Bab 10

1.9K 228 1
                                    

Nino beranjak dari duduknya dan menatap Parnoto. "Terima kasih, Pak. Saya pergi dulu.." tidak menunggu respon Parnoto, Nino langsung melesat pergi menuju suatu tempat, ia perlu tahu semua tentang Dilla.

Langkah Nino berhenti di depan ruang VK, dia mengambil napas panjang, dan setelah dia masuk, beberapa pasang mata langsung menatapnya. Nino jadi salah tingkah, dia berdeham dan berkata.

"Bisa aku bertemu Affia?"

"Affia sudah pulang." ucap seseorang yang digeromboli oleh para mahasiswa, perempuan itu beranjak. "Dokter ada urusan apa?"

"Aku, kau—maksudku, kau teman Dilla?"

"Ya."

"Bisa bicara sebentar?"

Perempuan itu tampak menimbang – nimbang, kemudian mengangguk pada Nino, membuat Nino merasa lega, lantas perempuan itu menatap para mahasiswa, "Kalian yang shift pagi, tugasnya tinggalan aja, yang shift sore, lanjut nanti ya? Lalu buat yang shift malam, bilangan, nanti suruh bawa sekalian tugasnya, besok pagi saya lihat."

"Baik, Bu Siama."

"Kalian observasi pasien bed 5,8, sama 9..."

"Nggih, Bu..."

Para mahasiswa itu lantas pergi, meninggalkan Nino dengan perempuan bernama Siama itu. "Dokter Nino ada keperluan apa sebenarnya?"

Nino mengambil napas kemudian duduk, "Tolong ceritakan semua tentang Dilla..."

Siama menggeleng, "Jika menyangkut masa lalu, saya akan memberi saran saja. Tidak menceritakan keseluruhan masa lalu Dilla."

Nino menatap Siama, perempuan dihadapannya ini tampak dewasa dan sepertinya jika Nino mendesak, dia malah tidak mendapatkan apapun, "Baiklah. Saya suka Dilla. Dan saya serius..."

"Saya senang Dokter Nino serius dengan Dilla. Tapi, apa Dokter yakin dengan perasaan Dokter sendiri? Padahal Dokter baru bertemu Dilla beberapa hari dan langsung bilang suka, apakah mungkin?"

"Ya. Mungkin." Jawab Nino dengan tegas. "Karena aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Dilla."

Nino yakin menjawabnya dan dia benar – benar sungguh – sungguh dengan ucapannya, Nino yakin pada perasaannya sendiri dan dia akan mempertanggungjawabkan perasaannya sendiri pada Dilla.

"Dokter Nino, masa lalu Dilla kelam, yah, tidak begitu kelam,sih... Tapi, sakit yang ditimbulkan begitu menyiksa baginya, jika memang dokter datang hanya membawa sebuah cinta, itu tidaklah cukup. Waktu yang berlalu bahkan tidak bisa menyembuhkannya, bagaimana mungkin dokter yang hanya membawa sebuah cinta bisa menyembuhkan luka Dilla dan akhirnya bisa memenangkan hatinya?"

Nino terdiam.

Apa cukup hanya membawa senjata bernama 'cinta', untuk memenangkan hati Dilla? Sedangkan Dilla menyimpan terlalu banyak luka dari 'cinta'nya yang dulu...

"Saat Dokter sudah membawa 'hal lain' selain 'cinta', maka saya yakin, saat itulah Dokter bisa mendapatkan Dilla."

*******

Setelah bertemu dengan Siama, Nino melangkah menuju ruangan Dokter Fariz, spesialis Anestesi. Dia ingin menanyakan sendiri bagaimana dulu dia mendekati Dilla, saat langkahnya dekat, dia melihat Dokter Fariz sedang menutup pintu ruangannya, hendak pulang.

"Dokter Fariz..." panggil Nino, sedikit berlari mendekati Dokter Fariz.

Fariz menoleh dan tersenyum melihat Nino, "Ya. Ada apa, Nin?"

Nino berdeham, "Bisa minta waktu sebentar, saya mau bicara serius dengan, Dokter..."

Fariz mengerucutkan bibirnya, melirik sekilas pada jam tangannya yang hampir menunjukkan pukul set lima sore, "Aku punya waktu 20 menit, aku harus segera pulang, kalau tidak istriku akan mengamuk..."

MIRACLE OF LOVE [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang