Bab 1

3.9K 286 6
                                    

Waktu, bagi sebagian orang seperti angin yang dilewatkan tanpa ada hal yang istimewa, namun sebagian orang beranggapan waktu adalah segalanya bagi mereka. Waktu yang membuat kita menjadi lebih baik, waktu yang membuat kita menikmati hidup, waktu yang membuat kita merasakan suka dan duka, waktu yang membuat kita belajar bahwa hal terkecil sekalipun tidak bisa terulang. Waktu yang membuat kita sadar mana yang harus ditinggalkan dan mana yang harus diperjuangkan. Waktu, cambuk tertajam di roda kehidupan.

Begitulah arti waktu bagi Faradilla. Selama ini hidupnya tergantung pada waktu. Waktu terus berjalan, namun kisah cintanya tetap pada tempatnya, tidak ada kemajuan sama sekali.

Waktu 6 tahun tidak ada artinya sama sekali. Masih sama, dia masih sendiri. Padahal kedua orang tuanya sudah membujuknya untuk segera menikah, menyodorkan banyak calon imam untuknya namun sama, hatinya tidak bergerak sedikitnya. Perasaan itu seolah mati, lukanya sudah berbekas, namun kadang kala ada rasa nyeri yang berdenyut mengingat apa yang membuatnya mendapatkan luka itu.

"Dila.." panggil Affia yang duduk di hadapannya, "Kau mau secangkir kopi?" tanya sambil berdiri.

"Boleh." ucapnya singkat sambil tersenyum melihat Affia melangkah menuju kasir, kemudian kembali menoleh menatap jendela besar bandara. Beberapa menit yang lalu mereka baru sampai di Indonesia, setelah selama seminggu penuh berada di Singapore melaksanakan Workshop.

Hujan menyambut mereka, namun sinar matahari menyelinap diantara awan hitam. Seperti menangis dan masih ada satu titik harapan akan sebuah kebahagiaan, bukan begitu? Dilla tersenyum memikirkan hal itu.

"Kenapa senyum – senyum sendiri?" tanya Affia sambil meletakkan cangkir kertas berisi kopi miliknya diatas meja, kemudian duduk, menikmati kopi miliknya sendiri dan menatap ke luar. "Aku harap hujan reda."

Dilla menikmati kopinya, mencium aroma kopi yang membuat pikirannya tenang. Dila suka kopi. "Yang lain kemana?"

"Mereka mencari oleh – oleh."

Dila tertawa. "Membeli oleh – oleh di negeri sendiri. Mereka aneh."

"Yah. Begitulah temanmu." Ucap Affia, kemudian berdiri seketika, membuat Dilla menoleh. "Aku ke toilet sebentar ya..."

"Oke." sahutnya kemudian ponselnya berdering. Dilla mengangkat panggilan dari Ibunya. "Ya, bu?"

"Kau sudah sampai, Nak?"

"Ya. Baru beberapa menit lalu."

"Jadi sudah sampai kos?"

Dilla menggeleng, "Belum. Kami masih di bandara menunggu hujan reda."

"Setelah sampai kos, langsung istirahat ya? Jaga kesehatan."

"Baik, bu.."

"Oh ya, kemarin Pak De mu datang, dia bilang ada tetangganya yang punya anak laki – laki, dia tertarik sama kamu—"

Itu lagi, batin Dilla, dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan Ibunya, sampai nada peringatan baterainya yang hampir habis.

"Bu, sudah dulu ya? Baterai ponselku mau habis. Nanti setelah sampai di kos, aku hubungi lagi." Setelah itu Dilla mengakhiri panggilan setelah mengucapkan salam.

Dilla mengambil tasnya yang dia letakkan di atas koper, mengambil Charge ponselnya kemudian beranjak menuju tempat yang disediakan bandara untuk mencas ponsel. Ia menarik kursi dan memainkan ponselnya sambi di cas.

*******

Nino mencoba menghubungi ponsel adiknya sambil melangkah menarik kopernya, hanya ada nada monoton sejak tadi. "Ke mana anak itu, dasar menyebalkan. Awas saja di rumah nanti." gerutu Nino sambil menatap layar ponselnya, menekan sekali lagi nomor adiknya. Langkahnya terhenti, dan menempelkan ponselnya di telinga. Lagi – lagi hanya ada nada monoton. "Kemana sih!" gerutunya lagi sambil mematikan panggilan.

MIRACLE OF LOVE [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang