Sepi

512 34 5
                                    

Meskipun aku telah meninggalkan sekolah dan melanjutkan sekolahku kejenjang menengah pertama (SMP), bukan berarti pula aku meninggalkan seseorang yang membuat hari-hariku selama ini sangat bahagia. Meskipun telah berada di sekolah yang berbeda, kami tidak pernah memutus kedekatan yang selama ini kami jalani. Abid selalu rela menungguku pulang, dan menyisakan waktunya di jalan menungguku walaupun ia telah lebih dulu pulang dari sekolah. Dan yang kulakukan agar Ayah ibu tidak curiga adalah dengan memilih naik angkutan umum saat sepulang sekolah agar bisa turun di persimpangan dan bertemu Abid setiap harinya.

Kebiasaan itu kami lakukan tanpa ada nya cemooh dan buruk sangka lagi dari orang lain, namun entah bagaimana ceritanya, fikiran buruk orang yang dahulu selalu diberikan kepada kami sampai ke telinga orang tua Abid, yang ternyata adalah seorang Ustadz. Aku tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa orang tuanya adalah seorang ustadz, bahkan dia juga tidak pernah bercerita. Mungkin saja itu alasan dia tidak pernah membawaku ke rumahnya selama ini. Entah dengan cara apa Abid menyembunyikan isu itu sehingga sangat lama diketahui oleh orang tuanya.


Suatu hari, kami berjalan pulang bersama lagi dari sekolah. Seperti biasa, Abid yang lebih dulu tiba karena letak rumahnya berada sebelum aku mencapai rumahku. Namun tiba-tiba saja Ayah Abid sudah menunggu di depan gerbang rumah mereka sembari menyilangkan tangan di dadanya dengan mimik wajah yang amat begitu heran.
"Assalamualaikum Ayah, Abid Pulang" kata Abid memberi salam kepada Ayahnya. Dengan masih terlihat heran
"Walaikumsalam, dia siapa Bid?" Kata Ayah Abid sambil melirik ku dengan tajam.
"Oh, teman Abid ketika SD ayah, tapi sekarang dia sudah SMP, dia hanya menemani Abid jalan tadi sendirian di persimpangan jalan" jawab Abid sambil tersenyum lebar ke Ayahnya.
"Oh begitu, ya sudah kalau begitu masuklah, Ganti pakaianmu dan istrahat" pinta Ayah nya. Aku masih diam disitu menyaksikan mereka berbincang.
"Gi, aku masuk dulu yah! Kamu hati-hati dijalan pulang, sampai ketemu lagi" Tutur Abid kepadaku sambil memberiku senyum lebarnya.
" Iyah, aku pulang yah! Sampai jumpa" jawabku dengan sedikit tersenyum.


Abid pun masuk kedalam rumah dan aku mulai beranjak pulang. Namun baru saja beberapa langkah aku beranjak dari gerbang rumah itu, tiba-tiba saja Ayah Abid memanggilku
"Tunggu!" Panggil Ayah Abid. Aku pun sontak berhenti dan seketika kaku sambil sedikit melotot karena terkejut.
"I.. iya om, a..ada apa?" Kataku gugup.
" Saya dengar kamu dengan anak saya sangat dekat, bukan begitu?" Tanya Ayah Abid dengan nada pelan namun terdengar sangat mengerikan bagiku.
"I..iya betul om, ada apa yah?" jawabku yang semakin gugup.
"Begini, saya ingin menekankan kepada kamu, bahwasanya saya ingin mendidik anak saya menjadi seseorang yang berakhlak baik dan saya tidak mau anak saya suka dengan laki-laki,dengan sesama jenisnya! Jadi saya mohon agar kamu paham maksud saya!" Katanya sambil menutup gerbang rumahnya yang meninggalkan aku yang masih berdiri kaku di tempat itu.


Tanpa berkata apapun aku berusaha memutar badanku dan berusaha untuk perlahan berjalan pulang dengan mata yang berkaca-kaca karena telah mendengarkan ucapan Ayah Abid tadi. Saat itu aku berfikir, bahwa memang mungkin aku salah terlahir di dunia, mengapa harus memiliki perasaan seperti ini, yang aku sendiri tak pernah tau bagaimana bisa perasaan seperti ini datang. Hari itu seakan aku tak bersemangat untuk sampai ke rumah, aku selalu memikirkan perkataan Ayah Abid, bagaimana jika dia menjauhkan Abid dariku? Bagaimana aku bisa kehilangan orang yang sudah membuat aku lebih berarti? Aku takut itu semua akan terjadi. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang dan terus melangkahkan kakiku agar tiba di rumah dengan cepat sebelum Ayah dan ibu mencariku.


Keesokan harinya, seperti biasa aku pulang dan naik angkutan umum lalu turun di persimpangan untuk menemui Abid dengan tujuan berjalan pulang ke rumah bersama. Namun tak seperti yang kuharapkan, Abid tidak berdiri di sana seperti biasanya. Iya, dia tidak datang lagi menemuiku di persimpangan. Sepertinya apa yang kutakutkan benar-benar sudah terjadi. Dalam hati aku menyesali pertemuanku dengannya hingga harus mengenalnya. Jika tau dia yang akan membuatku tau tentang perasaan aneh ini lalu mungkin pada akhirnya cepat atau lambat akan menjauh, sedari dulu mungkin aku sudah menjauh darinya. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Semua seolah takdir yang telah terukir.

Walaupun sedikit sedih dan kecewa Abid tak hadir di persimpangan seperti biasanya, aku tetap melangkah dan berjalan menuju ke rumah. Akupun melewati rumah Abid sembari menoleh kedalamnya, barangkali Abid ada didalam rumah sehingga aku bisa menanyakan keadaannya, apakah ia sedang sakit sehingga tak ke sekolah. Namun tampaknya tak ada seseorang didalam rumah itu. Mengetahui itu, aku terus melanjutkan langkahku menuju ke rumah. Tetapi belum jauh aku melangkah dari rumah Abid, tiba-tiba saja Edi, teman baik Abid datang menghampiriku dan memberi sebuah lipatan kertas kecil yang aku sendiri tak tahu itu apa.
"Gi tunggu, tunggu sebentar, ini ada titipan dari Abid, sebelum tadi pagi dia pergi, dia menitipkan ini. Katanya kalau melihat kamu lewat langsung ku berikan saja!" Kata Edi sambil menyodorkan kertas itu padaku.
"Pergi? Pergi kemana? Kenapa seperti mendadak sekali? Padahal kemarin aku masih melihatnya!" Tanyaku yang sangat penasaran.
"Aku dengar dia akan melanjutkan sekolah di pesantren bulan depan, tepatnya di luar kota, kamu tau sendiri kan keluarganya itu sangat religius, Ayahnya saja seorang ustadz, pasti mereka juga mau Abid menjadi seperti itu atau jadi penerus Ayahnya" kata Edi menjelaskan. Aku langsung terdiam dan merasa sangat sedih mendengar apa yang dikatakan Edi, sepertinya Ayah Abid benar-benar tidak suka jika aku dekat dengan anaknya karena mungkin takut apa yang di katakan orang-orang tentangku dengan Abid itu benar, sehingga ia berusaha menjauhkan kami.

"Mm.. Kalau begitu, aku pergi dulu yah, yang penting apa yang di amanah kan Abid sudah ku sampaikan! Sampai jumpa!" Kata Edi yang sontak membuat aku yang tadinya termenung menjadi terkejut.
"Oh iya, terima kasih banyak yah! Hati hati, sampai jumpa" balasku yang pura-pura untuk tersenyum. Aku langsung mempercepat langkahku agar cepat sampai kerumah dan membuka apa isi dari kertas itu. Ketika aku akan membukanya aku sudah mengetahui jika isi dari kertas itu adalah ucapan selamat tinggal yang akan membuatku tidak tahan untuk membacanya. Benar saja, isi suratnya membuat hatiku seperti berhenti berdetak, sakit seperti ditikam, dan perih yang tidak tertahankan.
"Yogi, ini aku Abid! Aku minta maaf jika hanya memberi tahumu lewat surat seperti ini, hanya saja aku tidak bisa menemuimu, aku tidak bisa menolak kemauan Ayahku! Dia ingin mengirim aku ke pesantren. Aku tidak tau mengapa ayahku tiba-tiba memaksaku secepat ini untuk masuk pesantren! Tapi tenang saja, kita akan tetap berteman kok! Meskipun aku tidak bisa menemanimu lagi setiap hari saat pulang sekolah, kita akan selamanya menjadi teman. Tidak perlu khawatir aku baik-baik saja, kamu juga harus baik-baik saja! Tunggu aku kembali yah! Sampai jumpa! :')", Seperti itulah isi surat yang ia tulis.

Saat itu juga aku meneteskan air mata, sulit memang, jika harus jauh dalam waktu yang lama dengan orang yang sudah kita anggap lebih dari teman atau sahabat, yang sangat dekat dengan kita. Aku mencoba tegar dan harus menerima kenyataan bahwa dia sudah benar-benar jauh. Aku hanya bisa meneteskan air mata tanpa suara di kamarku hingga tak sadar waktu telah menjelang sore, bahkan hingga malam pun aku tidak bisa membendung air mataku untuk tidak menetes di pipi ini, aku benar-benar seperti merasakan kesunyian yang benar-benar sunyi malam itu, Sepi!.

Mengapa Aku Gay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang