3| The Headmaster

380 52 87
                                    

Welcome to Sirius Aequum Sapientes—

Halley Ver. 3
Bimasakti : Primus Inter Pares

 3Bimasakti : Primus Inter Pares

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

High Class Mahawira

BAGIAN 1
3|The Headmaster

Enjoy For Reading

"Tanpa sadar kita mengorbankan sesuatu ketika membuat sebuah pilihan."

🎬

Definisi sakral sangat bervariasi, pikirnya. Entah itu tempat, penampilan, bahkan kedudukan adalah hal biasa yang tidak perlu diperbesar. Seharusnya dia adalah eksistensi yang sederhana tetapi manusia memanggilnya sebagai seorang penjaga, sesosok pelindung sekaligus pahlawan yang harus dipuja.


Dia tidak pernah menolak atau menerima panggilan dan posisi itu. Takdir telah memilihnya terlepas dari siapa yang melahirkan. Seberapa jauh kaki kecil itu melangkah, dia hanya akan kembali untuk menjalankan tugasnya, titik awal menuju tujuan yang belum tuntas. Dia juga tidak bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan dan apa yang ingin lakukan, kebebasannya terbatas dan terikat, melilit lehernya yang rapuh.

Sosok itu hanya akan menjadi legenda.

Illios van Halen bersandar di permukaan kasar batang pohon tabebuya yang memberikan tempat berteduh pada pagi itu. Tangan pucatnya mengambil salah satu bunga berwarna kuning yang tidak sengaja jatuh mengenai kulit wajah yang secantik porselen, kemudian tanpa sadar mencium harum bunga walau indranya telah mati. Pohon itu ditanam bersamaan oleh seorang bocah laki-laki nakal. Bocah itu mengoceh betapa malang nasib Illios yang selalu sendirian dan mengomel kenapa dia tidak mencari teman bermain. Dia bertanya-tanya, apakah terlihat menyedihkan jika tidak ada orang yang menemani hari-hari yang indah.

Illios tersenyum karena masih bisa mengingat kenangan itu.

[Temanku sudah lama mati dan aku tidak butuh teman selainnya]

Dengan nada kasar Illios berkata kepada seorang bocah yang tiba-tiba muncul mengganggu waktu tenang. Dia hanya berdiri dengan postur tubuh kaku, menatap bocah itu dengan mata birunya yang mati. Beruntung bocah itu hanya setinggi perutnya, jadi dia bisa menunjukkan siapa yang berhak marah.

Kalau begitu aku akan menjadi temanmu.

Tubuh Illios bergetar pelan karena tertawa mendengar kalimat yang menurutnya sangat lucu. Sebuah kalimat omong kosong yang tidak dapat dipercaya. Masih dengan posisinya, Illios mengamati si bocah yang mulai tidak nyaman karena sikapnya yang kasar. Secara tidak langsung suara tawanya membuat manusia lemah menjadi menciut.

[Bagaimana bisa kau menjadi temanku dengan wajah seperti itu?]

Untung saja raga itu telah mati dan Illios tidak yakin perasaan manusianya masih berfungsi dengan normal. Dia harus membuat pilihan yang mengharuskan menyingkirkan bocah itu dari hadapannya, Illios membenci makhluk kecil lemah itu. Setidaknya sikap kurang ajar bocah itu dapat dia maafkan karena Illios sangat menyukai apa yang bocah itu tanam. Kedua pohon mungil itu akan menjadi btempat keramatnya di masa depan. Dia tidak butuh siapa-siapa untuk menemaninya.

[3] High Class Mahawira 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang