Tuhan berikan." Wajah Keenan memelas.
"Kalau begitu anggap saja kita baru bertemu. Jangan mengungkit lagi masa lalu. Kamu adalah bosku. Hanya itu status kita sekarang."
Keputusanku sudah bulat. Bagiku hanya lelaki pengecut yang mengejar seorang perempuan sementara dia masih terikat hubungan komitmen dengan perempuan lainnya.
Langkahku tergesa meninggalkan Keenan yang masih bergeming menatap kepergianku. Aku tak mau lagi memikirkan apakah pertemuan ini hanya kebetulan atau sebuah kesempatan yang Tuhan berikan seperti Keenan bilang.
***
Untuk beberapa hari berikutnya, sebisa mungkin kuhindari bertemu dengan pria bernama Keenan. Untungnya dia tak lagi memanggilku ke ruangannya seperti biasa. Jujur, aku tak siap menunjukkan wajah di depan Keenan setelah hari itu.
Mungkin butuh waktu bagi kami berdua untuk melupakan sejenak status mantan, dan kembali kepada kenyataan bahwa kami adalah hanyalah dua orang asing, tak lebih sebagai bos dan bawahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terbaik
RomanceDear, Kika. Kamu percaya kalau Tuhan itu Maha Mendengar? Dulu, aku pernah berkata pada-Nya. Kalau suatu saat Dia mengirimmu kembali padaku, itu artinya aku masih diberikan kesempatan. Sebulan itu adalah waktu yang terlalu singkat bagi pernikahan...