37 [M]

1.7K 101 2
                                    

Jimin dapat merasakan permukaan lembab itu masih menyentuh bibirnya. Samar-samar rasa manis menyebar di indra perasa yang ia punya. Mengantarkan impuls menegangkan yang menyengat ke seluruh tubuh.

Jemari besarnya yang sedari tadi mencengkram kerah kemeja sang adik perlahan-lahan mengendur. Berganti merambati leher hingga sampai sempurna tepat pada kedua pipi putih itu.

Ia mengelusnya pelan. Menikmati tekstur halus yang memanjakan permukaan telapak tangan.

Kemudian matanya terbuka, melihat langsung kearah manik rubah yang terpejam dihadapannya.

Karena mereka adalah manusia yang punya keterbatasan akan ketersediaan oksigen, keduanya secara inating melepaskan pagutan lembut yang tadinya tercipta. Mereka saling tatap, menyelami lautan manik coklat yang menenangkan jiwa.

Lalu kemudian Jimin tersenyum. Lelaki itu mengecup dagu adiknya sekali.

"Jangan.. Jangan lagi kamu lukain diri sendiri kayak gini dek.." Suaranya bergetar. Meski dia tahu bahwa tak seharusnya seorang lelaki kuat begini, tapi Jimin juga punya rasa empati dihatinya.

"Tunggu disini, kakak ambil obat-obatan dulu."

Segera setelah itu Jimin keluar dari sana, tak lupa pula membawa cutter berlumur daarah yang menjadi saksi bisu keduanya.

Lalu sekitar 5 menit kemudian Jimin kembali dengan membawa kotak obat pertolongan pertama. Tanpa kata dan sigap, Jimin mengurus luka-luka sang adik. Dengan telaten dilakui, seolah sudah pro dalam hal seperti ini.

"Apa adek harus cutting tiap hari biar kakak bisa perhatian sama adek kaya gini?" Suara serak itu membuat Jimin mendongak. Tangannya yang sudah selesai membalut perban terakhir berpindah ke samping tubuhnya.

"Jangan ngomong gitu.. Aku gak suka."

"Tapi Yoongi suka.. Yoongi suka diperhatiin kayak gini. Dirawat, dilembutin sama kakak. Yoongi ngerasa bahagia.." Pria yang lebih muda mendekat kearah Jimin, "Apa perhatian kakak harus dibayar sama tiap tetes darah yang Yoongi keluarin?" Yoongi menunduk. Tangannya yang diperban merambat pelan naik hingga tepat berhenti di dada kiri Jimin, tempat dimana pusat kehidupannya berdetak.

Jimin mematung. Sungguh, kegigihan adiknya membuat ada rasa sakit yang berdetak di sudut hati. Seperti menekan ke seluruh tubuh sampai membuat matanya terasa memanas.

Kesadarannya kembali saat merasakan tangan kecil itu tak lagi ada di dada. Kemudian pandangan Jimin kembali menatap lurus, tepat kearah adik manisnya yang tengah meletakkan jemarinya di depan.

Dan setelah itu kedua maniknya membulat sempurna. Tubuh Jimin masih saja membeku, ia terdiam bahkan saat Yoongi secara perlahan mulai membuka kancing kemejanya satu-persatu.

Bibir lembut semerah cerry itu Yoongi gigit pelan, mata sayunya menatap lembut membalas tatapan kakak tertua. Dan pada detik ke sekian, kemeja berukuran besar yang ia kenakan hanya menggantung di tubuh kecilnya.

Jemari yang bebas perlahan menarik turun kemeja pada bagian pundak, memamerkan bahu mulus yang membuat Jimin diam-diam harus menelan ludah kasar.

"Dek.. pake lagi.." Jimin menggeram. Kedua matanya terpejam sejenak, mencoba melakukan mind control sebaik mungkin.

"Yoongi cuman.." Pria manis itu menatap Jimin dengan mata berkaca-kaca. Hingga perlahan-lahan isak tangisnya mengeras.

Jimin jadi tidak tega. Dia menarik perlahan jemari yang menutupi wajah adiknya. Ia mengusap air mata di wajah itu perlahan,

"Jangan nangis.." Bisik Jimin lembut.

"A-apa aku keliatan.. hiks.. kayak jalang dimata kakak?" Tanyanya seraya menangis sesegukan.

QUERENCIA [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang