"Gue suka sama lo."
Na Jaemin baru saja menyatakan perasaannya kepada Jeno siang hari itu.
Ralat, seorang Na Jaemin lebih tepatnya.
Pemuda tulen yang dikenal sebagai primadona sekolah. Paras manis dan bulu mata-nya yang panjang membuat banyak pria dan wanita bertekuk lutut kepadanya. Setiap anak manusia mampu dibuatnya berdebar hanya karena melihat betapa anggun caranya berjalan di sepanjang koridor sekolah.
Dan, ya. Na Jaemin yang sama tiba-tiba menyatakan perasaannya kepada si berandal nomor satu.
"Apa lo bilang?"
Tentu saja Jeno mengernyit heran. Angin apa yang menerpanya tadi pagi sehingga seorang Na Jaemin dapat memiliki perasaan terhadap dirinya?
Jaemin sendiri menjadi bingung. Bagaimana caranya agar pemuda berhidung bangir di hadapannya ini mampu mempercayai setiap kalimat yang ia lontarkan? Percuma jika seluruh keberanian yang ia kerahkan untuk menyatakan perasaannya berujung sia-sia siang hari itu.
"Yaaaaa," Jaemin berujar sembari mengedarkan pandangannya. "Pokoknya, gue suka sama lo."
Hal itu malah membuat si berandal tertawa secara tiba-tiba. Rokok yang tengah dihisapnya segera ia buang ke tanah dan diinjak hingga tidak ada api yang memercik lagi. Kemudian, ia memandang Jaemin remeh.
"Siapa yang 'ngasih lo dare begini, kanjeng ratu?" Jeno bertanya sambil sengaja mendekat, membuat Jaemin berjalan sedikit menjauh darinya. "Bilang ke temen lo kalau dia 'nggak berbakat buat 'ngasih dare."
Jaemin mendengus. "Gue nggak lagi main truth or dare, Jen."
"Oh, ya?" Si hidung bangir tertawa. "Kalau begitu, lo kena taruhan? Kalah main ular tangga, maybe?"
"Enak aja. Gue jago main ular tangga!"
Jeno tersenyum kecut. "Gue nggak nanya lo jago apa engga, dodol."
"Yaa—ya udah!" Jaemin pun mulai kehabisan kosa kata untuk menjelaskan maksudnya. "Pada intinya, gue punya perasaan sama lo. Udah, itu aja! Nggak ada dare atau apapun itu!"
Oke. Jaemin menyesal dengan perilaku gegabahnya. Bisa-bisanya ia memutuskan urat malunya di hadapan Jeno dan membuat wajahnya tenggelam dalam rona merah? Setelah ini, ia berjanji untuk mengubur dirinya sendiri di dalam kotak pasir milik kucing kesayangannya dan tidak akan pernah bertemu lagi dengan Jeno.
Di lain pihak, si berandal hanya bisa bergeming.
Kalau boleh jujur, Jeno mengira jika Na Jaemin hanya bermain-main dengannya. Kelompok pertemanan pemuda itu mau tidak mau membuat Jeno berburuk sangka terhadapnya. Salah satu sahabat Jaemin yang bernama Donghyuck sering kali memberi teman-temannya dare yang tidak terpuji dan entah mengapa, Jeno sering kali menjadi sasarannya.
Jika Na Jaemin benar-benar mengatakan yang sejujurnya, maka Jeno tidak tahu harus bagaimana.
"Konyol juga, ya, lo?" Jeno tertawa miris. "Anak baik-baik kok sukanya sama berandal?"
Jaemin mendengus. "Apanya yang baik-baik?"
"Yaa, lo itu. Anak gereja yang hobinya tugas Sabtu malam dan pulang larut cuma buat lembur ngerjain tugas OSIS di sekolah bareng anak-anak lainnya," tutur si hidung bangir. "Apa gue salah?"
Alih-alih merasa tersinggung, Jaemin justru mengernyitkan dahi. "Dari mana lo tahu gue selalu ke gereja setiap Sabtu malam?"
"Ya elah, lo pikir lo doang yang ke gereja Sabtu malam?"
Jaemin mengerucutkan bibirnya. Pemuda berhidung bangir di hadapannya ini benar-benar sulit untuk ditebak. Sejujurnya, ia tidak pernah menyadari eksistensi seorang berandal ulung seperti Jeno selama misa berlangsung di gereja setiap hari Sabtu.
"Jadi... gimana?"
Tiba-tiba saja Jaemin bertanya, membuat Jeno mengangkat salah satu alisnya. "Gimana apanya, kanjeng ratu?" tanya si hidung bangir. "Kalau ngomong jangan setengah-setengah."
Si primadona sekolah pun berdecak. "Gue udah menyatakan perasaan gue ke lo. Jadi apa selanjutnya?"
Jeno menghela nafas. Walaupun ia menjabat sebagai berandal paling nakal di sekolah tempatnya belajar, Jeno tetap menghargai perasaan seseorang yang menyukainya. Namun, kalau seseorang tersebut adalah Na Jaemin—
"Sorry. Gue pikir kayaknya 'nggak bisa."
Jeno memandang Jaemin datar. Pemuda manis itu mengerutkan dahinya, menuntut sebuah penjelasan keluar dari mulut si hidung bangir.
"Kita beda, Jaem. Lo anak baik-baik, gue anak belangsak—"
"Bukan masalah."
"Tapi, kalau gitu 'nggak bakalan bisa cocok."
"Bisa trial dulu, 'kan, Jen?"
Jeno menghela nafas. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan primadona sekolahnya ini. Memang manis jika Jeno boleh mengaku. Namun sayang, terlalu baik-baik baginya.
"Na Jaemin." Panggilan itu sontak membuat sang pemilik nama memandang Jeno yang tengah menatapnya dingin. "Sekali penolakan, ya akan tetap penolakan."
Setelah itu, Jeno berjalan pergi meninggalkan Jaemin sendirian di lapangan floorball tempatnya berdiri. Bukan tanpa alasan ia melenggang pergi begitu saja, tetapi Jeno harus segera berkumpul dengan teman-teman sepergaulannya di sebuah markas atau ia harus membelikan mereka semua makanan jika ia terlambat datang.
Di lain sisi, Jaemin menggeram kecil. Ia menendang batu tanpa dosa di dekat kakinya dan merengut sebal. Kemudian ia memandang ke atas, bertemu sapa dengan matahari di langit dan segera menyesal ketika sinar itu terasa menyakitkan bagi matanya.
Barulah ia menyerah dan berjalan keluar dari lapangan dengan emosi membara.
Tetapi, baru tiga menit melangkah, pemuda itu berlari kembali menuju lapangan floorball dan menjerit.
"DASAR BERANDAL SOK KECAKEPAN—"
Eh, 'bentar.
"—tapi emang cakep, 'sih. Gimana dong?" []
∘₊✧───tbc───✧₊∘
© Rayevanth, 2020
[ author's note ]
helo, helo. kembali lagi bersama ray. merry late christmas and happy new year, teman-teman! may all ur wishes come true. beberapa poin inti dari a/n ini:
✔ I do apologize karena baru bisa aktif sekarang
✔ I also apologize karena aku banyak kegiatan dan tugas di sekolah, but sebisa mungkin aku akan on di weekend (atau weekday kalau lagi bandel hoho)
✔ As you can see, this work contains harsh words dan kata-kata tidak baku
✔ Lastly, enjoy and selamat membaca karya baru teman-teman!

KAMU SEDANG MEMBACA
Wayward • Nomin ✓
FanfictionIn which a do-gooder tried to be a wayward. © Rayevanth, 2020