Cinta Pertama (Part 2)

681 40 1
                                    

Diantara huru-hara pembicaraan orang tentangku yang sangat dekat dengan Abid, sementara itu pula aku merasakan aku benar-benar jatuh Cinta padanya. Seperti halnya yang telah aku ceritakan sebelumnya, aku memang merasa aneh dengan perasaan ini, masih sering bertanya-tanya, apakah yang kulakukan ini salah? Namun, ini nyata! Aku tidak pernah merencanakannya sebelumnya ataupun seakan membuat-buat semua yang telah terjadi. Tempat satu-satunya aku selalu bertanya tentang jati diriku ialah hanya pada Tuhan,
"Tuhan, Mengapa aku berbeda? Mengapa engkau menganugerahkan perasaan yang berbeda? Apakah ini adalah bentuk daripada kasih sayangmu?" Ucapku dalam hati setiap aku merasa bingung dengan hidupku sendiri.


Hari itu, Abid mencoba datang kembali ke rumah untuk menemuiku dan mengajakku untuk bermain bersama seperti biasa, dan kebetulan juga hari itu ayah dan ibuku tidak ada di rumah. Aku khawatir dan tak tau harus berbuat apa jika ia berusaha memanggilku dari luar rumah sedangkan aku yang mungkin tak akan menjawabnya. Aku takut jika aku menjawabnya dan membiarkannya berlama lama di rumah, itu akan menimbulkan fikiran buruk orang lain lagi tentangku dengannya. Dan tak hanya itu, aku juga takut jika Ayah dan ibu tiba-tiba saja datang dan melihat dia bermain di rumah, mereka pasti akan memarahiku lagi atau bahkan akan menghukumku lebih berat. Tak lama setelah aku memikirkan semua itu, Abid ternyata benar-benar memanggilku dari luar rumah
"Gi? Yogi? Ogi? Kamu di dalam kan? Aku disini, katanya aku boleh main kesini kan? Ayo! Keluar! Ijinkan aku masuk!" Panggilnya dengan nada keras. Antara ingin diam dan ingin menjawab panggilannya, tetapi ada banyak hal yang kutakutkan jika aku membiarkannya masuk, di sisi lain juga aku sangat kasian dengan dia yang selalu berusaha untuk mendekatiku namun serumit ini.


Selang 30 menit kemudian ia tak kunjung pulang dan masih tetap terus memanggilku dari luar, sementara aku terus diam karena takut apa yang kufikirkan nantinya terjadi. Akan tetapi, aku sungguh sangat kasihan melihatnya dari balik jendela sedang jongkok di luar di temani sepedanya yang mungkin terbilang jadul itu. Benar, aku sangat kasihan, Sudah lebih dari 30 menit ia menunggu di luar. Dan kemudian aku bersikeras untuk keluar menemuinya, namun harus dalam keadaan berpura-pura agar ia dapat kembali kerumahnya sebelum Ayah dan ibuku pulang. Akupun perlahan berjalan kedepan dengan mimik wajah yang seakan berpura-pura
"Hm, Abid? Sudah berapa lama kamu disitu? Maaf! Aku baru saja bangun tidur, sepulang sekolah tadi aku langsung tertidur. Maaf yah membuatmu menunggu lama disini!" Kataku dengan wajah yang seakan mengantuk. Kemudian dengan senyuman lebar yang khasnya ia pun menjawab
" Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah bangun, aku hanya ingin mengajakmu bermain seperti biasa, boleh kan aku masuk?" Katanya dengan nada memelas. Antara tidak enak hati untuk menolaknya untuk masuk dan juga takut Ayah dan ibu tiba-tiba saja kembali, dengan mimik muka yang terlihat kebingungan aku menjawab pintanya
"Ee... Boleh saja, tapi... Oh iya, aku baru ingat, ibuku menyuruh aku untuk ke rumah sepupuku, katanya ada pesanan yang aku harus ambil disana!" Kataku dengan alasan yang mendadak. Namun kukira ia akan kembali dengan aku membuat alasan seperti itu, ia tetap saja tinggal dan malah menawarkanku untuk pergi bersama
"Mmm.. kalau begitu, kita pergi bersama saja, lagipula kampung sebelah kan bisa di tempuh pakai sepeda kan? Ayo, tunggu apa lagi?" Katanya yang lagi-lagi dengan senyuman lebar. Sementara itu aku pun tak tau harus berkata apa lagi, di fikiranku dia harus segera pergi sebelum orang tuaku kembali. Namun tak kehabisan akal aku kembali menjawab
" Eh, tidak usah! Aku bisa naik ojek saja kesana, lagipula lumayan jauh jaraknya kesana, nanti kamu akan kecapaian jika mengayuh sepeda sejauh itu! Jadi tidak usah yah!" Kataku sambil menghela nafas. Namun ia merasa curiga dengan perlakuanku yang aneh seperti itu dan berkata
"Apakah kau sedang berpura-pura hanya untuk menolakku masuk? Atau kau tidak ingin orang bercerita buruk lagi tentang kita? Makanya kau tak ingin aku masuk bukan?" Katanya dengan wajah yang mungkin sedang marah ataupun kecewa. Dengan rasa tak enak hati dengannya aku pun membantah apa yang di katakan nya
"Bukan, Bukan seperti itu! Hanya saja...." , Namun Belum selesai aku bicara, tiba tiba saja Ayah dan ibuku datang, sontak hatiku berdebar, aku tak tau apa yang akan terjadi setelah itu.


Ayah yang tiba tiba saja datang dan melihat aku dan Abid berdiri di depan rumah langsung saja membentakku
"Sedang apa kau? Sudah kubilang jangan dekat dengan anak laki laki lagi, jangan buat malu keluarga! Masuk kau! Masuk! Lastri bawa dia masuk!" Katanya dengan nada membentak dan menyuruh ibu untuk membawa ku masuk. Aku pun di bawa ibu masuk ke dalam rumah dan melihat Abid masih saja berdiri disitu dan tak kunjung pulang. Aku takut dia akan merasa tidak nyaman apabila dia mendapatkan amarah dari Ayahku, apalgi dia masih anak-anak, mungkin saja dia akan merasa tidak nyaman atau bahkan bisa saja menangis. Namun fikirku salah, aku melihat dia di balik jendela tengah mendapatkan amarah dari ayahku dan masih saja berdiri ditempat itu namun dengan mimik wajah datar seakan sedang mendengarkan ceramah dari Ayahku.
"Hei, kamu! Saya beritahu kamu, jangan lagi mengajak anak saya bermain lagi ataupun sangat dekat dengannya lagi, dia itu ingin menjadi perempuan, ingin membuat malu keluarga, jadi demi kebaikan nya dan kebaikan mu juga, saya ingin kamu jangan lagi mendekatinya" Kata Ayahku dengan Nada yang lumayan tinggi di hadapan Abid. Sesungguhnya sangat sakit mendengarkan ayah sendiri berucap dan berfikir seperti itu tentang anaknya sendiri, namun aku berusaha menerima semua kata-kata itu, bagaimanapun dia adalah Ayahku. Sementara itu, Abid masih di tempat itu dengan wajah yang tenang kemudian menjawab dengan pelan,
"Baik om, saya tidak akan dekat dengan Yogi lagi, akan tetapi, kami akan tetap berteman, sampai kapanpun" Kata Abid dengan pelan namun tegas. Seakan tak perduli Ayah pun menjawabnya
"Bagus! Bagus kalau begitu! Jadi silahkan pulang!" Kata Ayah yang kemudian masuk dan menutup pintu rumah. Aku yang berada di balik jendela kamarku menyaksikan Abid kembali dengan mengayuh sepeda nya perlahan, terlihat jelas wajahnya yang kecewa karena mungkin tak pernah dapat bermain bersamaku lagi.


Semenjak hari itu, aku benar-benar tak dekat lagi dengan Abid, bahkan jika aku harus mengasingkan diri lagi untuk tidak berada di area sekolah pada jam istirahat pun terasa percuma, dia seakan menjauh dengan sendirinya. Tak nampak senyum lebar yang khas itu lagi di depan mataku, namun kufikir mungkin memang inilah cara yang terbaik agar kita berdua yang masih belia ini tidak menjalani hidup yang lebih rumit daripada yang orang dewasa jalani. Awalnya aku merasa baik-baik saja dengan menjauhnya Abid dariku, namun rasa nyaman itu tak bertahan lama, rasanya ada yang hilang, entah harus bagaimana untuk memulai menjalin pertemanan lagi dengannya semenjak hari itu.

Mengapa Aku Gay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang