Dilla mengambil napas panjang sambil menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin, jilbab segi empat warna navy sudah menutupi rambutnya, di model sesimple mungkin, membuat Dilla sendiri nyaman.
"Teman Bapak sudah datang..." suara Ibunya terdengar diantara pintu, Dilla tersenyum lewat cermin dan melihat Ibunya melangkah masuk dan berdiri di belakangnya. "Kamu cantik, Dil..."
"Makasih, Bu..." Dilla menggeser tubuhnya, berbalik dan mendongak menatap Ibunya. "Masih perkenalan kan, Bu? Semua keputusan ada di tangan Dilla, kan?"
"Iya." tangan Ibunya yang hangat mengusap lembut pipi Dilla, "Semua keputusan ada di tangan kamu. Tapi, jangan menghindar lagi, kalau memang cocok, Ibu Bapak juga senang."
Baiklah, pikir Dilla. Dia akan mencoba, ucapnya dalam hati kemudian membasahi bibirnya.
"Ayo turun!" ajak Ibunya meraih tangan Dilla.
Dilla ikut saja, keduanya saling bergandengan tangan, dan saat Dilla dan Ibunya sudah sampai di anak tangga terakhir, Ibunya memberinya kode untuk mendongak, memintanya melihat putra dari teman Bapaknya. Saat Dilla perlahan mendongak, matanya langsung bertemu dengan mata laki – laki itu, kening Dilla berkerut dalam, dia sepertinya pernah bertemu sebelumnya, apa benar memang kakak kelasnya?
Ibunya menyentuh tangannya, mengajaknya untuk duduk dan Dilla mengikuti, dia duduk di samping Ibunya, pikirannya masih terus berusaha mengingat dimana mereka pernah bertemu sebelumnya.
"Dil, ini Pak Basuki, teman Bapak waktu SMP, ini anaknya, namanya Rendra, dia dulu satu MAN sama kamu, tapi setahun diatasmu. Iya kan, nak Ren?"
"Nggih, Pak. Saya kakak kelas Dilla di IPA 3."
IPA 3? Dilla berusaha mengingat. IPA 3 bukannya?
"Saya teman sekelas Alfandi."
Mata Dilla langsung membelalak, oh, dia ingat sekarang, batin Dilla.
"Alfan yang itu ya, Buk?" Dilla mendengar Bapaknya bertanya berbisik pada Ibunya, Dilla melirik dan melihat Ibunya mengangguk kecil. "Dilla masih ingat?" tanya Bapaknya.
"Iya, Pak. Dilla masih ingat." Dilla belum berani mendongak, dia masih menata hatinya, dia tidak menyangka kalau Rendra yang ini adalah Tarendra Dinandra yang dulu lebih sering dipanggil Andra, sahabat dekat Alfan.
"Bapak, Ibu sama Pak Basuki mau mengobrol, kamu bisa ajak Rendra ke taman belakang, nduk.." ucap Bapaknya, Dilla membasahi bibirnya dan menghela napas panjang, dia mendongak dan melihat Rendra menahan senyum.
Dilla beranjak dari duduknya sambil berkata, "Ayo, Mas Rendra. Kita bisa ngobrol di taman belakang."
Rendra masih menahan senyum sambil mengangguk, kemudian mengikuti langkah Dilla setelah mengangguk pamit pada para orang tua.
Sampai di taman belakang, tawa Rendra langsung pecah, dia tertawa terbahak – bahak sampai memegang perutnya dan duduk di bangku ayun sambil menatap Dilla yang cemberut. "Wajahmu enggak berubah, Dil." Ucap Rendra disela – sela tawanya.
Dilla manyun sambil bersedekap, dan Rendra masih saja tertawa, sampai Dilla melangkah kesal menuju ayunan dan duduk di hadapan Rendra. "Terus aja tertawa! Sampai perutmu sakit, Mas..."
Rendra terbatuk dan akhirnya berdeham, tawanya berakhir lalu menyandarkan tubuhnya, membuat ayunan bergoyang. "Kamu sempat lupa ya, sama aku?"
Dilla mengangguk, dia berpegang pada pegangan ayunan, menggerakkannya agar ayunan tetap berjalan. "Biasanya dipanggil Andra, disini ngakunya Rendra.."
"Ya, kan, namaku memang Tarendra Dinandra, dirumah dipanggil Rendra, di sekolah dipanggil Andra."
"Bodoh amat." ucap Dilla. "Enggak nyangka Mas Andra ternyata anak teman Bapak. Kok aku baru tahu, ya?" Mata Dilla menyipit, menyelidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRACLE OF LOVE [Tamat]
عاطفيةBanyak yang bilang, luka sembuh seiring berjalannya waktu.. Hal itu tidak berpengaruh pada FARADILLA NADA INDRIANI. Perjuangan, penantian, kesabaran bahkan cinta sekian tahun harus berakhir hanya lewat kalimat pendek menyisakan sakit yang teramat hi...