Prolog

194 20 9
                                    

  
      01.49 WIB, Pemakaman Umum, Jawa Timur.

     Pria itu melemparkan sekopnya yang berlumpur dari dalam makam, ia terengah-engah memandang peti mati yang berkilat karena cahaya lentera dan petir. Mengambil satu tarikan nafas yang dalam, pria itu melanjutkan menggali tepian peti mati dengan tangannya. Lengan kemeja biru tuanya yang sudah digulung sebelum menggali makam terurai kembali, membiarkan lumpur mengotorinya dan melepaskan semua kancingnya.

     "Lebih cepat, Jal!" Rani yang berada di atas makam tampak cemas, hujan yang disertai angin kencang membuatnya menggigil hingga beberapa kali ia hampir menjatuhkan lentera yang dipegangnya.

     Jalil tidak membantah, ia mempercepat menyingkirkan lumpur dan tanah liat dari makam yang mulai berair itu. Tangannya bergetar ketakutan, mereka berdua diburu waktu.

     "Linggis!" serunya, suaranya teredam oleh gemuruh hujan.

     Rani segera memberikan linggis padanya. Jalil mengangkat linggis itu kemudian dihujamkannya dengan kuat ke arah peti yang terbuat dari kayu itu.

     Braak!

     Bau busuk seketika menyeruak, membuatnya pusing hingga hampir muntah. Ingatannya seminggu yang lalu tiba-tiba mengambil alih kepalanya, ingatan yang membuatnya nekat menggali makam atas saran seorang Dukun.

     Seminggu yang lalu, malam yang sama dengan malam ini, mereka memulai permainan terkutuk itu. Seharusnya ia tidak pernah mendengarkan saran 'orang' itu, mengajak ke-enam temannya. Menganggap semuanya lelucon hingga satu persatu dari mereka tewas. Polisi bahkan langsung turun tangan menghadapi kasus mereka.

     Ia dan Rani memutuskan mencari dukun setelah kematian Alam-teman mereka yang tewas setelah kematian empat temannya yang lain.

     "Kalian berhadapan dengan makhluk yang mengincar jiwa kalian," kata Dukun itu, "Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan kamu!"

     Saat itu, perasaannya terguncang dan liurnya seketika terasa pahit di tenggorokannya. Rani sendiri menutup mulut dengan kedua tangannya.

     "Saya tidak tahu ini berhasil atau tidak, "lanjut Dukun itu, "Kalian cobalah gali satu kuburan, ambil apapun dari mayatnya! Sembunyikan di bawah tempat tidur agar makhluk itu mengira kalian sudah mati."

     "Jal! Jalil!"

     Jalil tersentak, pikirannya mengambil alih kembali.

     "Kamu kenapa, sih?" tanya Rani sambil menutup hidungnya dengan satu tangan. "Aku takut!"

     "Berisik!"

     "Aku mau pulang," rengeknya lagi

     "Pulang aja sana!" teriak Jalil, ia melemparkan linggis ke atas makam.

     "Aku mau pulang!"

     Rani balas berteriak, lalu tanpa berpaling sedikitpun, ia lari meninggalkan Jalil yang menatapnya dengan sorot mata benci.

     "Masa bodoh! Aku masih mau hidup."

     Jalil menyingkirkan beberapa patahan kayu dari tutup peti mati. Hidungnya mencium bau busuk yang semakin kuat, tapi tidak dihiraukannya lagi, fokusnya hanya satu, bisa selamat malam ini meskipun hanya ia sendiri.

     "Aakkhh!"

     Jalil berhenti, telinganya awas mendengar.

     Suara Rani.

     Ia meraih tanah becek di tepi makam, menarik tubuhnya keluar dari makam itu. Tidak ada siapapun. Posisi makam yang digalinya dengan pintu keluar pemakaman memang tidak terlalu jauh, tapi jalan setapaknya yang berkelok-kelok dari makam yang satu ke makam yang lain cukup mengulur waktu jika ingin menuju pintu keluar. Tidak mungkin Rani melompati setiap makam yang mengahalanginya, sama tidak mungkinnya jika Rani melompati pagar beton pemakaman yang hampir setinggi dua setengah meter itu.

     Lalu dimana?

     Tidak ada cahaya lentera yang dibawa kabur Rani bergoyang-goyang digelapnya malam. Jalil memfokuskan matanya, menunggu cahaya dari kilat lagi, dan...

     Sial! Tidak ada siapapun!

     Dimana si bodoh itu?

     Kulitnya meremang, rasa ngeri menggelitik punggungnya. Difokuskannya lagi, kali ini pendengarannya, tapi ia tidak mendengar suara apapun selain suara gemuruh hujan dan guntur.

     Jantungnya berdegup kencang. Apa ini? Sekarang ia sendirian yang berarti hanya tersisa selembar nyawanya lagi sebelum permainan terkutuk itu merenggutnya juga. Jalil melompat ke dalam makam, peti mati itu berderak keras saat ditimpa oleh tubuhnya, dan ia merasakan rasa sakit yang mendera pergelangan kakinya yang tertusuk serpihan kayu.

     Jalil mengacuhkan rasa sakitnya, ia menendang peti mati itu, merobohkan tutupnya yang lapuk seketika. Bau busuk semakin kuat menusuk hidungnya, kali ini sukses membuatnya muntah. Ia berpegangan pada sisi makam, menopang tubuhnya dengan tangan kiri sementara tangan yang satunya meraih ke dalam peti mati, mengambil apapun yang bisa diambilnya. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalamnya.

    Belatung! Ia muntah lagi, langsung ke dalam peti mati. Tahanlah! Sedikit lagi.

     Traakk!

     Tiba-tiba tubuh Jalil terdorong, pegangannya terlepas, dan tubuh bagian atasnya terjerembap ke dalam peti mati. Ia merasakan dada kirinya terasa berat bersamaan dengan rasa sakitnya yang bak terbakar. Jalil menggerakan kepalanya yang sudah bertumpu pada mayat di depannya, ia melihatnya, sebuah logam panjang menembus dada kirinya.

     Linggis!

     Jalil terbatuk, ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.

     Apa ini? Jalil menggeser kepalanya, kilat menyambar, dan dari celah di sisi tubuhnya dilihatnya sesosok figur gelap berdiri di tepi makam. Hantu?

     Jalil mencoba mendorong tubuhnya, tapi otot-ototnya tidak merespon perintah otaknya lagi. Jalil tertawa sinis, sebuah tawa terakhir.

     Berakhir seperti ini? Pikirnya.

     Hal terakhir yang diingatnya adalah saat-saat bersama dengan keluarganya di rumah. Saat yang tidak akan pernah dirasakannya lagi.

*lanjutannya besok :)

      

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang