Menjadi Dewasa

252 12 0
                                    

Masih tak habis fikir, benarkah cinta membutakan seseorang? Benarkah ibu di butakan oleh cintanya kepada suaminya sehingga ia tak bisa mengelak semua permintaan suaminya?. Mengapa ia tega meninggalkan kami anak-anaknya yang masih belia, yang masih menginjak remaja, terlebih adikku yang masih berumur 4 tahun yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Kasih sayang ibu kepada kami anak anaknya sudah benar benar hilang,. mungkinkah karena ayah kami telah tiada, sehingga cintanya kepada ayah juga pudar? Jika benar begitu, bahwa benar sebuah pernikahan itu tidak selamanya tercipta dari cinta sejati. Sejatinya cinta hanya ada saat mereka yang kau cintai masih bernafas dan masih ada untuk mencintaimu, selebihnya jika dia pergi dari dunia ini maka cinta itu akan pudar jua.


Aku benar benar membenci ibu saat itu, kebencian ku terhadapnya berakar sampai aku tak mau mengangkat teleponnya saat ia menelepon, karena menurutku ia telah bahagia disana bersama suaminya di pelariannya. Aku tak berhenti menangis setiap kali melihat adik bungsuku yang masih kecil "Maulana" hanya bisa merasakan kasih sayang seorang kakak dan nenek di usia yang seharusnya butuh didikan orang tua. Namun meskipun dalam pelarian, ibu tak pernah lupa dengan kewajibannya sebagai orang tua, ia tetap menafkahi kami dengan mengirimkan uang setiap bulannya kepada kami, tapi itu tak merubah rasa benciku terhadap nya.


Kini, aku harus belajar untuk mandiri di usia yang tergolong masih remaja, semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya meskipun aku sudah terbiasa dengan hal itu sedari kecil. Bahkan untuk keuangan pun akulah yang harus mengatur nya. Aku tau mungkin itu adalah cara Tuhan membuatku menjadi sosok atau pribadi yang berbeda dari pria pria lain pada umumnya. Hingga sampai saatnya aku akan lulus SMA, aku seakan lupa dengan orientasi seksual ku yaitu sebagai seorang gay, sebab aku tak peduli lagi untuk menyukai seorang laki-laki lagi, terlebih jika laki-laki itu adalah laki-laki normal. Melainkan hanya fokus dengan impianku ingin lanjut sekolah ke perguruan tinggi sesuai dengan keinginan ayah semasa hidupnya. Akupun memberanikan diri untuk menelpon ibu meski selama ini tak menjawab teleponnya karena ingin memberitahu berita kelulusanku serta keinginanku yang ingin kuliah.
" Halo, Bu, aku sekarang sudah lulus, apa kamu lupa?" Tanya ku.
"Tidak, ibu tidak lupa. Baguslah sekarang kamu bisa cari kerja setelah mendapat ijazah mu" pinta ibu lewat telepon yang membuatku naik darah kembali dan langsung meninggikan suaraku menjawabnya.
"Apa? Kerja? Aku ingin kuliah, ayah menginginkan aku punya jenjang pendidikan yang lebih tinggi" kataku dengan suara lantang ke telpon.
"Mau diapakan lagi, ibu tidak punya uang, meskipun itu adalah impian ayahmu" jawabnya dengan suara yang terdengar emosi juga.
"Apa ibu lupa dengan ucapan ibu sebelum menikah, bahwa ibu menikah hanya karena ingin kami mencapai sekolah setinggi tingginya, dengan bantuan dari suami ibu yang sebelumnya ibu banggakan akan bekerja keras? Hah? Suami macam apa dia menikahi wanita beranak tiga tapi tak bisa bertanggung jawab?" Kata ku sambil menangis tak kuasa menahan emosi dan kekecewaan bercampur aduk.
"Jaga mulutmu Yogi, dia punya anak, Fajri ada, dia punya masa depan juga." Balas nya.
"Apa ? Masa depan? Jadi kami anak dari suami pertama mu tak punya masa depan? Ibu macam apa kau? Kataku membentak ibuku sendiri yang membuat perasaan berdosa namun bercampur kebencian menjadi satu saat itu, lalu kemudian menutup telepon karena takut banyak melontarkan kata tak pantas untuk seorang anak kepada ibunya sendiri.


Aku semakin membenci ibu saat itu, entah apa yang ada pada fikiran nya sehingga suami dan anaknya itu lebih penting daripada kami anak anaknya yang ia lahirkan terlebih dahulu. Tak sadarkah ia bahwa kami juga adalah anaknya?. Aku tak tau harus berbuat apa saat itu, keinginanku sangat besar untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, namun akan mendapatkan biaya darimana. Aku mencoba mencari solusi hingga akhirnya mendapatkan pemikiran bahwa aku harus meminta bantuan sepupu dari ayah, yaitu pamanku.
Keesokan harinya aku pun mengunjungi rumahnya dan menceritakan semua keluh kesahku pada nya termasuk ibu yang tak mau aku melanjutkan sekolahku.
" Aku sangat ingin melanjutkan sekolah ku paman, aku mohon tolong aku" pintaku memohon pada paman yang kini duduk bersamanya di ruang tamu rumahnya.
"Memang nya apa alasan ibumu sehingga ia tak ingin kau melanjutkan sekolah mu?" Tanya paman.
"Semuanya karena masa depan anaknya" kataku sambil tersedu-sedu.
"Masa depan anaknya? Bukan kah masih sangat lama untuk itu? Sedangkan kau selangkah lagi? Apa yang di fikirkan ibumu? Beri aku nomor telepon nya, biar aku yang berikan penjelasan kepadanya barangkali ia bisa mengerti" pinta paman dengan mimik wajah yang tampak emosi. Akupun memberi telepon ibu dan lansung berpamitan pulang saat itu. Tak lama setelah aku Sampai di rumah ibu pun menelepon ku dengan kemarahan yang besar.
"Untuk apa kau mengadu kepada pamanmu? Untuk mempermalukan ibu? Hah?" Katanya dengan nada yang sangat keras.
"Aku tak mengadu, aku hanya mencurahkan keinginan besarku dan keinginan besar ayah" jawabku membalas dengan nada yang hampir sama.
"Kau memang anak yang tidak tau terima kasih. Baik lah, kau boleh lanjutkan sekolahmu, tapi dengan satu syarat, kau harus tinggal di rumah keluarga ayahmu di kota dan jangan mengambil jurusan pada perguruan tinggi negeri." Pintanya dengan serius. Aku hanya bisa terdiam mendengar semua itu dan menjadikan pernyataannya itu menjadi pilihan satu satunya. Aku pun langsung menutup telepon sembari berfikir dan mencari cara dimana aku bisa berkuliah dengan perguruan tinggi swasta?. Tak lama kemudian aku pun mengetahui bahwa aku memiliki teman yang berkuliah di perguruan tinggi swasta dan mencoba meminta bantuan untuk mendaftarkan diriku pada universitas nya.


Akupun telah mengikuti tes nya secara online dan juga memasukkan beberapa berkas saat itu. Setelah menunggu beberapa Minggu akhirnya aku di nyatakan lulus dan akan segera berkuliah meskipun hanya menduduki gelar sebagai diploma saja bukan sarjana. Tapi itu tak apa bagiku, asalkan aku bisa mewujudkan keinginan ayah meski tak sepenuhnya. Akupun sangat senang saat itu, namun juga merasa sedih sebab aku harus tinggal di rumah keluargaku, dimana pasti disana aku harus bersikap tau diri dan mengerjakan seluruh pekerjaan yang ada pada rumahnya, lalu juga yang membuatku sangat sedih adalah aku harus meninggalkan kedua adikku ke kota. Rasa senang namun juga sedih kurasakan saat itu, namun aku harus menggapai impianku untuk berkuliah dan tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Aku terpaksa meninggalkan adik adikku kepada nenekku dengan rasa sedih yang sangat besar, namun aku tau aku harus menjadi dewasa, dan mereka juga berhak punya masa depan, dan akulah kunci kesuksesan mereka. Aku berharap saat itu bisa membuat sekolah mereka lebih tinggi lagi dariku suatu hari jika aku sudah bisa menafkahi mereka.

Mengapa Aku Gay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang