Derita Baru

209 11 0
                                    

Masih tentang kecewa, kamu bisa saja berharap banyak terhadap seseorang, tapi ingatlah satu hal bahwa berharap kepada manusia tidak akan pernah semulus ketika engkau berharap kepada Tuhan. Aku mencoba berfikir bahwa aku tidak pernah sama sekali menyukai Irwan, hanya sebatas kagum saja dan mulai menganggapnya sebagai sekedar sahabat serta menghilangkan rasa sakit karena tau dia berpacaran dengan Sutri. Meskipun rasa sakit itu memang tak bisa terelakkan, akan tetapi berfikir dewasalah bahwa setiap yang engkau suka tak selamanya akan kau miliki, terkadang hanya bisa melihatnya dengan rasa kagum, tapi bukan untuk memilikinya. Aku tidak menjauhinya, akan tetapi hanya mengurangi waktu untuk bertemu dan menemani nya lagi seperti biasa, karena aku tau diriku, mudah terbawa perasaan.

Aku mencoba memahami bahwa hidupku tidak seberuntung orang lain, namun bukan berarti aku tidak bersyukur atas semuanya, sebab masih ada yang lebih menderita hidupnya dibandingkan aku. Apalagi kebencianku bertambah satu lagi di rumah. Iya, ibu telah melahirkan anak pertamanya dari suaminya itu. Fajri namanya, aku benar benar tidak pernah suka dengan anak itu semenjak ia lahir dan juga tak pernah suka dengan ayahnya. Walaupun begitu aku tidak pernah menunjukkan bahwa aku membenci mereka, sebab aku menghargai perasaan ibuku.
"Gi, sini cium adikmu. Dia butuh ciuman dari kakak nya." Pinta ibuku sembari menggendong anaknya itu. Aku hanya berkata dalam hati bahwa aku tidak pernah punya adik ke empat, adikku hanya ada Ainun dan Maulana dan ayahku hanya ada satu yaitu Ahmad.
"Mm.. lain kali saja Bu, lagi pula aku sedang flu, tak baik mencium bayi saat sedang flu" jawabku sambil beranjak pergi dengan mimik wajah yang sangat bosan. Ibuku terlihat heran, mungkin saja karena ia tak melihat gejala gejala flu padaku saat itu.

Aku merasa hidupku berantakan, tak pernah bahagia. Tapi kembali lagi bahwa hidup itu tidak pernah datar, pasti ada saja lika-liku nya. Bahkan aku pernah berfikir, apakah lebih baik mati daripada aku harus hidup berbeda dari orang lain? Hanya saja aku tau, hidup itu berharga dan adalah anugerah yang tak boleh manusia sia-siakan karena kesempatan hidup hanya ada satu kali dan kita harus menjalaninya bagaimana pun setiap episode berjalan semestinya.

Hari itu, aku bertemu Irwan di sekolah berjalan bersama Sutri kekasihnya. Aku mencoba terlihat tampak biasa saja melihat mereka berjalan dengan mesra seperti itu dan berlagak seperti anak cupu pada umumnya. Kemudian mereka menghampiri aku yang duduk sendirian di kelas pada jam istirahat
" Gi, datang yah ke acara nikahan kakakku" kata Irwan sembari menyodorkan sebuah undangan pernikahan kepadaku. Aku hanya tersenyum tipis kemudian menjawabnya
" Mmm.. kurasa aku tidak bisa hadir Wan, sebab tanggalnya sama dengan acara akikah anak sepupu ku" jawab ku berbohong sambil menyodorkan kembali undangan itu. Aku menolaknya sebab tak ingin selalu melihat Irwan bersama wanita itu walaupun pepatah berkata ketika kita mencintai seseorang kita harus rela melihat dia bahagia bersama pilhannya, namun entah kenapa aku tak bisa. Terlihat wajah yang sedikit agak sedih di wajahnya, sembari mengambil undangan itu kembali
" Yah, padahal aku sangat mengharapkan kamu datang, Kita bisa karaoke bersama nanti di hari acaranya" katanya dengan wajah memelas.
"Maaf sekali yah, aku benar-benar tak bisa hadir , karena mungkin saja ibuku marah kalau aku tidak datang ke acara akikah itu, maaf yah!" Jawabku yang lagi lagi berbohong.
"Hmm.. yasudah kalau kamu tidak bisa, kalau begitu aku ke kantin dulu yah, ayo sayang!!" Katanya sambil mengandeng Sutri yang dari tadi hanya sibuk bermain handphone. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang terlihat terpaksa kemudian menghela nafas setelah mereka berdua pergi.

Sementara itu, ketika aku pulang dari sekolah, aku melihat ibuku tampak sangat resah sembari duduk dan memangku bayinya. Aku pun yang belum membuka seragam sekolahku langsung menghampiri ibu dan bertanya apa yang sedang terjadi
" Kenapa Bu? Kenapa terlihat sangat cemas?" Tanyaku kebingungan sembari duduk di samping nya.
" Ayah tiri mu, dia sedang melarikan diri" katanya sambil memegang kepalanya seperti orang yang sedang menderita sakit kepala itu. Akupun mengira bahwa apakah yang di maksud ibu bahwa dia lari bersama wanita lain atau sengaja ingin lari dari kehidupan kami, namun ternyata bukan, cobaan kali ini benar benar berat
" Lari? Dia lari kemana? Bersama siapa?" Tanya ku yang semakin penasaran,. Ibu terdiam sejenak sambil merenung lalu kemudian menjawabku
"Dia, dia baru saja terkena masalah, dia menampar seorang anak kecil sampai berdarah sebab katanya anak kecil itu berkata kotor dan mengatai ayah tirimu, dan orang tua anak itu telah melapor polisi, dan akhirnya dia lari dan bersembunyi. Dan ibu tidak tau dimana dia sekarang." Kata ibuku dengan mata berkaca-kaca menahan tangis dan kekhawatirannya. Saat itu aku terdiam dan tak tau mau berkata apa, akupun tak tau solusi apa yang akan aku berikan pada ibuku, yang aku tau aku semakin benci dengan laki laki biadab itu, Bahri, aku membencinya, dia tak layak masuk ke kehidupan ku dan merebut segala kebahagian yang harusnya ku dapatkan.

Malam itu juga, tepat jam 2 dini hari, seseorang mengetuk pintu rumah, akupun terbangun dari tidurku dan sadar bahwa itu Bahri yang kembali ke rumah sambil mengendap ngendap layaknya pencuri atau perampok. Aku sengaja hanya mengintip dan menguping pembicaraan ia dengan ibu.
" Aku tidak tau lagi mas harus bagaimana, kalau mas menyerahkan diri ke polisi bagaimana nasib anak mu, dan juga aku! Kita punya pekerjaan tetap hanya berdagang makanan ringan saja" kata ibu sembari menangis di sofa ruang tamu. Aku pun ikut menangis melihatnya yang hanya mengintip di balik pintu kamarku.
" Aku sudah mendapatkan solusinya, aku punya teman yang bekerja di Kalimantan, dia memberiku solusi untuk lari kesana sekaligus kita bisa dapat kerjaan disana" kata Bahri pada ibuku yang membuatku terkejut sambil merasa sangat geram menahan emosi.
" Tapi bagaimana bisa, anakmu baru saja berumur dua bulan, dan bagaimana dengan ketiga anakku?" Tanya ibuku lagi yang semakin terlihat sangat pusing dengan apa yang terjadi.
" Yah kita bawa saja Fajri ke sana, anak anak mu biarkan saja hidup bersama nenek mereka, ibu dari ayah mereka kan masih hidup. Yang penting kita harus kabur atau aku di penjara" kata Bahri egois yang membuatku tak bisa menahan emosi dan keluar dari kamar dan menjawab semua Celotehan nya
" Tidak bisa!! Aku tidak bisa membiarkan ibuku pergi dan membiarkan kami bertiga menderita disini" kataku dengan nada tinggi sambil berdiri dengan mata yang berkaca-kaca dan menatap sinis laki laki yang hampir dibilang paruh baya itu. Seakan tak peduli ia hanya membalas tatapan sinisku kemudian beranjak dari tempat duduknya
" Lastri, kalau kamu benar-benar mau hidup kita lebih baik, ikut aku ke Kalimantan, bawa anak kita! Aku tidak mau di penjara disini, besok lusa kita berangkat, besok persiapkan semuanya termasuk baju bajuku! Aku akan menjemputmu dengan mobil sewa jam 2 dini hari" katanya sembari berjalan pergi dan menatapku sinis saat lewat di sampingku. Aku masih berdiri disitu menangis memandang ibuku yang juga menangis dan tampak sangat pusing.
" Jangan sampai ibu pergi, dan meninggalkan kami. Aku akan sangat benci kalian jika itu terjadi" kataku sambil menangis tersedu sedu di depan ibu.
" Ibu tidak punya pilihan lain, ibu harus pergi" balas ibuku yang membuatku semakin terkejut.
" Apa? Kenapa ibu tidak punya pilihan? Kenapa? Hah? Ada kami anak anak ibu disini, biarkan saja ia lari sendirian, lagipula itu salahnya sendiri" kataku dengan nada yang semakin tinggi dan semakin marah menggebu-gebu.
" Ibu tidak punya pilihan lain sebab memang benar ibu harus kesana dan mencari kerja agar sekolah kalian bisa tetap di lanjutkan" balas ibu ku dengan nada tinggi pula.
" Alasan tidak masuk akal seperti apa yang sedang ibu lontarkan, aku tidak habis fikir, jampi apa yang ia berikan pada ibu sehingga mau menikah dengan cepat dengannya dan juga tak pernah tak mendengarkan omongan nya" kataku kasar.
" Jaga mulutmu" kata ibu melototi ku yang membuatku semakin muak dan masuk ke kamar serta membanting pintu yang membuat bayinya dan kedua adikku terbangun.

Malam itu aku tak tidur lagi sampai pagi, hanya menangis, menangis, dan terus menangis. Seakan dalam hidup ku hanya ada tangis dan juga kekecewaan. Aku sudah membenci perasaanku yang menyukai Pria, aku juga membenci jalan hidupku yang berantakan, akankah aku juga harus membenci Tuhan? Sang pencipta, sang pengatur skenario hidup, sang pemberi segalanya. Mengapa ia selalu saja memberiku Derita Baru, mengapa?

Mengapa Aku Gay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang